Sabtu, 07 Desember 2013

PEMILU 2014 DAN MIMPI INDAH ETIKA POLITIK


Catatan, 22 Nopember 2013


   Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik 
itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak 
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Pembaca jangan terburu-buru berharap seolah akan membaca analisa teoritis bak kajian seorang ilmuwan dalam catatan saya ini. Bahkan kalimat pembuka itu saja, saya mengutip persis plek, alias nyontek tulisan pembuka DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, yang berjudul : Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus.

   Mengapa saya berusaha suka membuat catatan? Sederhana saja, karena saya ingin belajar, dan membuat catatan menurut saya adalah cara yang paling sederhana untuk mudah mengingat sebuah pengetahuan. Makanya kalau ada politisi yang sering lupa janji kampanyenya setelah duduk menjabat, biasanya karena mereka tidak suka mencatat. Saya kenal banyak politisi, memang kebanyakan dari mereka sangat pandai berbicara serta berdebat, namun agak jarang terlihat mereka mencatat, apalagi mencatat saran orang lain. Tentang hal ini, saya harus membuka topi bagi Presiden RI, SBY. Bergaul sejak menjabat Kassospol ABRI sampai menjadi Presiden RI, saya melihat SBY selalu mencatat dalam buku hariannya semua inti pembicaraan orang lain dan apa yang mau dikatakannya bila melakukan diskusi, rapat atau pertemuan. Saya malah berharap, siapa tau suatu saat setelah tidak menjabat, SBY bersedia menunjukkan berbagai buku hariannya pada sebuah perpustakaan. Tentu buku harian yang bukan berisi urusan pribadi.
Kembali bicara topik catatan saya kali ini. Kita sudah sangat sering mendengar pentingnya etika politik. Kita sering membaca kelakuan politisi yang dinilai pengamat dan media sebagai sikap yang tidak beretika politik. Saya sungguh belum faham benar apa itu etika politik di kehidupan politik kita saat ini. Oleh karena itulah, saya berusaha membuat catatan ini. Ketika sedang menulis didepan komputer, anak laki-laki saya bertanya “Pak, apa bedanya sih antara etika politik dan etika yang diajarkan bapak dalam keluarga kita?”. Saya jawab “Itulah mengapa bapak mencoba membuat catatan ini, karena bapak sendiri belum mudeng”.

Berbagai Pandangan Tentang Etika Politik

   Plato pernah membuat pandangan bahwa etika bukan hanya mengenai kaidah benar dan salah, melainkan juga berkaitan dengan standar kepantasan. Maka dalam etika politik, Plato menyitir bahwa standar kepantasan tadi terletak dan harus berupa kompetensi dan kejujuran. Sehingga menurutnya tidak semua individu layak dan pantas menjadi pejabat negara. Seseorang yang tidak kompeten dan jujur, menurutnya tidak layak menjadi pemimpin politik.  

   Ada lagi ilmuwan yang berpikir tentang pentingnya etika politik, namanya Karl Wallace. Menurutnya ada empat nilai yang mendasar bagi sistim politik, yaitu (1) penghormatan atau keyakinan akan wibawa dan harga diri individu, (2) keterbukaan atau keyakinan pada pemerataan kesempatan, (3) kebebasan yang disertai tanggung jawab dalam pelaksanaan kebebasan, (4) keyakinan pada kemampuan setiap orang dalam memahami hakekat demokrasi.

   Masih dalam tulisan DR Haryatmoko, dicatat ada pula pandangan dari sosok bernama Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup 
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif 
(etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam 
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara 
pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, dan membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi 
menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: 
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Maka seharusnya melalui 
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima 
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.

   Membaca berbagai teori dan pandangan dari para pemikir diatas, sungguh jauh lebih mudah dibanding dengan menyaksikan prateknya dikehidupan politik ini. Memahami makna pandangan tentang etika politik saja mungkin bukan hal mudah bagi para politisi. Apalagi mengamalkannya. Etika politik ternyata memang sebuah perilaku yang sangat kompleks. Kalimat ini yang paling mudah terucap, sehingga sering digunakan sebagai kata maaf dari mereka yang seharusnya menjalankannya. Apalagi kalau memahami pandangan Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa etika politik itu adalah etika sosial, bukan etika individual. Mungkin ini sebenarnya jawaban dari pertanyaan anak saya tadi. Kalau sudah bicara etika sosial, mestinya harus pula menyangkut kesetaraan, saling hormat menghormati, menghargai dan sebagainya. Bagaimana keseharian politik kita saat ini? Sudah adakah cara-cara berpolitik berdasar pada etika politik atau etika sosial itu?

Pemerintah Salah Semua?

   Hari ini memang berada didalam musim Pemilu, atau yang lebih dikenal dengan tahun politik. Kita sering mendengar perkataan bahwa dimusim pemilu, suhu politik meningkat, alias panas. Saya bisa sepakat bisa tidak. Kalau persaingan antar partai politik berlangsung lebih ramai, saya sepakat. Namun kalau dikatakan politik Indonesia memanas, kok saya kurang sependapat. Kehidupan bangsa ini seolah dianggap mau meledak saja. Bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan Pemilu. Rakyat jangan termakan oleh provokasi petualang yang suka mengobarkan api tanpa korek. Menyebarkan berita genting tanpa dasar. Hingar bingar atau memanasnya berita politik, perdebatan, sekali-kali demo, bisa dicatat bahwa terjadinya selalu menjelang Pemilu, termasuk Pilkada.
Namun sekali lagi, kalau dalam musim Pemilu seperti ini berbagai partai politik ramai-ramai bersaing, kampanye sebagai yang terbaik, wajar-wajar saja. Saya malah pernah menulis TL dalam twiter bahwa hari-hari ini menarik membaca koran atau melihat TV yang hampir selalu memuat kampanye masing-masing pemiliknya. Karena faktanya hampir semua pemilik media di tanah air ini sekarang ramai-ramai menjadi politisi. Salahkah? Mestinya tidak ada yang bisa bilang salah dengan hal itu. Bahkan dalam politik juga diamini untuk melakukan negative campaign, atau kampanye negatif. Kampanye ini mengemukakan kelemahan lawan politiknya. Asal tidak sampai menjadi black campaign, atau kampanye hitam yang berisi fitnah, hal ini masih bisa diterima. Ini yang sering menjadi dilema pemerintah atau tepatnya Presiden seperti saat ini. Dengan pemahaman bahwa nobody perfect, apalagi sebuah pemerintahan, maka diantara begitu banyak keberhasilan pemerintahan ini, pasti ada hal-hal yang belum berhasil, tidak sempurna, bahkan kesalahan yang perlu diperbaiki. 
   
   Saya meyakini bahwa pemerintah yang sudah mendekati akhir masa tugas ini telah mencapai lebih banyak  keberhasilan dibanding kegagalan. Sederhana saja, kalau tidak, hampir pasti kehidupan rakyat diseluruh tanah air telah rusak berantakan. Bahwasanya masih ada yang belum baik, bahkan kesalahan, pasti terjadi. Namun itulah hakekat pembangunan. Itulah hakekat mengapa harus ada roda penerus pemerintahan dengan adanya Pemilu. Itulah hakekat memperjuangkan masa depan bangsa, yang tidak semudah membalik telapak tangan.
Pemerintah sekarang memang tidak memiliki corong yang cukup untuk menyampaikan berbagai kinerjanya. Tidak seperti pemerintah sebelumnya, semisal jaman orde baru. Karena seorang Presiden di Indonesia selalu berasal dari sebuah Partai Politik, maka wajar bila kekurangan dan kesalahan Presiden bersama Pemerintah yang sedang memegang amanah sering dibesarkan diarena publik. Apalagi dalam musim Pemilu ini. Ditambah lagi apabila mayoritas media masa termasuk televisi dimiliki oleh para politisi.
Pemerintah dengan Presidennya bisa saja tidak peduli dengan pemberitaan dan bekerja seperti biasa saja. Namun kekuatan sebuah berita yang dibaca dan didengar secara terus menerus, bisa sangat mempengaruhi pemahaman rakyat. Dilema ini pasti akan dirasakan oleh siapapun Presiden Republik Indonesia. Terutama Presiden yang tidak punya media masa. Besar kecilnya keberhasilan Pemerintah tidak menjadi kepentingan bagi politisi yang sedang bersaing dalam pemilu. Dalam menjalankan strategi kampanye negatif, sekecil apapun kelemahan lawan akan diungkapkannya secara besar-besaran. Itulah fakta persaingan politik, dan sah-sah saja.
    
    Disinilah relevansinya kata etika politik perlu untuk dihayati, karena menyangkut pula etika bagi kepentingan bersama sebagai bangsa. Kalau tidak, maka sikap berpolitik ditanah air ini akan semakin suram dan jauh dari beradab. Jangan ada lagi sikap seperti, orang yang digaji pemerintah tetapi sikapnya malah lebih dari oposisi pemerintah, atau pejabat didalam pemerintahan melawan kebijakan pemerintah sendiri. Politisi dan partai politik hanya menghormati etika individu tanpa menghayati etika politik yang notabene juga etika sosial, seperti ucap Paul Ricoeur. Sebelum etika politik itu bisa diterima, mungkin paling tidak falsafah Jawa ngono yo ngono, ning ojo ngono, sementara diterapkan para politisi khususnya menyongsong Pemilu 2014. Sehingga etika politik tidak terus hanya menjadi mimpi indah bangsa ini, namun suatu saat bisa terwujud. 

Salam
Nopember'2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar