Sabtu, 07 Desember 2013

BERAWAL DARI KERETA BIMA


 Catatan, 22 Nopember 2012


   Kereta api Bima dari setasiun Jakarta Gambir berangkat tepat waktu kearah Surabaya Gubeng. Gerbong yang saya tumpangi tampak rapih bersih dengan kursi yang nyaman berbalut kain biru berlambang panah. Dengan harga ticket yang lebih mahal dari harga pesawat terbang maskapai penerbangan tertentu, saya menilai angkutan kereta api sekualitas Bima ini wajar dan perlu dipertahankan bahkan kalau bisa dikembangkan. 

   Wanita muda disebelah saya menjadi kawan ngobrol selama perjalanan. Dengan tas ransel kecil dan laptop yang hampir tidak pernah dimatikan selama perjalanan, wanita muda itu bercerita banyak tentang kegiatannya. Kesalahan terbesar saya adalah tak menanyakan namanya. Oleh karenanya kita sebut saja namanya Mawar. Dengan membaca tulisan ini semoga Mawar bisa menghubungi saya, dan menjelaskan namanya yang benar. Mawar mengaku bekerja disebuah lembaga pemerintah di Jakarta. Saya ditugaskan mengikuti seminar dan latihan disebuah hotel di Jogyakarta, katanya. Seminar dan latihan itu diceritakan Mawar akan berisi sosialisasi pedoman cara penyusunan perubahan anggaran. Ketika saya tanya, siapa saja pesertanya? Mawar menjawab sekitar 30 orang dari tiga bagian dikantornya di Jakarta, yang lain tidak dia ketahui. Mengapa tidak di Jakarta saja, tanya saya. Sambil tertawa, Mawar mengatakan sekaligus untuk refreshing, dan biasanya memang diadakan diakhir tahun. Kenapa Mawar sendiri dalam kereta ini, tanya saya lagi, sambil mencari topik pembicaraan. Kata Mawar, teman-temannya banyak yang naik pesawat nanti hari minggu, karena seminarnya masih empat hari lagi. Memang perjalanan kereta api itu dihari libur bersama nasional kemarin. 
   Saya termenung mendengar cerita dik Mawar ini. Kantornya di Jakarta. Pesertanya teman-teman kantornya di Jakarta. Tapi seminarnya di Jogyakarta. Saya jadi bertanya, apa ruang pertemuan diseluruh Jakarta untuk sekitar 50 orang sudah habis disewa orang lain? Apa kantor dimana Mawar bekerja tidak punya ruangan yang bisa menampung? Jangan-jangan ini cerita klasik, untuk menghabiskan anggaran diakhir tahun? Semoga tidak begitu adanya. Akhirnya saya ingin melupakan cerita Mawar tadi. Karena pasti tidak bisa saya pahami, karena saya memang tidak pernah jadi pejabat yang memegang anggaran. Saat berhenti disetasiun Jogya, ternyata saya sedang tertidur. Karena saat berhenti kemudian di setasiun Solo Balapan, Mawar sudah sirna dari pandangan saya. 
   
   Dengan naik kereta api Bima, saya bisa turun dikota Madiun, hal mana tidak bisa terjadi bila naik pesawat terbang. Oleh karenanya saya maklum kalau harga ticketnya lebih mahal dibanding pesawat terbang ke Surabaya. Jarum jam di-handphone masih menunjuk jam 2.45 pagi. Kereta sudah berhenti disetasiun Madiun, lebih cepat sekitar 15 menit dari rencana. Salut bagi PT.KAI. Kereta api menurut saya adalah angkutan umum terbaik yang harus dikembangkan khususnya dipulau Jawa ini. Bahkan sangat tepat bila digunakan untuk angkutan antar kabupaten, kota dengan jarak pendek, atau bahkan angkutan didalam kota besar. Memuat banyak penumpang, dan tidak memerlukan pembebasan tanah yang terlalu luas untuk membangunnya. Contoh kongkrit adalah kereta api dari Solo ke Jogya dan sebaliknya, yang hanya berjarak sekitar 60 km.

Penyerapan Anggaran Belum Tentu Prestasi Kinerja

    Dengan berkendara mobil, saya beristirahat disebuah losmen dikota Ponorogo, sekitar 25 km dari setasiun Madiun. Losmen kecil langganan saya yang nyaman, dikelola oleh seorang ibu pensiunan pegawai negeri. Alhamdulillah, kamar-kamar kami selalu ada saja isinya, apalagi kalau liburan seperti ini, ucap ibu pengelola tadi sambil menyapu ruang tengah losmen. Cuti bersama secara nasional ternyata mendatangkan berkah tamu dan berbagai kegiatan ekonomi lain didaerah seperti Ponorogo dan sekitarnya. 
   Kepergian saya ke Madiun adalah dalam rangka memenuhi undangan sahabat-sahabat saya para petani dimana selama hampir lebih dari tujuh tahun terakhir ini, saya ikut menjadi pembinanya. Selain itu saya juga diajak berbincang dengan tokoh-tokoh masyarakat, dan para ulama disekitar desa Mlilir Madiun. Saya berniat tulus untuk ikut membina mereka semampu saya, kerena keyakinan bahwa apabila kegiatan bertani mereka benar dan berjalan baik, maka negara ini tidak akan pernah kekurangan pangan, khususnya beras. Keyakinan saya itu berdasarkan fakta bahwa lahan pertanian seperti padi, mayoritas dimiliki oleh para petani itu sendiri. Apakah prosesnya dilakukan sendiri oleh pemilik lahan, ataupun dilakukan oleh penggarap. Tanah itu mayoritas bukan milik pemerintah. Jadi bila pemerintah ingin mencapai swasembada beras misalnya, pemerintah cukup memberikan bantuan dan penyuluhan yang baik dan benar kepada para petani. Terus terang saya pribadi melihat sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan untuk membantu para petani. Mereka rata-rata masih melakukan kegiatannya dengan cara tradisional yang turun temurun. Ketergantungan terhadap benih dari pemerintah, ternyata tidak sepenuhnya karena mereka tidak mampu. Namun perlu pula dukungan kepada para petani untuk mengembangkan varietas sesuai karakteristik lahan mereka sendiri. 
   Daman, nama seorang sarjana pertanian lulusan universitas Brawijaya, yang sehari-hari bertani sendiri dilahannya yang tidak terlalu luas, membuktikan bahwa para petani mampu melakukan inovasi untuk meningkatkan produksi. Namun keluhannya sering terlontar karena berbagai bantuan pemerintah, seolah terpaksa diterimanya, namun tidak bisa mereka gunakan karena kualitas yang tidak baik. Seperti benih padi, pupuk padat dan pupuk cair. Belum lagi rata-rata petani hanya terlibat diproses produksinya saja, atau biasanya disebut kegiatan on farm. Mereka jarang terlibat dikegiatan paska panen atau of farm, seperti penjualan hasil dan sebagainya. Mereka berkeringat menanam, namun tidak bisa berbuat banyak terhadap harga jual hasil panenannya. Namun diluar itu semua, saya harus mengangkat topi dan merasa bangga atas apa yang para petani didaerah itu lakukan. Mereka guyub atau kompak. Saling memperhatikan satu dengan yang lain. 
   Ketika saya bantu mereka untuk membangun sebuah jembatanpun, saya minta dinamakan Jembatan Guyub. Agar jembatan itu tetap dirawat secara gotong royong, sehingga bermanfaat bagi semua. Saat panen, beberapa anggota kelompok petani itu ada yang langsung membeli mobil, walau sebenarnya sudah punya satu pick up. Saya sampaikan agar tidak melakukan hal itu, selain tidak terlalu penting, juga negara ini sudah terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk subsidi bahan bakar. Merekapun memahami dan langsung menjual mobilnya kembali, seperti yang dilakukan mbah Kaji Mahfud, petani senior yang bijak itu. Petani sebenarnya berpikiran sederhana. Mereka bersedia melakukan hal baru bila memang membantu mereka. Mereka berpikiran sederhana, bukan orang bodoh. Oleh karenanya jangan ada yang memanfaatkan kesederhanaan berpikir para petani, untuk kepentingan usaha para pengusaha yang hanya mencari segepok uang keuntungan. Jangan pula kesederhanaan berpikir petani digunakan untuk lahan penyelewengan uang negara. 
   Mereka mengeluh, menerima bantuan subsidi namun sebenarnya mereka tidak perlukan. Ketika akan mereka kembalikan, dijawab tidak bisa karena ini bagian dari penyerapan anggaran yang tidak bisa dikembalikan. Padahal petani takut dikatakan ikut kongkalikong nyolong uang rakyat. Sudah saatnya para elit apalagi pengambil keputusan kebijakan bagi petani berubah cara berpikir, dari sekedar menghabiskan anggaran, menjadi bagaimana mencapai tujuan setinggi mungkin. 
   
   Cerita Mawar dikereta Bima, cerita para petani di Mlilir Madiun harus menjadi pemicu perbaikan cara berpikir. Sering dikatakan penyerapan anggaran dikaitkan dengan tingkat kinerja. Benar, bila anggaran itu adalah anggaran proyek pembangunan. Namun bila menghabiskan anggaran dengan mengadakan acara yang sangat tidak penting seperti seminar, rapat-rapat, diklat dihotel mewah, diakhir tahun, menyalurkan dana subsidi yang tidak perlu, bukanlah sebuah kinerja yang perlu dinilai. Bahkan harus dikategorikan merugikan uang negara.

Kabar Onar Yang Menyebalkan

    Pak Harno mengajak saya melihat pertanian cabe-nya diatas bukit yang minim air, dimana sebenarnya sejak dulu tempat itu sudah direncanakan dibangun waduk oleh pemerintah. Saya tidak tahu, pemerintah mana yang seharusnya paling bertanggungjawab merealisasikan program tersebut. Menurut saya seharusnya pemerintah daerah kabupaten Madiun. Saya berjanji ikut membina, walau selama ini pak Harno memang sudah bergabung. Walau minim air, pak Harno dan kawan-kawan tidak pernah mengeluh meneruskan kegiatan pertaniannya. Mbah Sinun Marwi, tokoh senior Ansor,  yang selalu ikut selama ini, tampak mewakili kata hati teman-temannya saat mengutarakan harapan dan pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sederhana, “Apa yang bisa diberikan kepada masyarakat daerah ini untuk meningkatkan kesejahteraannya, dipenghujung pemerintahan ini?”. Sementara itu, kalau membaca media masa dan televisi, para pejabat di Jakarta hampir setiap hari bertengkar dan membuat kegaduhan saja, Agus Zamroni menambahkan.            

   Dipinggir kali dan sawah didesa Dungus, sambil makan siang, saya berbincang dengan para petani yang juga diikuti oleh tokoh setempat, seperti Haji Ahmad Ali, satkorcab Banser Madiun, Drs. H.Hari Sutopo seorang dosen, dan yang lain. Sambil makan ikan kali, ditemani sambal super pedas diwarung milik haji Syam, saya ikut merasa prihatin terhadap ungkapan teman-teman didesa Mililir Madiun itu yang ternyata juga terganggu dengan hiruk pikuk pemberitaan dimedia masa. Berita kongkalikong, seskab melaporkan menteri ke KPK, dan berita-berita onar yang lain dari Jakarta, ternyata melahirkan tanda tanya bagi mereka. Apa pemerintah bisa melakukan tugasnya dengan baik dan bermanfaat buat kita disini, kalau ribut terus? tanya mereka. Saya faham. Saya bisa mengerti perasaan mereka. Dan saya berpendapat sama dengan mereka. Berita-berita onar seperti hari-hari ini sebaiknya segera dihentikan. Kalau ada penyelewengan hukum , langsung saja dilakukan proses hukum oleh penegak hukum. Amanah menegakkan hukum sudah kita berikan kepada para penegak hukum. Selain penegak hukum harus faham dan benar-benar bekerja dengan jujur dalam memegang amanah ini, juga pihak lain siapapun mereka, jangan ikut campur alias melakukan intervensi. Apabila DPR berteriak jangan pemerintah melakukan intervensi terhadap berbagai kasus hukum, jangan pula DPR melakukan hal yang sama. 
Kalau judul berita utama koran Rakyat Merdeka  “Nasib Budiono, Dilepas KPK, Dibidik DPR”, itu benar, lalu siapa penegak hukum yang sebenarnya? Jangan sampai menjadi bentuk intervensi hukum dengan gaya politik. Saya menyampaikan kepada teman-teman didaerah Madiun itu, bahwa keonaran-keonaran ini bisa saja memicu panasnya politik. Panasnya politik pasti akan mengganggu kerja pemerintah termasuk Presiden. Karena Presiden sudah menyatakan akan bekerja sangat keras untuk mencapai kinerja setinggi mungkin, apapun yang bisa dicapai dipenghujung kepemimpinannya di pemerintahan ini. Saya katakan kepada mereka, jangan ragukan niat Presiden itu. Saya juga harapkan apabila berita-berita itu tidak berkaitan langsung dengan kegiatan teman-teman petani, tidak perlu ikut berpikir ruwetnya, namun bekerja saja dengan tekun dan bersatu dengan yang lain.

    Besoknya saya pamit, berkendara mobil, lewat Pondok Gontor, Trenggalek dan mampir di warung makanan khas Tulungagung, ayam Lodho ibu H.Mamik. Warung binaan pemerintah daerah Tulungagung yang diminta hanya menjual makanan khas tersebut. Mbak Lilik putrinya yang cantik mengatakan bahwa pak SBY pernah makan masakannya. Salamnya sudah saya sampaikan ke Ibu Ani. Tulungagung kota yang sangat bersih, semoga sebersih pikiran dan sikap warganya, agar bisa jadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akhirnya setelah melalui kota Malang dan Surabaya, saya kembali bergelimang kabar onar dan kemacetan yang menyebalkan karena banjir, ketidak tertiban dan demo di Jakarta.

Salam
Nopember'2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar