Banyak
pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti
berteriak di padang gurun." "Etika politik
itu nonsens".
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun
bukan dari yang ideal, tidak
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik,
kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini,
bagaimana etika politik bisa berbicara?
Pembaca
jangan terburu-buru berharap seolah akan membaca analisa teoritis bak kajian
seorang ilmuwan dalam catatan saya ini. Bahkan kalimat pembuka itu saja, saya
mengutip persis plek, alias nyontek tulisan pembuka DR. Haryatmoko, pengajar
filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan
Kalijaga, Jogjakarta, yang berjudul : Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus.
Mengapa saya
berusaha suka membuat catatan? Sederhana saja, karena saya ingin belajar, dan
membuat catatan menurut saya adalah cara yang paling sederhana untuk mudah
mengingat sebuah pengetahuan. Makanya kalau ada politisi yang sering lupa janji
kampanyenya setelah duduk menjabat, biasanya karena mereka tidak suka mencatat.
Saya kenal banyak politisi, memang kebanyakan dari mereka sangat pandai
berbicara serta berdebat, namun agak jarang terlihat mereka mencatat, apalagi
mencatat saran orang lain. Tentang hal ini, saya harus membuka topi bagi
Presiden RI, SBY. Bergaul sejak menjabat Kassospol ABRI sampai menjadi Presiden
RI, saya melihat SBY selalu mencatat dalam buku hariannya semua inti
pembicaraan orang lain dan apa yang mau dikatakannya bila melakukan diskusi,
rapat atau pertemuan. Saya malah berharap, siapa tau suatu saat setelah tidak
menjabat, SBY bersedia menunjukkan berbagai buku hariannya pada sebuah
perpustakaan. Tentu buku harian yang bukan berisi urusan pribadi.
Kembali
bicara topik catatan saya kali ini. Kita sudah sangat sering mendengar
pentingnya etika politik. Kita sering membaca kelakuan politisi yang dinilai
pengamat dan media sebagai sikap yang tidak beretika politik. Saya sungguh
belum faham benar apa itu etika politik di kehidupan politik kita saat ini.
Oleh karena itulah, saya berusaha membuat catatan ini. Ketika sedang menulis
didepan komputer, anak laki-laki saya bertanya “Pak, apa bedanya sih antara
etika politik dan etika yang diajarkan bapak dalam keluarga kita?”. Saya jawab
“Itulah mengapa bapak mencoba membuat catatan ini, karena bapak sendiri belum
mudeng”.
Berbagai Pandangan Tentang Etika Politik
Plato pernah
membuat pandangan bahwa etika bukan hanya mengenai kaidah benar dan salah,
melainkan juga berkaitan dengan standar kepantasan. Maka dalam etika politik,
Plato menyitir bahwa standar kepantasan tadi terletak dan harus berupa
kompetensi dan kejujuran. Sehingga menurutnya tidak semua individu layak dan
pantas menjadi pejabat negara. Seseorang yang tidak kompeten dan jujur, menurutnya
tidak layak menjadi pemimpin politik.
Ada lagi
ilmuwan yang berpikir tentang pentingnya etika politik, namanya Karl Wallace.
Menurutnya ada empat nilai yang mendasar bagi sistim politik, yaitu (1)
penghormatan atau keyakinan akan wibawa dan harga diri individu, (2)
keterbukaan atau keyakinan pada pemerataan kesempatan, (3) kebebasan yang
disertai tanggung jawab dalam pelaksanaan kebebasan, (4) keyakinan pada
kemampuan setiap orang dalam memahami hakekat demokrasi.
Masih
dalam tulisan DR Haryatmoko, dicatat ada pula pandangan dari sosok bernama Paul
Ricoeur yang mengatakan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama
dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil.
Dalam
definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual
saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif
(etika sosial). Dalam etika
individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan
dalam
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial,
untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak
mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara
pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, dan membutuhkan
perantara. Perantara ini berfungsi
menjembatani pandangan pribadi dengan
tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai:
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan,
kesetaraan, dan sebagainya. Maka seharusnya melalui
simbol-simbol dan
nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara
agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.
Membaca berbagai teori
dan pandangan dari para pemikir diatas, sungguh jauh lebih mudah dibanding
dengan menyaksikan prateknya dikehidupan politik ini. Memahami makna pandangan
tentang etika politik saja mungkin bukan hal mudah bagi para politisi. Apalagi
mengamalkannya. Etika politik ternyata memang sebuah perilaku yang sangat
kompleks. Kalimat ini yang paling mudah terucap, sehingga sering digunakan sebagai
kata maaf dari mereka yang seharusnya menjalankannya. Apalagi kalau memahami
pandangan Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa etika politik itu adalah etika
sosial, bukan etika individual. Mungkin ini sebenarnya jawaban dari pertanyaan
anak saya tadi. Kalau sudah bicara etika sosial, mestinya harus pula menyangkut
kesetaraan, saling hormat menghormati, menghargai dan sebagainya. Bagaimana
keseharian politik kita saat ini? Sudah adakah cara-cara berpolitik berdasar
pada etika politik atau etika sosial itu?
Pemerintah Salah Semua?
Hari ini memang berada
didalam musim Pemilu, atau yang lebih dikenal dengan tahun politik. Kita sering
mendengar perkataan bahwa dimusim pemilu, suhu politik meningkat, alias panas.
Saya bisa sepakat bisa tidak. Kalau persaingan antar partai politik berlangsung
lebih ramai, saya sepakat. Namun kalau dikatakan politik Indonesia memanas, kok
saya kurang sependapat. Kehidupan bangsa ini seolah dianggap mau meledak saja.
Bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan Pemilu. Rakyat jangan termakan oleh
provokasi petualang yang suka mengobarkan api tanpa korek. Menyebarkan berita
genting tanpa dasar. Hingar bingar atau memanasnya berita politik, perdebatan,
sekali-kali demo, bisa dicatat bahwa terjadinya selalu menjelang Pemilu,
termasuk Pilkada.
Namun sekali lagi, kalau
dalam musim Pemilu seperti ini berbagai partai politik ramai-ramai bersaing,
kampanye sebagai yang terbaik, wajar-wajar saja. Saya malah pernah menulis TL
dalam twiter bahwa hari-hari ini menarik membaca koran atau melihat TV yang
hampir selalu memuat kampanye masing-masing pemiliknya. Karena faktanya hampir
semua pemilik media di tanah air ini sekarang ramai-ramai menjadi politisi. Salahkah?
Mestinya tidak ada yang bisa bilang salah dengan hal itu. Bahkan dalam politik
juga diamini untuk melakukan negative
campaign, atau kampanye negatif. Kampanye ini mengemukakan kelemahan lawan
politiknya. Asal tidak sampai menjadi black
campaign, atau kampanye hitam yang berisi fitnah, hal ini masih bisa
diterima. Ini yang sering menjadi dilema pemerintah atau tepatnya Presiden seperti
saat ini. Dengan pemahaman bahwa nobody
perfect, apalagi sebuah pemerintahan, maka diantara begitu banyak
keberhasilan pemerintahan ini, pasti ada hal-hal yang belum berhasil, tidak
sempurna, bahkan kesalahan yang perlu diperbaiki.
Saya meyakini bahwa pemerintah yang sudah mendekati akhir masa tugas ini telah mencapai lebih banyak keberhasilan dibanding kegagalan. Sederhana saja, kalau tidak, hampir pasti kehidupan rakyat diseluruh tanah air telah rusak berantakan. Bahwasanya masih ada yang belum baik, bahkan kesalahan, pasti terjadi. Namun itulah hakekat pembangunan. Itulah hakekat mengapa harus ada roda penerus pemerintahan dengan adanya Pemilu. Itulah hakekat memperjuangkan masa depan bangsa, yang tidak semudah membalik telapak tangan.
Pemerintah sekarang memang
tidak memiliki corong yang cukup untuk menyampaikan berbagai kinerjanya. Tidak
seperti pemerintah sebelumnya, semisal jaman orde baru. Karena seorang Presiden
di Indonesia selalu berasal dari sebuah Partai Politik, maka wajar bila
kekurangan dan kesalahan Presiden bersama Pemerintah yang sedang memegang
amanah sering dibesarkan diarena publik. Apalagi dalam musim Pemilu ini.
Ditambah lagi apabila mayoritas media masa termasuk televisi dimiliki oleh para
politisi.
Pemerintah dengan
Presidennya bisa saja tidak peduli dengan pemberitaan dan bekerja seperti biasa
saja. Namun kekuatan sebuah berita yang dibaca dan didengar secara terus
menerus, bisa sangat mempengaruhi pemahaman rakyat. Dilema ini pasti akan
dirasakan oleh siapapun Presiden Republik Indonesia. Terutama Presiden yang
tidak punya media masa. Besar kecilnya keberhasilan Pemerintah tidak menjadi
kepentingan bagi politisi yang sedang bersaing dalam pemilu. Dalam menjalankan
strategi kampanye negatif, sekecil apapun kelemahan lawan akan diungkapkannya
secara besar-besaran. Itulah fakta persaingan politik, dan sah-sah saja.
Disinilah relevansinya
kata etika politik perlu untuk dihayati, karena menyangkut pula etika bagi
kepentingan bersama sebagai bangsa. Kalau tidak, maka sikap berpolitik ditanah
air ini akan semakin suram dan jauh dari beradab. Jangan ada lagi sikap
seperti, orang yang digaji pemerintah tetapi sikapnya malah lebih dari oposisi
pemerintah, atau pejabat didalam pemerintahan melawan kebijakan pemerintah
sendiri. Politisi dan partai politik hanya menghormati etika individu tanpa
menghayati etika politik yang notabene juga etika sosial, seperti ucap Paul
Ricoeur. Sebelum etika politik itu bisa diterima, mungkin paling tidak falsafah
Jawa ngono yo ngono, ning ojo ngono,
sementara diterapkan para politisi khususnya menyongsong Pemilu 2014. Sehingga
etika politik tidak terus hanya menjadi mimpi indah bangsa ini, namun suatu
saat bisa terwujud.
Salam
Nopember'2013
Nopember'2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar