Sabtu, 07 Desember 2013

POLITISI HARUS BERTANGGUNGJAWAB ATAS WIBAWA MK




Catatan, 15 Nopember 2013  



       Hingar bingar tentang Mahkamah Konstitusi sebenarnya bukan hanya terjadi hari ini. Lembaga yang seharusnya berisi para bijak bestari, super pakar dan dewa keadilan ini sejak kelahirannya sudah sangat sering menjadi pusat perhatian publik. Mengapa dikatakan seharusnya lembaga ini berisi para super pakar dan dewa keadilan, karena bayangkan, dengan hanya lima orang hakim, lembaga ini bisa menentukan benar tidaknya konstitusi negara, yang pembentukannya mungkin disusun oleh ratusan ahli hukum dan tatanegara termasuk disahkan oleh ratusan wakil rakyat. Cukup oleh lima hakim, bila lembaga ini memutuskannya dengan pemungutan suara dari sembilan hakim yang ada. Sekarang sementara tinggal delapan hakim setelah Akil Mohtar tertangkap tangan. Jumlah delapan hakim ini harus segera ditambah. Kalau tidak, para hakim ini bisa tidak membuat keputusan apabila suara yang setuju dan tidak dalam sebuah keputusan, jumlahnya sama.
  Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang semakin terkenal sejalan dengan memudarnya makna siap kalah dan siap menang bagi para politisi. Hampir semua hasil pemilu, khususnya pemilukada dilaporkan kelembaga ini. Ditambah lagi disetiap persidangan di Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pemilu, selalu dihadiri oleh para tim sukses, pendukung para politisi yang berkompetisi, bahkan para politisi itu sendiri. Setiap sidang biasanya selalu diwarnai keramaian. Spanduk dan yel-yel pendukung hampir selalu menghiasi suasana. Belum lagi pendukung yang mungkin bukan ahli hukum, ikut panas mendengarkan perdebatan hangat silat lidah argumentasi para penasihat hukum. Puncak ketenaran lembaga ini adalah sejak ketuanya, yang seharusnya dewa keadilan, Akil Mohtar tertangkap karena malah menodai hukum dan keadilan itu sendiri. Disusul pesta lempar melempar kursi dan perangkat audio didalam ruang sidang oleh politisi dan para pendukung yang merasa dikalahkan proses hukumnya.

Politisi Harus Bertanggungjawab
   Setelah pesta lempar melempar kursi dan keberingasan lain ditutup dengan penangkapan para provokator oleh aparat kepolisian, media masa langsung dipenuhi komentar para pengamat, politisi bahkan para mantan hakim konstitusi sendiri. Banyak koran meliput pendapat mereka dengan judul Mahkamah Konstitusi kehilangan kewibawaan. Bahkan ada mantan hakim yang tanpa segan meledek hakim konstitusi yang ada sekarang, bahwa mereka seolah tidak punya wibawa lagi. Saya sependapat penuh bahwa kasus tertangkapnya Akil Mohtar sungguh memalukan dan menghancurkan reputasi Mahkamah Konstitusi. Namun kejadian lempar melempar kursi kemarin sebaiknya ditanggapi secara lebih luas. Benarkah tragedi kemarin sepenuhnya karena tidak berwibawanya Hamdan Zoelva dan hakim yang memimpin sidang, atau terjadi lebih karena emosi tak terkendali yang melahirkan keberingasan dari politisi dan pendukung yang berperkara.
   Bangsa ini memiliki banyak kesepakatan dalam hidup bernegara. Kita sepakat untuk membangun negara ini sebagai negara hukum, atau lebih tepatnya negara dengan rakyat yang berpegang teguh kepada pembangunan keadilan melalui hukum. Kita juga bersepakat untuk hidup dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi perbedaan, namun sepakat untuk saling menghargai terhadap berbagai perbedaan pendangan sesama warga negara. Kasus-kasus yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi kebanyakan adalah ketidak puasan politisi yang kalah disebuah pemilukada. Padahal saat pemilu tersebut dilakukan didaerah, segalanya diatur oleh lembaga resmi penyelenggara pemilu sesuai konstitusi, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dalam pelaksanaannya, semua peserta pemilu juga menempatkan saksi disetiap Tempat Pemilihan Suara. Hampir selalu pula semua saksi tersebut bertandatangan disetiap lembar hasil perhitungan suara. Kalau ada ketidak sepakatan, didaerah masih ada pula Panitia Pengawas Pemilu. Menurut saya segala perangkat pemutus telah tersedia lengkap disetiap tempat terjadinya pemilu. Namun trend yang ada adalah bahwa hampir setiap pihak atau politisi yang kalah, selalu membawa keberatannya ke Mahkamah Konstitusi di ibukota. Selain kelengkapan perangkat pemilu yang telah ada, selalu pula para politisi yang akan berkompetisi berikrar bersama untuk “Siap Kalah dan Siap Menang”. Namun ternyata siap kalah ini sesuatu yang sungguh sangat berat diterima, apalagi dengan legowo. Kalau perlu kenyataan kalah itu digulingkan menjadi kemenangan sampai titik darah terakhir. Itu yang sebenarnya terjadi digedung Mahkamah Konstitusi beberapa hari yang lalu. Bahkan apabila pihak yang dikalahkan untuk kedua kalinya, karena sebenarnya mereka telah kalah di lembaga pemilu didaerahnya; meyakini atas kebenaran tuntutannya, melakukan keberingasan dan kekacauan diruang sidang bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Bukan saja oleh kesepakatan bahwa kita bernegara hukum, namun juga kesepakatan bahwa kita negara yang memilih demokrasi dalam berpolitik.
   Mahkamah Konstitusi memang pernah tercoreng wibawanya, namun bukankah kita masih bersepakat mempertahankan keberadaannya karena telah menjadi bagian dari amanah konstitusi? Kalau masih bersepakat sewajarnya semua ikut bertanggung jawab. Catatan saya meyakinkan sebenarnya siapa yang harus bertanggungjawab lebih terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ini. Dibawah ini saya contek saja tulisan sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi seperti yang ditulis oleh lembaga itu sendiri. Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
   Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
   Membaca sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi, rasanya tidak salah benar kalau saya bilang yang paling bertanggungjawab terhadap lahirnya lembaga ini adalah para politisi negeri ini. Terutama yang saat itu sedang berkuasa dan memiliki kewenangan mewakili rakyat. Oleh karenanya tidak salah pula kalau saya sebagai bagian dari rakyat menuntut para politisi untuk ikut bertanggungjawab terhadap masih berwibawa atau tidaknya lembaga ini. Kejujuran sangat diperlukan untuk menilai sebuah persoalan. Sekali lagi fakta mencatat bahwa hiruk pikuk yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dikuasai oleh persoalan pemilukada. Sebuah ajang kompetisi para politisi sendiri. Pantaskah para politisi yang ikut bertanggungjawab terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi, kemudian mencabiknya sendiri dengan menggunakan ruangan lembaga ini sebagai gelanggang perkelahian?
   Benar bahwa sebagai lembaga yang sulit sempurna (karena harus diisi oleh sosok yang super pakar konstitusi dan dewa keadilan), Mahkamah Konstitusi tergores kewibawaannya oleh oknum seorang mantan Ketuanya. Namun apakah kemudian wajar apabila kita seolah mengesampingkan bahayanya keberingasan yang sungguh menginjak hukum apalagi kewibawaannya. Saya menyayangkan pihak yang menilai persoalan Mahkamah Konsitusi ini dengan berpijak pada kebenaran versinya sendiri. Karena menurut saya, seseorang yang menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling benar, sebenarnya itu bukti bahwa dirinya dalam sepi kesendirian. Jangan lupa, kita sudah punya kesepakatan. Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Taat konstitusi dan menghormati perbedaan. Bukan negara dengan hukum rimba, siapa bisa menggigit lebih kuat dia yang berkuasa. Maaf kalau catatan ini saya buat karena keyakinan bahwa rakyat semakin muak melihat semua ini. 
Salam
Nopember'2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar