Catatan, 15 Nopember 2013
Hingar bingar tentang Mahkamah Konstitusi sebenarnya bukan hanya terjadi hari ini. Lembaga yang seharusnya berisi para bijak bestari, super pakar dan dewa keadilan ini sejak kelahirannya sudah sangat sering menjadi pusat perhatian publik. Mengapa dikatakan seharusnya lembaga ini berisi para super pakar dan dewa keadilan, karena bayangkan, dengan hanya lima orang hakim, lembaga ini bisa menentukan benar tidaknya konstitusi negara, yang pembentukannya mungkin disusun oleh ratusan ahli hukum dan tatanegara termasuk disahkan oleh ratusan wakil rakyat. Cukup oleh lima hakim, bila lembaga ini memutuskannya dengan pemungutan suara dari sembilan hakim yang ada. Sekarang sementara tinggal delapan hakim setelah Akil Mohtar tertangkap tangan. Jumlah delapan hakim ini harus segera ditambah. Kalau tidak, para hakim ini bisa tidak membuat keputusan apabila suara yang setuju dan tidak dalam sebuah keputusan, jumlahnya sama.
Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang semakin terkenal
sejalan dengan memudarnya makna siap kalah dan siap menang bagi para politisi.
Hampir semua hasil pemilu, khususnya pemilukada dilaporkan kelembaga ini.
Ditambah lagi disetiap persidangan di Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
pemilu, selalu dihadiri oleh para tim sukses, pendukung para politisi yang
berkompetisi, bahkan para politisi itu sendiri. Setiap sidang biasanya selalu diwarnai
keramaian. Spanduk dan yel-yel pendukung hampir selalu menghiasi suasana. Belum
lagi pendukung yang mungkin bukan ahli hukum, ikut panas mendengarkan perdebatan
hangat silat lidah argumentasi para penasihat hukum. Puncak ketenaran lembaga
ini adalah sejak ketuanya, yang seharusnya dewa keadilan, Akil Mohtar tertangkap
karena malah menodai hukum dan keadilan itu sendiri. Disusul pesta lempar
melempar kursi dan perangkat audio didalam ruang sidang oleh politisi dan para
pendukung yang merasa dikalahkan proses hukumnya.
Politisi Harus Bertanggungjawab
Setelah pesta lempar melempar kursi dan keberingasan lain
ditutup dengan penangkapan para provokator oleh aparat kepolisian, media masa
langsung dipenuhi komentar para pengamat, politisi bahkan para mantan hakim
konstitusi sendiri. Banyak koran meliput pendapat mereka dengan judul Mahkamah
Konstitusi kehilangan kewibawaan. Bahkan ada mantan hakim yang tanpa segan
meledek hakim konstitusi yang ada sekarang, bahwa mereka seolah tidak punya
wibawa lagi. Saya sependapat penuh bahwa kasus tertangkapnya Akil Mohtar sungguh
memalukan dan menghancurkan reputasi Mahkamah Konstitusi. Namun kejadian lempar
melempar kursi kemarin sebaiknya ditanggapi secara lebih luas. Benarkah tragedi
kemarin sepenuhnya karena tidak berwibawanya Hamdan Zoelva dan hakim yang
memimpin sidang, atau terjadi lebih karena emosi tak terkendali yang melahirkan
keberingasan dari politisi dan pendukung yang berperkara.
Bangsa ini memiliki banyak kesepakatan dalam hidup bernegara.
Kita sepakat untuk membangun negara ini sebagai negara hukum, atau lebih tepatnya
negara dengan rakyat yang berpegang teguh kepada pembangunan keadilan melalui
hukum. Kita juga bersepakat untuk hidup dalam negara demokrasi yang menjunjung
tinggi perbedaan, namun sepakat untuk saling menghargai terhadap berbagai
perbedaan pendangan sesama warga negara. Kasus-kasus yang diperkarakan di
Mahkamah Konstitusi kebanyakan adalah ketidak puasan politisi yang kalah
disebuah pemilukada. Padahal saat pemilu tersebut dilakukan didaerah, segalanya
diatur oleh lembaga resmi penyelenggara pemilu sesuai konstitusi, yaitu Komisi
Pemilihan Umum Daerah. Dalam pelaksanaannya, semua peserta pemilu juga menempatkan
saksi disetiap Tempat Pemilihan Suara. Hampir selalu pula semua saksi tersebut
bertandatangan disetiap lembar hasil perhitungan suara. Kalau ada ketidak
sepakatan, didaerah masih ada pula Panitia Pengawas Pemilu. Menurut saya segala
perangkat pemutus telah tersedia lengkap disetiap tempat terjadinya pemilu.
Namun trend yang ada adalah bahwa hampir setiap pihak atau politisi yang kalah,
selalu membawa keberatannya ke Mahkamah Konstitusi di ibukota. Selain
kelengkapan perangkat pemilu yang telah ada, selalu pula para politisi yang
akan berkompetisi berikrar bersama untuk “Siap Kalah dan Siap Menang”. Namun
ternyata siap kalah ini sesuatu yang sungguh sangat berat diterima, apalagi
dengan legowo. Kalau perlu kenyataan kalah itu digulingkan menjadi kemenangan
sampai titik darah terakhir. Itu yang sebenarnya terjadi digedung Mahkamah
Konstitusi beberapa hari yang lalu. Bahkan apabila pihak yang dikalahkan untuk
kedua kalinya, karena sebenarnya mereka telah kalah di lembaga pemilu
didaerahnya; meyakini atas kebenaran tuntutannya, melakukan keberingasan dan
kekacauan diruang sidang bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Bukan saja oleh
kesepakatan bahwa kita bernegara hukum, namun juga kesepakatan bahwa kita
negara yang memilih demokrasi dalam berpolitik.
Mahkamah Konstitusi memang pernah tercoreng wibawanya, namun
bukankah kita masih bersepakat mempertahankan keberadaannya karena telah
menjadi bagian dari amanah konstitusi? Kalau masih bersepakat sewajarnya semua
ikut bertanggung jawab. Catatan saya meyakinkan sebenarnya siapa yang harus
bertanggungjawab lebih terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ini. Dibawah ini
saya contek saja tulisan sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi seperti yang
ditulis oleh lembaga itu sendiri. Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah
Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam
amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal
24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan
pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi
MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat hakim konstitusi untuk
pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim
konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan
MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober
2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Membaca sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi, rasanya tidak
salah benar kalau saya bilang yang paling bertanggungjawab terhadap lahirnya
lembaga ini adalah para politisi negeri ini. Terutama yang saat itu sedang
berkuasa dan memiliki kewenangan mewakili rakyat. Oleh karenanya tidak salah
pula kalau saya sebagai bagian dari rakyat menuntut para politisi untuk ikut
bertanggungjawab terhadap masih berwibawa atau tidaknya lembaga ini. Kejujuran sangat
diperlukan untuk menilai sebuah persoalan. Sekali lagi fakta mencatat bahwa
hiruk pikuk yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dikuasai oleh persoalan
pemilukada. Sebuah ajang kompetisi para politisi sendiri. Pantaskah para
politisi yang ikut bertanggungjawab terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi,
kemudian mencabiknya sendiri dengan menggunakan ruangan lembaga ini sebagai
gelanggang perkelahian?
Benar bahwa sebagai lembaga yang sulit sempurna (karena harus diisi
oleh sosok yang super pakar konstitusi dan dewa keadilan), Mahkamah Konstitusi
tergores kewibawaannya oleh oknum seorang mantan Ketuanya. Namun apakah
kemudian wajar apabila kita seolah mengesampingkan bahayanya keberingasan yang
sungguh menginjak hukum apalagi kewibawaannya. Saya menyayangkan pihak yang
menilai persoalan Mahkamah Konsitusi ini dengan berpijak pada kebenaran
versinya sendiri. Karena menurut saya, seseorang yang menempatkan dirinya
sebagai pihak yang paling benar, sebenarnya itu bukti bahwa dirinya dalam sepi
kesendirian. Jangan lupa, kita sudah punya kesepakatan. Indonesia adalah negara
hukum dan demokrasi. Taat konstitusi dan menghormati perbedaan. Bukan negara
dengan hukum rimba, siapa bisa menggigit lebih kuat dia yang berkuasa. Maaf
kalau catatan ini saya buat karena keyakinan bahwa rakyat semakin muak melihat
semua ini.
Salam
Nopember'2013
Nopember'2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar