Catatan, 18 Juli 2012
Kali ini saya benar-benar hanya bisa memberikan catatan tentang dinamika berjalannya Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Walau Kartu Tanda Pemilih sampai dikediaman, tetapi karena sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit diluar Jakarta, saya dan istri tidak bisa ikut pesta demokrasi itu. Tentu saya harus mohon maaf khususnya kepada para kandidat yang telah memeras segala energinya, mencoba menjadi penyelamat pembangunan ibukota negara Indonesia, Jakarta.
Kali ini saya benar-benar hanya bisa memberikan catatan tentang dinamika berjalannya Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Walau Kartu Tanda Pemilih sampai dikediaman, tetapi karena sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit diluar Jakarta, saya dan istri tidak bisa ikut pesta demokrasi itu. Tentu saya harus mohon maaf khususnya kepada para kandidat yang telah memeras segala energinya, mencoba menjadi penyelamat pembangunan ibukota negara Indonesia, Jakarta.
Secara umum
kita harus memberikan apresiasi dan mengangkat topi tinggi-tinggi kepada para
kandidat atas kesediaannya berkompetisi untuk menjadi pemimpin Jakarta ini.
Saya mungkin orang yang akan mengangkat topi paling tinggi untuk itu. Karena
siapapun memahami bahwa persoalan yang ada di ibukota ini luar biasa
kompleksnya. Bila membangun kota ini bagaikan membuat kain tenun, rasanya tidak
akan terbuat selembarpun. Saat mengamati seorang ibu tua menenun kain di pulau
Nusa Penida Bali, ternyata pekerjaan rumit pertama yang harus dilakukan adalah
menata ratusan benang sebagai motif dasar dengan jarak dan panjang yang
beraturan dan sangat rapi. Setelah itu dikaitkanlah berbagai benang
berwarna-warni yang pada akhirnya akan menghiasi keindahan corak kain tenun
yang dihasilkan. Ketika saya tanya, bagaimana apabila saat mengatur benang-benang
diawal tadi keliru? Sang ibu menjawab singkat, ya tidak bisa, dan harus ditata
ulang dari awal.
Bagaimana dengan menenun kota Jakarta? Apakah benang-benang
perencanaan awal telah ditata dengan benar dan rapi? Sampai pertanyaan awal ini
saja mungkin kita sudah akan berdebat tanpa ada titik temu yang memuaskan semua
pihak. Padahal apakah itu banjir, kemacetan, keamanan, ketertiban dan
sebagainya, sebenarnya hanyalah hiasan kain tenun yang akan dihasilkan nanti.
Karena banjir, macet, ketidak amanan, pasti terjadi karena hal dasar diatasnya
yang tidak sempurna. Kita berikan salah satu contoh persoalan utama yang sudah
menjadi keseharian di Jakarta mungkin sejak berpuluh tahun yang lalu.
Yaitu
tentang ijin tata guna atau peruntukan lahan. Gagasan menetapkan daerah
peruntukan dari dulu hanyalah pepesan kosong belaka. Papan peringatan dengan
symbol Pemerintah Daerah yang bertuliskan “Tidak boleh membuka Usaha didaerah
perumahan”, hanya jadi papan tempat anak-anak iseng mencoretkan cat semprotnya
saja. Akibatnya tidak perlu ditanya lagi. Sampah rumah tangga menjadi satu
dengan perkantoran. Lalu lintas masyarakat pulang kerja bercampur menjadi satu
dengan masyarakat yang berangkat kerja. Atau dengan kata lain, setiap saat ada
lalulintas pulang dan pergi kerja.
Belum lagi hoby gali lobang tutup lobang
hampir disetiap jalan yang ada. Bercampurnya berbagai kegiatan itupun hampir
pasti berpengaruh pada sisi ketertiban dan kemanan lingkungan. Dilingkungan
saya saja yang kebetulan berada dijalan buntu, masih saja ada tetangga
mendapatkan ijin membuka kantor. Bukan saja terganggu oleh berisiknya para
pegawai yang hampir setiap malam lembur, namun terkadang masuk rumah untuk
istirahatpun terganggu oleh banyaknya kendaraan yang terparkir. Mungkin tidak
salah kalau ada yang mengatakan bahwa Jakarta sudah salah sejak lahir.
Benang-benang dasar yang seharusnya ditata rapi sebelum ditenun, sudah
terlanjur kusut dan semrawut.
Lalu apakah kemudian semua harus menyerah
sehingga Jakarta tidak lagi bisa diperbaiki? Tidak juga. Namun saya salah satu
pihak yang sangat tidak percaya kalau ada yang bilang “hanya” sekian tahun
banjir akan hilang, “hanya” sekian tahun kemacetan akan terurai, “hanya” sekian
tahun ketertiban masyarakat akan terbangun dan sebagainya. Jadi apa yang bisa
dijanjikan oleh calon pemimpin Jakarta dimasa depan? Menurut saya hanya berniat
akan bekerja sangat keras, jujur, adil, tidak nyolong duit rakyat, tidak takut
preman, tidak takut mati saja sudah cukup. Lalu siapa? Dari proses demokrasi
yang telah dilalui kelihatannya pilihannya hanya tinggal Foke dan Jokowi saja.
Foke Sang Petahana
Satu-satunya
calon yang sekarang juga sedang menjabat Gubernur adalah Foke. Beliau pula
satu-satunya yang memang berkumis. Sehingga sempat dijadikan kebanggaan ikon
kampanye calon lain, yang diplesetkan sebagai singkatan Kumuh dan Miskin. Ide
kreatif, imaginatif dan tidak berhasil. Sebagai Gubernur yang sedang menjabat,
apalagi tugas-tugas sebelumnya juga selalu berada dilingkungan Pemerintah
Daerah Jakarta, tentu Foke punya berbagai pengalaman praktek yang nyata dalam
memimpin ibukota ini. Untuk bekerja dengan baik, seorang Gubernur tentu juga
harus memiliki tim kerja yang solid, dipercaya dan loyal kepada tugas. Untuk
itu Foke juga pasti telah membangun jajarannya. Disisi lain, warga Jakarta juga
pasti sudah banyak tahu prestasi, kekurangan, ataupun kegagalan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah DKI dibawah kepemimpinan Foke. Oleh sebab itu, Foke dan
jajarannya juga pasti sudah tahu apa yang harus diperbaiki untuk memuaskan
masyarakat Jakarta. Tentunya segala catatan tadi harus menjadi bahan yang
sangat tepat untuk berkampanye pada masa kampanye yang lalu. Saya tidak tahu
apakah hal itu dilakukan. Karena secara klasik, keberhasilan seorang pemimpin
adalah bila yang bersangkutan tidak cepat puas atas prestasi, dan selalu
bersedia menerima kritik untuk perbaikan dimasa depan. Ketidak puasan
masyarakat adalah titik awal perbaikan ataupun penyempurnaan yang harus
dilakukan. Ketidak puasan masyarakatpun harus dikaji dan disimpulkan sebagai ketidak
puasan umum yang obyektif. Bukan ketidak puasan salah satu pihak saja, kemudian
mendorong pemimpin dengan mudah membuat kebijakan dengan mengalahkan
kepentingan umum yang lebih besar. Biasanya hal ini terjadi karena pengambil
keputusan terganggu oleh ancaman fisik, ancaman jabatan, ancaman kelompok
tertentu, bahkan ancaman segepok uang. Foke pasti berpengalaman mengenai
berbagai hal ini.
Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta telah berlangsung.
Ternyata dengan segala catatan kelebihan diatas, Foke dan pasangannya menjadi
peraih suara kedua, bukan yang terbanyak. Sontak semua berkomentar. Ada yang
bilang Foke kurang turun kebawah. Ada yang bilang Foke terlalu elitis. Ada yang
bilang partai pendukungnya kurang kuat. Ada yang bilang Foke tidak berprestasi apa-apa.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya apakah Foke memang seperti itu? Sebagai
gubernur selama ini apa Foke tidak pernah turun kebawah? Mungkin semua itu
masih bisa dipertanyakan. Namun yang sudah pasti sesuai fakta, adalah dalam
pemilihan pertama ini mayoritas pemilih tidak memilih Foke dan pasangannya. Karena ini yang sudah pasti, sebaiknya
tim suksesnya mencari jawab, mengapa mayoritas masyarakat tidak memilih Foke
dan pasangannya diputaran pertama kemarin? Agar tidak ada kambing yang menghitam.
Jokowi Wong Solo
Sejak
kedatangan mobil EsEmKa Solo yang kemudian sempat diributkan penggagasnya ke
Jakarta, masyarakat sudah mulai menebak keinginan Jokowi berkiprah dipemerintah
daerah Jakarta. Apapun jalan ceritanya, ternyata tebakan masyarakat tidak meleset.
Jokowi menyatakan dirinya siap menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Mungkin warga Jakarta belum banyak yang kenal sosok Jokowi. Mungkin mereka
lebih kenal Jokowi sebagai Walikota Solo dan pendukung mobil EsEmKa. Tetapi
hampir pasti warga Jakarta belum mengenal karakter Jokowi dalam mejalankan tugasnya.
Jokowi dengan nama lengkap Joko Widodo lahir di Solo tanggal 21 Juni 1961. Sekolah SD sampai SMA di Solo.
Kuliah sedikit keluar ke Jogyakarta. Orangnya kalem khas sosok wong Solo. Oleh
karenanya yang bersangkutan sukses memimpin Solo dengan karakter masyarakat
yang mirip pula. Walau dibesarkan dan lama di Jawa Timur, ayah sayapun asli
Mangkunegaran Solo, sedangkan ibu dari Darmosarkaran. Pelajaran utama dari
orang tua yang selalu melekat di-diri saya adalah kewajiban untuk bertatakrama,
unggah ungguh, hormat kepada orang lain apalagi yang lebih tua dan harus tunduk
kepada orang tua, ngabekti marang wong
tuwo. Pemimpin kota Solo akan berhasil bila karakter unggah ungguh ini
dimilikinya. Saya tidak tahu apakah ada pemimpin kota Solo yang gagal karena
karakter ini. Sebagai orang Jawa apalagi Solo seperti Jokowi juga pasti faham
ada falsafah deso mowo coro. Dalam
terjemahan bebas saya, bahwa sesuatu itu akan berkembang sesuai dimana tempatnya
berkembang. Saya berdarah Jawa Tengah, Istri berdarah Jawa Timur, anak-anak
saya besar di Jakarta. Oleh karenanya mereka fasih berbahasa Jakarta, dan bukan
berbahasa Jawa Tengah atau Jawa Timur. Mereka berkembang sesuai dengan tempat
mereka berkembang.
Inilah tantangan utama Jokowi kalau ingin memimpin ibukota
Jakarta. Ngabekti di Jakarta mungkin
sudah jadi barang yang langka. Unggah-ungguh sudah menjadi impian baru bagi
warga yang masih menganutnya. Merokok disebelah gambar dilarang merokok, sama
sekali bukan hal asing diibukota ini. Bagaimana mengurai kemacetan kalau tata
guna lahan sudah tumpang tindih seperti ini. Bagaimana mengurangi banjir kalau
blue print tata kotanya selalu berubah. Lalu pertanyaannya kalau Jokowi
ternyata menang, apakah bisa menjalankan tugasnya dan sukses memimpin Jakarta?
Saya orang yang selalu optimis. Bisa saja Jokowi berhasil, bila karakter Solo
Jokowi bisa diikuti jajarannya. Seluruh Walikota didaerah DKI Jakarta bisa dan
harus menerima karakter kepemimpinan Jokowi. Kalau masyarakat DKI tidak perlu
dikhawatirkan oleh para kandidat Gubernur. Kalau Gubernurnya bekerja dengan
baik, jujur, tidak korupsi, tidak cengeng, pasti warga akan memberikan
dukungan. Namun dukungan utama yang harus didapatkan oleh seorang pemimpin
organisasi datang dari jajaran intern organisasinya. Jangan lupa pula oleh
jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerahnya.
Cermin Politik Indonesia
Fenomena
keunggulan suara Jokowi dibanding suara yang didapatkan Foke menjadi
perbincangan dan bahan analisa berbagai pihak. Dengan berbagai kepandaiannya,
para pengamat menyimpulkannya dengan berbagai versi. Ada yang berpendapat ini
adalah sebuah tanda-tanda politik baru. Politik apalagi?, pertanyaan saya.
Kalau bicara politik tentu kita tidak lepaskan dari peran partai politik. Kalau
dikaitkan dengan partai politik, bukankah seharusnya yang unggul semestinya
seperti pasangan Alex dan Nono yang dicalonkan Partai Golkar? Hampir setiap
hari dikoran-koran ibukota halaman demi halaman diborong pasangan ini dengan
segala jargon kampanyenya. Namun suara rakyat berkata lain.
Foke dan
pasangannya yang selalu diunggulkan oleh surveyor, juga ternyata tidak benar.
Lalu ada yang berkesimpulan, masyarakat tidak lagi berpaling kepada apa partai
politiknya, namun siapa orangnya. Saya benar-benar cemas bila hal ini memang terjadi.
Negara demokrasi seperti Indonesia seharusnya memiliki partai politik partai
politik yang baik dan menjadi candradimukanya kader pemimpin politik bangsa.
Kalau partai politik semakin tidak mendapatkan penghormatan dari masyarakat,
maka bukan tidak mungkin akan lahir pemimpin yang otoritarian di negeri ini.
Penilaian dan pengamatan berbagai pihak terhadap fenomena inipun seharusnya
diarahkan kepada perbaikan perpolitikan bangsa, dan bukan hanya kepada ego
kesenangan sendiri dalam mengolah dinamika sebuah proses politik.
Pemimpin
ibukota bukan hanya memimpin masyarakat Jakarta, namun memimpin muka wajah Indonesia.
Dan seperti negara manapun, pemimpin ibukota harus bertanggungjawab kepada
Presiden. Oleh karenanya Presiden akan percaya kepada siapapun Gubernur DKI
terpilih nanti. Presiden tidak boleh memihak siapapun. Namun partai politik
manapun boleh ikut berkompetisi dan mendukung calonnya. Termasuk Partai Politik
darimana Presiden RI berasal, siapapun Presidennya. Karena memang begitulah
aturannya saat ini.
Salam
Juli'2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar