Selasa, 10 Desember 2013

*********DESEMBER**************SELALU INGAT IBU******

Soerati, Ibundaku Tercintaa 

Walau agak terganggu, namun semalam rasa iba saya timbul mendengar tangis berkepanjangan bayi pasangan muda tertangga rumah. Mungkin sang bayi sakit, atau mungkin pula karena ayah ibunya sedang belajar merawat anak kebanggaannya yang belum lama lahir. Disamping iba, terbayangkan diangan saya rasa bahagia pasangan muda itu, karena bukan saja berhasil memiliki keturunan sebagai penerus keluarga, namun melahirkan adalah sebuah perjuangan hidup mati bagi si ibu.

Saya diantara kedua orangtua dan tiga kakak
Saya sendiri tidak pernah mengenal ibu yang melahirkan diriku. Di usia 38 tahun, ibuku telah meninggalkan kami semua, disaat saya masih berumur 2 tahun. Sakit panas tinggi mendadak yang diderita ibu, tidak mampu ditangani dokter saat itu. Saya lahir dari orang tua yang keduanya berasal dari kota batik, Solo. Ayah ir. Sarjadi Hardjosoepoetro berasal dari trah Mangkunegaran, ibu Soerati Darmosarkoro, dari Darmosarkaran.
Sayangnya sejak lahir di Bogor, kemudian besar di Pasuruan dan Malang, saya tidak pernah merasakan hidup di kota Solo, tanah asal usul kedua orang tua.

Tak jauh dari kota Solo, tepatnya di Astana Temuireng Karanganyar, ibunda tercintaku dimakamkan. Ditempat inilah saat saya berumur 8 tahun, baru mengerti dan sadari bahwa ibuku telah menghadap Sang Pencipta sejak saya berumur 2 tahun. Seperti biasa setiap tahun, saya bersama ayah dan kakak-kakak, diajak berziarah ke makam keluarga di Temuireng. Disaat itulah saya mengajukan pertanyaan kepada ayah, saat membaca tulisan disebuah batu nisan : "Mengapa ada nama Soerati Bin Sarjadi, nama Bapak di batu nisan ini pak?". Sejak mendengar jawaban ayah itulah, saya baru memahami apa sebenarnya yang terjadi. Mungkin karena saat itu umurku baru 8 tahun, bukan duka yang kurasakan, namun hanya rasa bingung melihat sekitar. Berjalannya waktu dan umur semakin mengembangkan anganku, betapa bahagia pernah mengenal dan merasakah hangatnya dekapan ibu kandung seperti yang dirasakan orang lain. Rasa kehilangan itu semakin kuat saat Tuhan akhirnya juga memanggil ayah ditahun 1988 setelah menjalani operasi jantung di Surabaya. Hari ini saya hanya bisa melihat bahagianya ayah dan ibu tidur berdampingan selamanya di Astana Temuireng Karanganyar. Setiap berkesempatan ziarah, saya dan anak istri selalu mohon kepada Tuhan agar bersedia menerima kedua orang tua tercinta kami dipangkuanNya.

Tak terbayang dibenak, bagaimana beratnya pengorbanan seorang ibu saat mengandung, melahirkan dan membesarkan anaknya. Ketika bayi sampai sesaat sebelum dewasa, kita sebagai anak, bagai tanpa beban menikmati kehidupan ini. Semua kita bebankan kepada kerja keras dan kasih sayang yang dilakukan seorang ibu. Rasanya tak akan pernah kita mampu membayar semua budi, kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu. Pengorbanan yang dilakukan seorang ibu tak lain karena rasa sayangnya kepada kita. Rasa yang mengikat batin antara seorang ibu dan anaknya. Rasa yang tidak akan pernah hilang sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ada masanya kita harus berpisah tempat hidup, ada masanya kita ditinggalkan ibu untuk selamanya. Namun ikatan batin spiritual itu tak akan pernah hilang sedikitpun.
Saya tidak pernah ingin menilai sebuah dosa, karena itu wewenang Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi saya meyakini bahwa, adalah sebuah kesalahan tak terampuni bila hubungan seorang ibu dan anak ini terkhianati oleh salah satunya. Apalagi oleh seorang anak. 

Desember,  bukan saja dibulan ini ada sebuah hari dimana kita memperingati hari ibu, atau hari wanita. Namun dibulan ini pula saya dilahirkan dari rahim ibuku tercinta yang sekarang insyaAllah berada di rumah Allah di surga. Oleh karenanya disetiap bulan ini, saya selalu ingat dan berangan hangatnya berada dipelukan ibuku.
Rasa sedih, kecewa dan cinta kepada ibu inilah yang mendorong istriku tercinta Nuri Ambarwati, untuk tak pernah menyerahkan anak-anak kami, Galih Anurasti dan Gatut Adhiyakso kepada pengasuh, atau baby sitter, saat mereka kanak-kanak. Rasa cinta itu pula yang sampai sekarang menjadi kebiasaan kami sekeluarga untuk selalu menyempatkan waktu berkumpul, walau hanya sekedar makan malam bersama.
Tuhan Maha Penyayang, saya meyakini itu. Oleh limpahan sayang Tuhan itulah, saat ini saya bersyukur mendapat kesempatan merawat masa tua ibu mertua, dan ibu Sriyanti, kakak kandung ibu kandung saya, yang merawat dan membesarkan saya sampai saat ini. Dengan usia yang telah mencapai 92 tahun hari ini, bagi saya, beliau adalah titisan ibu kandung yang melahirkan saya. Pengorbanan dan kasih sayang yang diberikannya tak pernah terasa beda sedikitpun.

Keyakinan saya atas Kuasa Tuhan itulah yang memberanikan saya untuk memohon kepadaNya, agar sudi memberikan pengampunan, memberikan perlindungan, dan selalu memberikan rahmat kepada ibu saya alm. Soerati, ibu yang membesarkan saya Sriyanti, serta seluruh ibu didunia ini. Ibu sahabat-sahabat saya, yang sedang sehat, sedang sakit ataupun telah mendahului menghadap Tuhan. Melalui kuasaNya pula, saya ingin menitipkan sungkem, salam hormat bagi Ibu diatas sana. Diatas sana yang selalu berisi keabadiaan dan  kebahagiaan. Yang selalu berisi senyuman, cinta dan kasih sayang.

Ibu, terimalah rasa cinta dan kangenku.
Desember yang sedang mendung #2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar