Sabtu, 07 Desember 2013

MEMAHAMI PANCASILA : MEMBANGUN DEMOKRASI


Catatan, 29 September 2013
   

   Membaca ratusan kali transkrip pidato Bung Karno dihari ketiga sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, tentang dasar Indonesia merdeka; yang kemudian menjadi Pancasila, seakan tak pernah habis kita menggali inspirasi dari isi kalimat-kalimat yang terucap.  Kehadiran seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter pasti akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa yang dipimpinnya. Walau karakter seorang pemimpin  sering tidak selalu tepat disetiap jaman dengan kondisinya, namun bicara kemerdekaan Indonesia saat itu, sulit mencari sosok berkarakter kuat dan tepat seperti Bung Karno. Secara khusus saat bicara tentang dasar Indonesia merdeka, kalimat-kalimat Bung Karno sungguh menggelorakan semangat bangsa ini untuk tegap membusungkan kemampuannya untuk merdeka. Merdeka lahir batin untuk membangun tanah airnya Indonesia.
Seperti kalimat beliau: “Zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil” yang maksudnya, selalu njlimet dalam membicarakan hal-hal sepele; tetap saja relevan bila digunakan sebagai inspirasi  kondisi politik hari ini. Bukankah hal itu yang masih sering terjadi dikehidupan politik bangsa ini. Ketika rakyat sudah berada diujung tanduk kekhawatiran atas kesulitan menghidupi keluarganya, masih saja politisi tempat penitipan aspirasi berdebat bagi kepentingannya yang serba sesaat. “Kalau harus selesai dulu, sampai njlimet, kita tidak akan mengalami Indonesia merdeka, sampai dilobang kubur”, kalimat mudah yang tak murah. Karena saat ini penuh makna sebagai kaca bagi semua. Kalau kehidupan politik bangsa ini masih saja diisi dengan debat kusir, caci maki, njlimet tanpa arti dan berpegang kepada kebenarannya sendiri-sendiri, tumbanglah jembatan emas yang dibangun para pendahulu.
   Semua kalimat yang mengemuka didalam pidato hari itu adalah atas permintaan Ketua sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, agar Bung Karno menyampaikan pendapatnya. Inti yang hendak dicapai dalam sidang itu adalah disusunnya dasar Indonesia Merdeka. Dari pidato itulah Bung Karno mengemukakan pendapatnya tentang dasar Indonesia merdeka, yang kemudian menjadi awal lahirnya dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Semua pemikiran yang dikemukakan Bung Karno tentang dasar-dasar bernegara dan berbangsa dalam pidato itu berhasil membangun sebuah gumpalan semangat bersama, kalau tidak dikatakan sebagai embrio kesepakatan.
Dasar mendirikan sebuah negara menurut Bung Karno, bukan sesuatu yang digagas secara instan, namun jauh hari sebelum negara itu lahir atau merdeka. Dengan memberikan contoh seperti yang dilakukan Lenin di Uni Soviet, Adolf Hitler di Jerman, Ibn Saud di Saudi Arabia, juga dr.Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya di Tiongkok. Bung Karno mengatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakannya telah terpikirkan pada tahun 1918, seperti dasar Kebangsaan. Sambil mengutip definisi Ernest Renan yang mengatakan bahwa syarat berbangsa adalah kehendak bersatu, Bung Karno menyampaikan pemahaman atas kesadarannya bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai perbedaan. Apakah suku, golongan juga agama. Bung Karno meyakini bahwa Tuhan telah menciptakan kesatuan-kesatuan dalam kehidupan di bumi, dan kesatuan dari beribu pulau dan lautan di Indonesia itulah tanah air Indonesia. Selain Kebangsaan Indonesia, dasar-dasar utama lain yang dikemukakan Bung Karno dalam sidang itu adalah kedua, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, ketiga Mufakat atau Demokrasi, keempat  Kesejahteraan Sosial, dan kelima adalah Ketuhanan. 
Kesimpulan yang ingin dikemukakan Bung Karno tentang dasar negara adalah bahwa Indonesia Merdeka bukan terjadi begitu saja, namun melalui perjuangan atas dasar-dasar yang digagas jauh sebelumnya. Sehingga apabila saat ini kita memiliki Pancasila, itu adalah dasar. Pancasila adalah pondasi Indonesia Merdeka. Pancasila adalah pondasi bagi Jembatan Emas. Pancasila adalah dasar atau pondasi bagi seluruh arah gerak bangsa Indonesia dalam mencapai masa depannya. Pancasila bukan pintu, bukan jendela, bukan atap, apalagi hiasan ruang tamu semata. Sekali lagi Pancasila adalah dasar, pondasi yang harus selalu dipertahankan agar tetap kokoh. Agar pilar, dinding, pintu sampai atap diatasnya selalu berdiri tegak. Agar Indonesia tetap tegak berdiri, berdaulat kuat dengan kakinya sendiri, walau badai persoalan apapun mendera.
Bung Karno mungkin memang pemimpin tepat yang dikirim Tuhan dimasa itu. Pemimpin bisa berganti, namun Indonesia akan tetap berdiri tegak. Pondasi telah dibangun kuat, dan jembatan telah berdiri kokoh untuk dilalui. Berpulang kepada bangsa Indonesia, apakah akan memiliki pemimpin-pemimpin selanjutnya yang memahami benar, mengapa para pendahulu rela mengorbankan nyawa untuk meraih Indonesia Merdeka. Indonesia Merdeka yang digagas dan diperjuangkan dengan dasar Kebangsaan, Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan. Bukan Indonesia Merdeka yang didasari kepentingan sempit ego orang per-orang, golongan, agama apalagi Partai Politik.

Membangun Demokrasi

Setiap momen dalam dinamika politik akan bisa melahirkan manfaat atau sebaliknya bencana bagi usaha membangun sebuah kehidupan demokrasi. Momen politik utama yang memberi pengaruh terbesar adalah Pemilihan Umum. Apakah itu pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum Kepala Daerah, dan pemilihan Presiden. Hari-hari ini bangsa Indonesia sedang mengarungi bahtera momen yang paling berpengaruh itu. Pemilihan Umum  DPR dan Pemilihan Presiden.
Berkaca kepada Pemilu sebelumnya, kita lihat saja hasil Pemilu tahun 2009. Saya pada awalnya menilai bahwa hasil Pemilu 2009 adalah terbaik sejak era Reformasi dikumandangkan. Pemerintah terbentuk dari Partai Demokrat, pemegang suara terbanyak dalam Pemilu DPR atau Partai Politik. Dan Presiden SBY hadir dari Partai Demokrat pula. Dalam usaha memperkuat hasil pesta politik yang semakin demokratis tersebut, SBY kemudian menggagas konsep penguatan kehidupan demokrasi itu dengan membangun Sekretariat Gabungan Partai Politik pendukung Pemerintah, yang kemudian dikenal sebagai Setgab Koalisi. Hampir pasti gagasan ini berdasar kepada niat baik agar jalannya pemerintahan menjadi lebih baik dan hubungan lembaga dengan DPR semakin jelas, kokoh dan akhirnya bermanfaat bagi seluruh rakyat. Namun apa yang kita saksikan akhir-akhir ini ternyata tidak seperti harapan yang ada. Ketidak harmonisan hubungan antara partai politik yang tergabung didalam Setgab Koalisi, seperti api didalam sekam. Hal ini merugikan semuanya, terutama bagi usaha membangun demokrasi bangsa ini. 
   Pemilu 2014 sudah didepan mata, bahkan sudah berlangsung. Tentu seluruh rakyat negeri ini berharap kehidupan politik dan demokrasi Indonesia semakin baik dari sebelumnya. Saya usulkan, sebaiknya partai politik yang merasa memiliki kesamaan garis idealisme dengan partai politik yang lain, dari saat ini sudah membangun kesepakatan , apakah itu bernama koalisi atau apapun. Sehingga dasar koalisinya nanti berdasar kepada kesamaan idealisme untuk membangun bangsa. Saya khawatir apabila koalisi itu dibentuk setelah Pemilu seperti sebelumnya, maka yang terjadi hanyalah koalisi sesaat yang dasarnya untuk hitungan keperluan jumlah suara saat itu semata. Benar, bahwa siapapun Presiden RI akan selalu menghitung jumlah suara di DPR. Karena dengan konstitusi yang ada sekarang, sebaik apapun kebijakan Pemerintah, tak akan serta merta bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat sebelum diundangkan oleh DPR. Pemerintah menyusun kebijakan dengan prinsip teknis profesionalisme, namun kebijakan itu bisa dijalankan setelah mempertaruhkan nyawanya mengarungi gelombang proses politik di DPR. Sekali lagi untuk membangun demokrasi menjadi lebih baik, partai politik peserta Pemilu juga harus semakin jelas garis sikapnya.
Selain itu, pemilihan Presiden-pun menjadi faktor utama semakin baiknya demokrasi bangsa ini atau tidak. Untuk hal ini, saya berpikir sebaiknya rakyat lebih aktif menyuarakan aspirasi tentang siapa Pemimpin atau Presiden harapannya nanti di Pemilu 2014. Lebih baik, misalnya 150 juta rakyat calon pemilih hari ini meyuarakan 150 juta nama calon harapannya, daripada rakyat nanti akhirnya terpojokkan pilihannya hanya pada calon yang digadang-gadang sendiri oleh Partai Politik. Untuk itu partai politik seharusnya kembali kehabitat sejatinya sebagai wadah aspirasi rakyat. Kalau partai politik menjalankan kesejatiannya secara benar, mereka seharusnya mendengarkan suara rakyat sebelum mengajukan calonnya, bukan sebaliknya.
   Apabila kembali membaca transkrip pidato Bung Karno didalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, bisa kita bayangkan, sebenarnya apa yang ada dibenak Bung Karno, dr.Soekiman, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abikoesno, Lim Koen Hian, Yamin, Prof.Soepomo, Moenandar, dan para tokoh nasional peserta sidang yang lain. Mereka ingin Indonesia Merdeka menjadi negara bangsa yang bebas, selalu bersatu melindungi semua rakyatnya dengan adil, mufakat atau demokrasi. Bahkan dalam bagian pidatonya Bung Karno dengan lantang mengatakan: ”Karena monarki “vooronderstelf erfelijkheid”-turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat (demokrasi), maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negarapun dipilih. Jikalau suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya jadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, jangan anaknya sendiri otomatis menggantikannya. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu”.

Bangsa ini sudah dibangunkan jembatan emas. Pelajaran yang diberikan para pendahulu saat memperdebatkan gagasan atas dasar negara, sepantasnya dimanfaatkan untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik ditanah air. Mungkin kita hari ini perlu kembali lebih sering berseru “Holopis Kuntul Baris. Gotong Royong buat kepentingan bersama”, seperti semboyan Bung Karno. 

Salam
September'2013 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar