Selasa, 10 Desember 2013

FOKE, JOKOWI DAN CERMIN POLITIK INDONESIA


 Catatan, 18 Juli 2012    


     Kali ini saya benar-benar hanya bisa memberikan catatan tentang dinamika berjalannya Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Walau Kartu Tanda Pemilih sampai dikediaman, tetapi karena sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit diluar Jakarta, saya dan istri tidak bisa ikut pesta demokrasi itu. Tentu saya harus mohon maaf khususnya kepada para kandidat yang telah memeras segala energinya, mencoba menjadi penyelamat pembangunan ibukota negara Indonesia, Jakarta. 
    Secara umum kita harus memberikan apresiasi dan mengangkat topi tinggi-tinggi kepada para kandidat atas kesediaannya berkompetisi untuk menjadi pemimpin Jakarta ini. Saya mungkin orang yang akan mengangkat topi paling tinggi untuk itu. Karena siapapun memahami bahwa persoalan yang ada di ibukota ini luar biasa kompleksnya. Bila membangun kota ini bagaikan membuat kain tenun, rasanya tidak akan terbuat selembarpun. Saat mengamati seorang ibu tua menenun kain di pulau Nusa Penida Bali, ternyata pekerjaan rumit pertama yang harus dilakukan adalah menata ratusan benang sebagai motif dasar dengan jarak dan panjang yang beraturan dan sangat rapi. Setelah itu dikaitkanlah berbagai benang berwarna-warni yang pada akhirnya akan menghiasi keindahan corak kain tenun yang dihasilkan. Ketika saya tanya, bagaimana apabila saat mengatur benang-benang diawal tadi keliru? Sang ibu menjawab singkat, ya tidak bisa, dan harus ditata ulang dari awal. 
    
     Bagaimana dengan menenun kota Jakarta? Apakah benang-benang perencanaan awal telah ditata dengan benar dan rapi? Sampai pertanyaan awal ini saja mungkin kita sudah akan berdebat tanpa ada titik temu yang memuaskan semua pihak. Padahal apakah itu banjir, kemacetan, keamanan, ketertiban dan sebagainya, sebenarnya hanyalah hiasan kain tenun yang akan dihasilkan nanti. Karena banjir, macet, ketidak amanan, pasti terjadi karena hal dasar diatasnya yang tidak sempurna. Kita berikan salah satu contoh persoalan utama yang sudah menjadi keseharian di Jakarta mungkin sejak berpuluh tahun yang lalu. 
Yaitu tentang ijin tata guna atau peruntukan lahan. Gagasan menetapkan daerah peruntukan dari dulu hanyalah pepesan kosong belaka. Papan peringatan dengan symbol Pemerintah Daerah yang bertuliskan “Tidak boleh membuka Usaha didaerah perumahan”, hanya jadi papan tempat anak-anak iseng mencoretkan cat semprotnya saja. Akibatnya tidak perlu ditanya lagi. Sampah rumah tangga menjadi satu dengan perkantoran. Lalu lintas masyarakat pulang kerja bercampur menjadi satu dengan masyarakat yang berangkat kerja. Atau dengan kata lain, setiap saat ada lalulintas pulang dan pergi kerja. 
Belum lagi hoby gali lobang tutup lobang hampir disetiap jalan yang ada. Bercampurnya berbagai kegiatan itupun hampir pasti berpengaruh pada sisi ketertiban dan kemanan lingkungan. Dilingkungan saya saja yang kebetulan berada dijalan buntu, masih saja ada tetangga mendapatkan ijin membuka kantor. Bukan saja terganggu oleh berisiknya para pegawai yang hampir setiap malam lembur, namun terkadang masuk rumah untuk istirahatpun terganggu oleh banyaknya kendaraan yang terparkir. Mungkin tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa Jakarta sudah salah sejak lahir. Benang-benang dasar yang seharusnya ditata rapi sebelum ditenun, sudah terlanjur kusut dan semrawut. 

    Lalu apakah kemudian semua harus menyerah sehingga Jakarta tidak lagi bisa diperbaiki? Tidak juga. Namun saya salah satu pihak yang sangat tidak percaya kalau ada yang bilang “hanya” sekian tahun banjir akan hilang, “hanya” sekian tahun kemacetan akan terurai, “hanya” sekian tahun ketertiban masyarakat akan terbangun dan sebagainya. Jadi apa yang bisa dijanjikan oleh calon pemimpin Jakarta dimasa depan? Menurut saya hanya berniat akan bekerja sangat keras, jujur, adil, tidak nyolong duit rakyat, tidak takut preman, tidak takut mati saja sudah cukup. Lalu siapa? Dari proses demokrasi yang telah dilalui kelihatannya pilihannya hanya tinggal Foke dan Jokowi saja.

Foke Sang Petahana

     Satu-satunya calon yang sekarang juga sedang menjabat Gubernur adalah Foke. Beliau pula satu-satunya yang memang berkumis. Sehingga sempat dijadikan kebanggaan ikon kampanye calon lain, yang diplesetkan sebagai singkatan Kumuh dan Miskin. Ide kreatif, imaginatif dan tidak berhasil. Sebagai Gubernur yang sedang menjabat, apalagi tugas-tugas sebelumnya juga selalu berada dilingkungan Pemerintah Daerah Jakarta, tentu Foke punya berbagai pengalaman praktek yang nyata dalam memimpin ibukota ini. Untuk bekerja dengan baik, seorang Gubernur tentu juga harus memiliki tim kerja yang solid, dipercaya dan loyal kepada tugas. Untuk itu Foke juga pasti telah membangun jajarannya. Disisi lain, warga Jakarta juga pasti sudah banyak tahu prestasi, kekurangan, ataupun kegagalan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI dibawah kepemimpinan Foke. Oleh sebab itu, Foke dan jajarannya juga pasti sudah tahu apa yang harus diperbaiki untuk memuaskan masyarakat Jakarta. Tentunya segala catatan tadi harus menjadi bahan yang sangat tepat untuk berkampanye pada masa kampanye yang lalu. Saya tidak tahu apakah hal itu dilakukan. Karena secara klasik, keberhasilan seorang pemimpin adalah bila yang bersangkutan tidak cepat puas atas prestasi, dan selalu bersedia menerima kritik untuk perbaikan dimasa depan. Ketidak puasan masyarakat adalah titik awal perbaikan ataupun penyempurnaan yang harus dilakukan. Ketidak puasan masyarakatpun harus dikaji dan disimpulkan sebagai ketidak puasan umum yang obyektif. Bukan ketidak puasan salah satu pihak saja, kemudian mendorong pemimpin dengan mudah membuat kebijakan dengan mengalahkan kepentingan umum yang lebih besar. Biasanya hal ini terjadi karena pengambil keputusan terganggu oleh ancaman fisik, ancaman jabatan, ancaman kelompok tertentu, bahkan ancaman segepok uang. Foke pasti berpengalaman mengenai berbagai hal ini. 
    
    Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta telah berlangsung. Ternyata dengan segala catatan kelebihan diatas, Foke dan pasangannya menjadi peraih suara kedua, bukan yang terbanyak. Sontak semua berkomentar. Ada yang bilang Foke kurang turun kebawah. Ada yang bilang Foke terlalu elitis. Ada yang bilang partai pendukungnya kurang kuat. Ada yang bilang Foke tidak berprestasi apa-apa. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya apakah Foke memang seperti itu? Sebagai gubernur selama ini apa Foke tidak pernah turun kebawah? Mungkin semua itu masih bisa dipertanyakan. Namun yang sudah pasti sesuai fakta, adalah dalam pemilihan pertama ini mayoritas pemilih tidak memilih Foke dan pasangannya.  Karena ini yang sudah pasti, sebaiknya tim suksesnya mencari jawab, mengapa mayoritas masyarakat tidak memilih Foke dan pasangannya diputaran pertama kemarin? Agar tidak ada kambing yang menghitam.

Jokowi Wong Solo

    Sejak kedatangan mobil EsEmKa Solo yang kemudian sempat diributkan penggagasnya ke Jakarta, masyarakat sudah mulai menebak keinginan Jokowi berkiprah dipemerintah daerah Jakarta. Apapun jalan ceritanya, ternyata tebakan masyarakat tidak meleset. Jokowi menyatakan dirinya siap menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Mungkin warga Jakarta belum banyak yang kenal sosok Jokowi. Mungkin mereka lebih kenal Jokowi sebagai Walikota Solo dan pendukung mobil EsEmKa. Tetapi hampir pasti warga Jakarta belum mengenal karakter Jokowi dalam mejalankan tugasnya. Jokowi dengan nama lengkap Joko Widodo lahir di Solo tanggal 21 Juni 1961. Sekolah SD sampai SMA di Solo. Kuliah sedikit keluar ke Jogyakarta. Orangnya kalem khas sosok wong Solo. Oleh karenanya yang bersangkutan sukses memimpin Solo dengan karakter masyarakat yang mirip pula. Walau dibesarkan dan lama di Jawa Timur, ayah sayapun asli Mangkunegaran Solo, sedangkan ibu dari Darmosarkaran. Pelajaran utama dari orang tua yang selalu melekat di-diri saya adalah kewajiban untuk bertatakrama, unggah ungguh, hormat kepada orang lain apalagi yang lebih tua dan harus tunduk kepada orang tua, ngabekti marang wong tuwo. Pemimpin kota Solo akan berhasil bila karakter unggah ungguh ini dimilikinya. Saya tidak tahu apakah ada pemimpin kota Solo yang gagal karena karakter ini. Sebagai orang Jawa apalagi Solo seperti Jokowi juga pasti faham ada falsafah deso mowo coro. Dalam terjemahan bebas saya, bahwa sesuatu itu akan berkembang sesuai dimana tempatnya berkembang. Saya berdarah Jawa Tengah, Istri berdarah Jawa Timur, anak-anak saya besar di Jakarta. Oleh karenanya mereka fasih berbahasa Jakarta, dan bukan berbahasa Jawa Tengah atau Jawa Timur. Mereka berkembang sesuai dengan tempat mereka berkembang. 

    Inilah tantangan utama Jokowi kalau ingin memimpin ibukota Jakarta. Ngabekti di Jakarta mungkin sudah jadi barang yang langka. Unggah-ungguh sudah menjadi impian baru bagi warga yang masih menganutnya. Merokok disebelah gambar dilarang merokok, sama sekali bukan hal asing diibukota ini. Bagaimana mengurai kemacetan kalau tata guna lahan sudah tumpang tindih seperti ini. Bagaimana mengurangi banjir kalau blue print tata kotanya selalu berubah. Lalu pertanyaannya kalau Jokowi ternyata menang, apakah bisa menjalankan tugasnya dan sukses memimpin Jakarta? Saya orang yang selalu optimis. Bisa saja Jokowi berhasil, bila karakter Solo Jokowi bisa diikuti jajarannya. Seluruh Walikota didaerah DKI Jakarta bisa dan harus menerima karakter kepemimpinan Jokowi. Kalau masyarakat DKI tidak perlu dikhawatirkan oleh para kandidat Gubernur. Kalau Gubernurnya bekerja dengan baik, jujur, tidak korupsi, tidak cengeng, pasti warga akan memberikan dukungan. Namun dukungan utama yang harus didapatkan oleh seorang pemimpin organisasi datang dari jajaran intern organisasinya. Jangan lupa pula oleh jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerahnya.

Cermin Politik Indonesia

   Fenomena keunggulan suara Jokowi dibanding suara yang didapatkan Foke menjadi perbincangan dan bahan analisa berbagai pihak. Dengan berbagai kepandaiannya, para pengamat menyimpulkannya dengan berbagai versi. Ada yang berpendapat ini adalah sebuah tanda-tanda politik baru. Politik apalagi?, pertanyaan saya. Kalau bicara politik tentu kita tidak lepaskan dari peran partai politik. Kalau dikaitkan dengan partai politik, bukankah seharusnya yang unggul semestinya seperti pasangan Alex dan Nono yang dicalonkan Partai Golkar? Hampir setiap hari dikoran-koran ibukota halaman demi halaman diborong pasangan ini dengan segala jargon kampanyenya. Namun suara rakyat berkata lain. 
Foke dan pasangannya yang selalu diunggulkan oleh surveyor, juga ternyata tidak benar. Lalu ada yang berkesimpulan, masyarakat tidak lagi berpaling kepada apa partai politiknya, namun siapa orangnya. Saya benar-benar cemas bila hal ini memang terjadi. Negara demokrasi seperti Indonesia seharusnya memiliki partai politik partai politik yang baik dan menjadi candradimukanya kader pemimpin politik bangsa. Kalau partai politik semakin tidak mendapatkan penghormatan dari masyarakat, maka bukan tidak mungkin akan lahir pemimpin yang otoritarian di negeri ini. Penilaian dan pengamatan berbagai pihak terhadap fenomena inipun seharusnya diarahkan kepada perbaikan perpolitikan bangsa, dan bukan hanya kepada ego kesenangan sendiri dalam mengolah dinamika sebuah proses politik. 

    Pemimpin ibukota bukan hanya memimpin masyarakat Jakarta, namun memimpin muka wajah Indonesia. Dan seperti negara manapun, pemimpin ibukota harus bertanggungjawab kepada Presiden. Oleh karenanya Presiden akan percaya kepada siapapun Gubernur DKI terpilih nanti. Presiden tidak boleh memihak siapapun. Namun partai politik manapun boleh ikut berkompetisi dan mendukung calonnya. Termasuk Partai Politik darimana Presiden RI berasal, siapapun Presidennya. Karena memang begitulah aturannya saat ini.

Salam
Juli'2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar