Rabu, 11 Desember 2013

BOGOR SEHARUSNYA BISA LEBIH BAIK



Bukan saja karena saya pernah numpang lahir di kota ini, namun juga karena memiliki Kebun Raya yang indah dan Istana Kepresidenan yang sering digunakan seorang Presiden RI bekerja, kota Bogor rasanya layak untuk lebih baik dari hari ini.

Kalau jalanan macet oleh banyaknya kendaraan, saya bisa memahami, karena masyarakat memang saat ini memiliki kelebihan untuk membeli kendaraan. Namun seperti yang semua rasakan, kesemerawutan lalulintas di Bogor lebih disebabkan oleh semerawutnya kendaraan penumpang umum. Hampir disetiap pinggir jalan, disesaki oleh malang melintangnya angkutan berwarna hijau. Berhenti berjejer, bertumpuk disembarang tempat sesuai keinginan pengemudinya. Seolah semua jalan adalah miliknya sendiri. Bahkan ketika kita akan meninggalkan kota Bogor melalui tol, sejak jalan depan istana Bogor, depan Botani Square Mall, sampai belok kekiri awal jalan Tol, dipenuhi kendaraan angkutan umum, termasuk antar kota/ kabupaten yang berhenti disepanjang pinggir jalan.  Kondisi ikutan dari hal itu adalah menjamurnya pedagang asongan yang muncul disekitarnya, membuat jalanan semakin semerawut.

Saya sungguh tidak mengerti cara mengatur itu semua. Namun pemerintah daerah Bogor dengan seluruh jajarannya selayaknya harus terus berusaha mencari jalan untuk menertibkan itu semua, khususnya disiplin bagi angkutan umum. Angkutan umum memang diperlukan, namun harus ada tata ketertibannya. Menegakkan kedisplinan haruslah dengan kedisiplinan pula. Kalau aparat semisal dari dinas pemda sendiri tidak disiplin dan hanya memungut retribusi dengan mengutip ditengah jalanan, bukan saja menurunkan wibawa, namun juga menambah kesemerawutan.

Bogor sejuk, bersih dan tertib pasti harapan masyarakat banyak. Bukan menjadi Bogor Kota Sejuta Angkot yang ruwet. Macet karena jumlah kendaraan, berbeda dengan macet akibat ketidak disiplinan.

Semangat saudara muda saya, Bima Arya Sugiarto pasti bisa!

Salam,
Desember'2013

Selasa, 10 Desember 2013

FOKE, JOKOWI DAN CERMIN POLITIK INDONESIA


 Catatan, 18 Juli 2012    


     Kali ini saya benar-benar hanya bisa memberikan catatan tentang dinamika berjalannya Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Walau Kartu Tanda Pemilih sampai dikediaman, tetapi karena sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit diluar Jakarta, saya dan istri tidak bisa ikut pesta demokrasi itu. Tentu saya harus mohon maaf khususnya kepada para kandidat yang telah memeras segala energinya, mencoba menjadi penyelamat pembangunan ibukota negara Indonesia, Jakarta. 
    Secara umum kita harus memberikan apresiasi dan mengangkat topi tinggi-tinggi kepada para kandidat atas kesediaannya berkompetisi untuk menjadi pemimpin Jakarta ini. Saya mungkin orang yang akan mengangkat topi paling tinggi untuk itu. Karena siapapun memahami bahwa persoalan yang ada di ibukota ini luar biasa kompleksnya. Bila membangun kota ini bagaikan membuat kain tenun, rasanya tidak akan terbuat selembarpun. Saat mengamati seorang ibu tua menenun kain di pulau Nusa Penida Bali, ternyata pekerjaan rumit pertama yang harus dilakukan adalah menata ratusan benang sebagai motif dasar dengan jarak dan panjang yang beraturan dan sangat rapi. Setelah itu dikaitkanlah berbagai benang berwarna-warni yang pada akhirnya akan menghiasi keindahan corak kain tenun yang dihasilkan. Ketika saya tanya, bagaimana apabila saat mengatur benang-benang diawal tadi keliru? Sang ibu menjawab singkat, ya tidak bisa, dan harus ditata ulang dari awal. 
    
     Bagaimana dengan menenun kota Jakarta? Apakah benang-benang perencanaan awal telah ditata dengan benar dan rapi? Sampai pertanyaan awal ini saja mungkin kita sudah akan berdebat tanpa ada titik temu yang memuaskan semua pihak. Padahal apakah itu banjir, kemacetan, keamanan, ketertiban dan sebagainya, sebenarnya hanyalah hiasan kain tenun yang akan dihasilkan nanti. Karena banjir, macet, ketidak amanan, pasti terjadi karena hal dasar diatasnya yang tidak sempurna. Kita berikan salah satu contoh persoalan utama yang sudah menjadi keseharian di Jakarta mungkin sejak berpuluh tahun yang lalu. 
Yaitu tentang ijin tata guna atau peruntukan lahan. Gagasan menetapkan daerah peruntukan dari dulu hanyalah pepesan kosong belaka. Papan peringatan dengan symbol Pemerintah Daerah yang bertuliskan “Tidak boleh membuka Usaha didaerah perumahan”, hanya jadi papan tempat anak-anak iseng mencoretkan cat semprotnya saja. Akibatnya tidak perlu ditanya lagi. Sampah rumah tangga menjadi satu dengan perkantoran. Lalu lintas masyarakat pulang kerja bercampur menjadi satu dengan masyarakat yang berangkat kerja. Atau dengan kata lain, setiap saat ada lalulintas pulang dan pergi kerja. 
Belum lagi hoby gali lobang tutup lobang hampir disetiap jalan yang ada. Bercampurnya berbagai kegiatan itupun hampir pasti berpengaruh pada sisi ketertiban dan kemanan lingkungan. Dilingkungan saya saja yang kebetulan berada dijalan buntu, masih saja ada tetangga mendapatkan ijin membuka kantor. Bukan saja terganggu oleh berisiknya para pegawai yang hampir setiap malam lembur, namun terkadang masuk rumah untuk istirahatpun terganggu oleh banyaknya kendaraan yang terparkir. Mungkin tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa Jakarta sudah salah sejak lahir. Benang-benang dasar yang seharusnya ditata rapi sebelum ditenun, sudah terlanjur kusut dan semrawut. 

    Lalu apakah kemudian semua harus menyerah sehingga Jakarta tidak lagi bisa diperbaiki? Tidak juga. Namun saya salah satu pihak yang sangat tidak percaya kalau ada yang bilang “hanya” sekian tahun banjir akan hilang, “hanya” sekian tahun kemacetan akan terurai, “hanya” sekian tahun ketertiban masyarakat akan terbangun dan sebagainya. Jadi apa yang bisa dijanjikan oleh calon pemimpin Jakarta dimasa depan? Menurut saya hanya berniat akan bekerja sangat keras, jujur, adil, tidak nyolong duit rakyat, tidak takut preman, tidak takut mati saja sudah cukup. Lalu siapa? Dari proses demokrasi yang telah dilalui kelihatannya pilihannya hanya tinggal Foke dan Jokowi saja.

Foke Sang Petahana

     Satu-satunya calon yang sekarang juga sedang menjabat Gubernur adalah Foke. Beliau pula satu-satunya yang memang berkumis. Sehingga sempat dijadikan kebanggaan ikon kampanye calon lain, yang diplesetkan sebagai singkatan Kumuh dan Miskin. Ide kreatif, imaginatif dan tidak berhasil. Sebagai Gubernur yang sedang menjabat, apalagi tugas-tugas sebelumnya juga selalu berada dilingkungan Pemerintah Daerah Jakarta, tentu Foke punya berbagai pengalaman praktek yang nyata dalam memimpin ibukota ini. Untuk bekerja dengan baik, seorang Gubernur tentu juga harus memiliki tim kerja yang solid, dipercaya dan loyal kepada tugas. Untuk itu Foke juga pasti telah membangun jajarannya. Disisi lain, warga Jakarta juga pasti sudah banyak tahu prestasi, kekurangan, ataupun kegagalan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI dibawah kepemimpinan Foke. Oleh sebab itu, Foke dan jajarannya juga pasti sudah tahu apa yang harus diperbaiki untuk memuaskan masyarakat Jakarta. Tentunya segala catatan tadi harus menjadi bahan yang sangat tepat untuk berkampanye pada masa kampanye yang lalu. Saya tidak tahu apakah hal itu dilakukan. Karena secara klasik, keberhasilan seorang pemimpin adalah bila yang bersangkutan tidak cepat puas atas prestasi, dan selalu bersedia menerima kritik untuk perbaikan dimasa depan. Ketidak puasan masyarakat adalah titik awal perbaikan ataupun penyempurnaan yang harus dilakukan. Ketidak puasan masyarakatpun harus dikaji dan disimpulkan sebagai ketidak puasan umum yang obyektif. Bukan ketidak puasan salah satu pihak saja, kemudian mendorong pemimpin dengan mudah membuat kebijakan dengan mengalahkan kepentingan umum yang lebih besar. Biasanya hal ini terjadi karena pengambil keputusan terganggu oleh ancaman fisik, ancaman jabatan, ancaman kelompok tertentu, bahkan ancaman segepok uang. Foke pasti berpengalaman mengenai berbagai hal ini. 
    
    Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta telah berlangsung. Ternyata dengan segala catatan kelebihan diatas, Foke dan pasangannya menjadi peraih suara kedua, bukan yang terbanyak. Sontak semua berkomentar. Ada yang bilang Foke kurang turun kebawah. Ada yang bilang Foke terlalu elitis. Ada yang bilang partai pendukungnya kurang kuat. Ada yang bilang Foke tidak berprestasi apa-apa. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya apakah Foke memang seperti itu? Sebagai gubernur selama ini apa Foke tidak pernah turun kebawah? Mungkin semua itu masih bisa dipertanyakan. Namun yang sudah pasti sesuai fakta, adalah dalam pemilihan pertama ini mayoritas pemilih tidak memilih Foke dan pasangannya.  Karena ini yang sudah pasti, sebaiknya tim suksesnya mencari jawab, mengapa mayoritas masyarakat tidak memilih Foke dan pasangannya diputaran pertama kemarin? Agar tidak ada kambing yang menghitam.

Jokowi Wong Solo

    Sejak kedatangan mobil EsEmKa Solo yang kemudian sempat diributkan penggagasnya ke Jakarta, masyarakat sudah mulai menebak keinginan Jokowi berkiprah dipemerintah daerah Jakarta. Apapun jalan ceritanya, ternyata tebakan masyarakat tidak meleset. Jokowi menyatakan dirinya siap menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Mungkin warga Jakarta belum banyak yang kenal sosok Jokowi. Mungkin mereka lebih kenal Jokowi sebagai Walikota Solo dan pendukung mobil EsEmKa. Tetapi hampir pasti warga Jakarta belum mengenal karakter Jokowi dalam mejalankan tugasnya. Jokowi dengan nama lengkap Joko Widodo lahir di Solo tanggal 21 Juni 1961. Sekolah SD sampai SMA di Solo. Kuliah sedikit keluar ke Jogyakarta. Orangnya kalem khas sosok wong Solo. Oleh karenanya yang bersangkutan sukses memimpin Solo dengan karakter masyarakat yang mirip pula. Walau dibesarkan dan lama di Jawa Timur, ayah sayapun asli Mangkunegaran Solo, sedangkan ibu dari Darmosarkaran. Pelajaran utama dari orang tua yang selalu melekat di-diri saya adalah kewajiban untuk bertatakrama, unggah ungguh, hormat kepada orang lain apalagi yang lebih tua dan harus tunduk kepada orang tua, ngabekti marang wong tuwo. Pemimpin kota Solo akan berhasil bila karakter unggah ungguh ini dimilikinya. Saya tidak tahu apakah ada pemimpin kota Solo yang gagal karena karakter ini. Sebagai orang Jawa apalagi Solo seperti Jokowi juga pasti faham ada falsafah deso mowo coro. Dalam terjemahan bebas saya, bahwa sesuatu itu akan berkembang sesuai dimana tempatnya berkembang. Saya berdarah Jawa Tengah, Istri berdarah Jawa Timur, anak-anak saya besar di Jakarta. Oleh karenanya mereka fasih berbahasa Jakarta, dan bukan berbahasa Jawa Tengah atau Jawa Timur. Mereka berkembang sesuai dengan tempat mereka berkembang. 

    Inilah tantangan utama Jokowi kalau ingin memimpin ibukota Jakarta. Ngabekti di Jakarta mungkin sudah jadi barang yang langka. Unggah-ungguh sudah menjadi impian baru bagi warga yang masih menganutnya. Merokok disebelah gambar dilarang merokok, sama sekali bukan hal asing diibukota ini. Bagaimana mengurai kemacetan kalau tata guna lahan sudah tumpang tindih seperti ini. Bagaimana mengurangi banjir kalau blue print tata kotanya selalu berubah. Lalu pertanyaannya kalau Jokowi ternyata menang, apakah bisa menjalankan tugasnya dan sukses memimpin Jakarta? Saya orang yang selalu optimis. Bisa saja Jokowi berhasil, bila karakter Solo Jokowi bisa diikuti jajarannya. Seluruh Walikota didaerah DKI Jakarta bisa dan harus menerima karakter kepemimpinan Jokowi. Kalau masyarakat DKI tidak perlu dikhawatirkan oleh para kandidat Gubernur. Kalau Gubernurnya bekerja dengan baik, jujur, tidak korupsi, tidak cengeng, pasti warga akan memberikan dukungan. Namun dukungan utama yang harus didapatkan oleh seorang pemimpin organisasi datang dari jajaran intern organisasinya. Jangan lupa pula oleh jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerahnya.

Cermin Politik Indonesia

   Fenomena keunggulan suara Jokowi dibanding suara yang didapatkan Foke menjadi perbincangan dan bahan analisa berbagai pihak. Dengan berbagai kepandaiannya, para pengamat menyimpulkannya dengan berbagai versi. Ada yang berpendapat ini adalah sebuah tanda-tanda politik baru. Politik apalagi?, pertanyaan saya. Kalau bicara politik tentu kita tidak lepaskan dari peran partai politik. Kalau dikaitkan dengan partai politik, bukankah seharusnya yang unggul semestinya seperti pasangan Alex dan Nono yang dicalonkan Partai Golkar? Hampir setiap hari dikoran-koran ibukota halaman demi halaman diborong pasangan ini dengan segala jargon kampanyenya. Namun suara rakyat berkata lain. 
Foke dan pasangannya yang selalu diunggulkan oleh surveyor, juga ternyata tidak benar. Lalu ada yang berkesimpulan, masyarakat tidak lagi berpaling kepada apa partai politiknya, namun siapa orangnya. Saya benar-benar cemas bila hal ini memang terjadi. Negara demokrasi seperti Indonesia seharusnya memiliki partai politik partai politik yang baik dan menjadi candradimukanya kader pemimpin politik bangsa. Kalau partai politik semakin tidak mendapatkan penghormatan dari masyarakat, maka bukan tidak mungkin akan lahir pemimpin yang otoritarian di negeri ini. Penilaian dan pengamatan berbagai pihak terhadap fenomena inipun seharusnya diarahkan kepada perbaikan perpolitikan bangsa, dan bukan hanya kepada ego kesenangan sendiri dalam mengolah dinamika sebuah proses politik. 

    Pemimpin ibukota bukan hanya memimpin masyarakat Jakarta, namun memimpin muka wajah Indonesia. Dan seperti negara manapun, pemimpin ibukota harus bertanggungjawab kepada Presiden. Oleh karenanya Presiden akan percaya kepada siapapun Gubernur DKI terpilih nanti. Presiden tidak boleh memihak siapapun. Namun partai politik manapun boleh ikut berkompetisi dan mendukung calonnya. Termasuk Partai Politik darimana Presiden RI berasal, siapapun Presidennya. Karena memang begitulah aturannya saat ini.

Salam
Juli'2012



*********DESEMBER**************SELALU INGAT IBU******

Soerati, Ibundaku Tercintaa 

Walau agak terganggu, namun semalam rasa iba saya timbul mendengar tangis berkepanjangan bayi pasangan muda tertangga rumah. Mungkin sang bayi sakit, atau mungkin pula karena ayah ibunya sedang belajar merawat anak kebanggaannya yang belum lama lahir. Disamping iba, terbayangkan diangan saya rasa bahagia pasangan muda itu, karena bukan saja berhasil memiliki keturunan sebagai penerus keluarga, namun melahirkan adalah sebuah perjuangan hidup mati bagi si ibu.

Saya diantara kedua orangtua dan tiga kakak
Saya sendiri tidak pernah mengenal ibu yang melahirkan diriku. Di usia 38 tahun, ibuku telah meninggalkan kami semua, disaat saya masih berumur 2 tahun. Sakit panas tinggi mendadak yang diderita ibu, tidak mampu ditangani dokter saat itu. Saya lahir dari orang tua yang keduanya berasal dari kota batik, Solo. Ayah ir. Sarjadi Hardjosoepoetro berasal dari trah Mangkunegaran, ibu Soerati Darmosarkoro, dari Darmosarkaran.
Sayangnya sejak lahir di Bogor, kemudian besar di Pasuruan dan Malang, saya tidak pernah merasakan hidup di kota Solo, tanah asal usul kedua orang tua.

Tak jauh dari kota Solo, tepatnya di Astana Temuireng Karanganyar, ibunda tercintaku dimakamkan. Ditempat inilah saat saya berumur 8 tahun, baru mengerti dan sadari bahwa ibuku telah menghadap Sang Pencipta sejak saya berumur 2 tahun. Seperti biasa setiap tahun, saya bersama ayah dan kakak-kakak, diajak berziarah ke makam keluarga di Temuireng. Disaat itulah saya mengajukan pertanyaan kepada ayah, saat membaca tulisan disebuah batu nisan : "Mengapa ada nama Soerati Bin Sarjadi, nama Bapak di batu nisan ini pak?". Sejak mendengar jawaban ayah itulah, saya baru memahami apa sebenarnya yang terjadi. Mungkin karena saat itu umurku baru 8 tahun, bukan duka yang kurasakan, namun hanya rasa bingung melihat sekitar. Berjalannya waktu dan umur semakin mengembangkan anganku, betapa bahagia pernah mengenal dan merasakah hangatnya dekapan ibu kandung seperti yang dirasakan orang lain. Rasa kehilangan itu semakin kuat saat Tuhan akhirnya juga memanggil ayah ditahun 1988 setelah menjalani operasi jantung di Surabaya. Hari ini saya hanya bisa melihat bahagianya ayah dan ibu tidur berdampingan selamanya di Astana Temuireng Karanganyar. Setiap berkesempatan ziarah, saya dan anak istri selalu mohon kepada Tuhan agar bersedia menerima kedua orang tua tercinta kami dipangkuanNya.

Tak terbayang dibenak, bagaimana beratnya pengorbanan seorang ibu saat mengandung, melahirkan dan membesarkan anaknya. Ketika bayi sampai sesaat sebelum dewasa, kita sebagai anak, bagai tanpa beban menikmati kehidupan ini. Semua kita bebankan kepada kerja keras dan kasih sayang yang dilakukan seorang ibu. Rasanya tak akan pernah kita mampu membayar semua budi, kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu. Pengorbanan yang dilakukan seorang ibu tak lain karena rasa sayangnya kepada kita. Rasa yang mengikat batin antara seorang ibu dan anaknya. Rasa yang tidak akan pernah hilang sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ada masanya kita harus berpisah tempat hidup, ada masanya kita ditinggalkan ibu untuk selamanya. Namun ikatan batin spiritual itu tak akan pernah hilang sedikitpun.
Saya tidak pernah ingin menilai sebuah dosa, karena itu wewenang Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi saya meyakini bahwa, adalah sebuah kesalahan tak terampuni bila hubungan seorang ibu dan anak ini terkhianati oleh salah satunya. Apalagi oleh seorang anak. 

Desember,  bukan saja dibulan ini ada sebuah hari dimana kita memperingati hari ibu, atau hari wanita. Namun dibulan ini pula saya dilahirkan dari rahim ibuku tercinta yang sekarang insyaAllah berada di rumah Allah di surga. Oleh karenanya disetiap bulan ini, saya selalu ingat dan berangan hangatnya berada dipelukan ibuku.
Rasa sedih, kecewa dan cinta kepada ibu inilah yang mendorong istriku tercinta Nuri Ambarwati, untuk tak pernah menyerahkan anak-anak kami, Galih Anurasti dan Gatut Adhiyakso kepada pengasuh, atau baby sitter, saat mereka kanak-kanak. Rasa cinta itu pula yang sampai sekarang menjadi kebiasaan kami sekeluarga untuk selalu menyempatkan waktu berkumpul, walau hanya sekedar makan malam bersama.
Tuhan Maha Penyayang, saya meyakini itu. Oleh limpahan sayang Tuhan itulah, saat ini saya bersyukur mendapat kesempatan merawat masa tua ibu mertua, dan ibu Sriyanti, kakak kandung ibu kandung saya, yang merawat dan membesarkan saya sampai saat ini. Dengan usia yang telah mencapai 92 tahun hari ini, bagi saya, beliau adalah titisan ibu kandung yang melahirkan saya. Pengorbanan dan kasih sayang yang diberikannya tak pernah terasa beda sedikitpun.

Keyakinan saya atas Kuasa Tuhan itulah yang memberanikan saya untuk memohon kepadaNya, agar sudi memberikan pengampunan, memberikan perlindungan, dan selalu memberikan rahmat kepada ibu saya alm. Soerati, ibu yang membesarkan saya Sriyanti, serta seluruh ibu didunia ini. Ibu sahabat-sahabat saya, yang sedang sehat, sedang sakit ataupun telah mendahului menghadap Tuhan. Melalui kuasaNya pula, saya ingin menitipkan sungkem, salam hormat bagi Ibu diatas sana. Diatas sana yang selalu berisi keabadiaan dan  kebahagiaan. Yang selalu berisi senyuman, cinta dan kasih sayang.

Ibu, terimalah rasa cinta dan kangenku.
Desember yang sedang mendung #2013  

Senin, 09 Desember 2013

SEDIH MELIHAT MEGAWATI DAN SBY BERSELISIH

Wawancara, 25 Maret 2010  

     Sekali lagi, saya ini bukan politisi. Namun kebetulan sosok-sosok yang pernah saya kenal saat ini menjadi tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh. Kalau mau jujur, saya kurang nyenyak tidur karenanya. Secara khusus saya sungguh merasa sedih melihat Ibu Megawati sampai saat ini tampak tidak bersedia akur dengan pak SBY. Hanya kebetulan saja, dulu saya yang memperkenalkan dan mempertemukan beliau berdua saat awal reformasi. Saya sungguh berharap berbagai komponen bangsa ini bersatu. Kalau para pemimpin legowo bersatu, saya yakin bangsa dan rakyat Indonesia akan hidup aman, adil dan sejahtera sampai anak cucu.
Untuk sekedar mengeluarkan uneg-uneg tentang hal itu, dibawah ini saya sajikan kembali catatan wawancara saya dengan wartawan koran Jawa Pos Group, yang telah dimuat beberapa waktu yang lalu.




Bagaimana sejarah singkat anda ikut mempertemukan SBY dengan Megawati?

Saat itu saya masih sering mendampingi Ibu Megawati. Sedangkan dengan pak SBY saya sudah mengenal, karena beliau adalah kawan satu angkatan dengan kakak kandung saya di AKABRI. Sekitar 1998-1999, saya ikut mempertemukan beliau berdua. Saat itu pak SBY sebagai Kasospol TNI, dan Ibu Megawati sedang mempersiapkan Kongres PDI Megawati di Bali, yang kemudian lahir PDIP. Paska jatuhnya Suharto, semua faham bahwa kondisi sosial politik dalam negeri tidak terlalu baik, kalau tidak dikatakan buruk. Saat itulah saya dan kawan-kawan berharap agar kekuatan kebangsaan bersatu. Saya saat itu meyakini bahwa beliau berdua adalah dua tokoh negeri diantara tokoh lain, yang jiwa kebangsaannya tidak perlu diragukan.

Tetapi faktanya dimulai sejak sekitar tahun 2004, publik menilai hubungan SBY dengan Mega retak. Menurut anda? 

Itulah yang membuat saya sedih. Sering ada yang mengatakan Megawati dan SBY adalah lawan politik. Hal itu salah besar. Menurut saya, yang namanya lawan politik itu bila kedua belah pihak memiliki ideologi yang berbeda. Beliau berdua sama-sama tokoh kebangsaan, nasionalis tulen. Megawati putri seorang proklamator negeri ini. SBY putra seorang prajurit, bergaris Pesantren Termas, berpendidikan Sapta Marga. Benar pada Pemilu tahun 2004 beliau berdua adalah kompetitor dalam pemilihan Presiden, tetapi bukankah itu hanya bagian dari perjalanan dan penghormatan kepada proses demokrasi yang telah disepakati. Tentu harus ada yang kalah dan ada yang menang. Bila bu Mega merasakan kekecewaan menurut saya hal yang wajar. Namun sebagai pemenang, Pak SBY kan tetap menghormati bu Mega. Saya tidak melihat sedikit alasanpun keretakan itu harus berlanjut.

Anda yakin akan hal itu?

Saya percaya kepada kebesaran jiwa dan hati beliau berdua. Oleh karenanya saya harus yakin. Pertemuan awal beliau berdua dahulu saya nilai benar-benar untuk kepentingan yang besar bagi negeri ini. Belum ada PDIP dan juga Demokrat. Kondisi perpolitikan negeri kita saat ini menuju lima tahun kedepan, saya pikir perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi disharmoni politik yang merugikan. Bila hal itu terjadi, maka pasti akan lahir ancaman bagi keutuhan dan kehidupan sosial bangsa ini. Belum lagi usaha pembangunan ekonomi negeri ini akan hancur, bisa jadi empat konsensus dasar bangsa ini seperti yang dibuat para founding fathers akan koyak. UUD’45, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, akan hilang rohnya bagi generasi masa depan. Urusan konsensus dasar bangsa ini, sayapun mengerti persis bahwa pak SBY dan bu Mega adalah tokoh yang teguh untuk mempertahankannya. Ingat, saat ini banyak para cendekia yang menyarankan agar bangsa ini menyegarkan kembali Pancasila. Sekali lagi, kalau untuk kepentingan bangsa ini, saya meyakini tidak ada tirai yang menutup kebersamaan beliau berdua.

Ada petinggi PDIP yang mengatakan, mempersatukan PDIP dan Demokrat dalam koalisi, sebagai wacana bahkan khayalan anda sendiri saja.

Saya tidak pernah mengatakan, berusaha membentuk koalisi antara PDIP dan Demokrat. Harapan dan niat saya untuk mempersatukan pak SBY dan bu Mega bukan baru hari ini saya ungkapkan. Sekitar 1998 saya ikut mempertemukan beliau berdua. Tahun 2001, saya ikut mendorong, bahkan saya bicara langsung dengan Mas Taufik Kiemas dan bu Mega untuk memilih pak SBY sebagai Wakil Presidennya bu Mega. Sebelum Pemilu 2009, saya masih sering bicara terbuka dipublik bahwa sebaiknya beliau berdua bersatu. Apa yang menjadi harapan saya adalah benar-benar untuk kepentingan besar, bukan sekedar kepentingan PDIP dan Demokrat.

Anda dinilai berusaha ikut mempengaruhi kongres PDIP bulan depan.

Apalah saya ini. Sekali lagi harapan dan usaha saya mempersatukan beliau berdua bukan hanya baru hari ini. Saya tidak mau ikut bicara tentang koalisi, tentang kekuasaan. Saya tidak tertarik bicara kekuasaan. Partai Politik pada dasarnya memang dibangun untuk memiliki kekuasaan. Negara demokrasi memang harus punya partai politik. Urusan koalisi serahkan sepenuhnya kepada partai masing-masing. Kalau dengan PDIP, pak SBYpun punya sejarah hubungan yang tercatat jelas. Saat pemilihan Wakil Presiden tahun 2001, suara anggota DPR yang memilih pak SBY mungkin 90% berasal dari anggota fraksi PDIP. Walau akhirnya bu Mega lebih memilih orang lain, dan mengangkat pak SBY menjadi Menkopolkam. Harapan saya tentang bersatunya beliau berdua tidak akan berhenti, ada kongres PDIP atau tidak.

Ada pengamat yang mengatakan keyakinan anda seperti meramal anak dalam kandungan.

Saya bukan peramal. Saya terlibat dan berada disekitar beliau berdua cukup lama. Pengamat tadi memang tidak mungkin memiliki perasaan yang sama dengan saya tentang beliau berdua. Karena yang bersangkutan tidak bergaul dekat dengan beliau berdua. Saya memang orang yang sedih melihat orang berselisih. Saya tidak suka konflik. Saya bahagia melihat orang bersahabat. Bagi saya mencari kawan, jauh lebih sulit daripada mencari lawan. Oleh karenanya untuk apa seseorang yang dulu kawan, harus kita jadikan lawan. Mungkin pengamat tadi memang suka melihat orang lain berseteru sampai ada yang luka. Pengamat tadi suka melihat orang lain menderita. Namun sayapun berkeyakinan,  berbuat baik itu tidaklah mudah. Kita tidak bisa menolak prasangka orang lain. Mungkin sebaiknya kita memang jangan suka berprasangka dahulu, apalagi prasangka buruk.

Apakah harapan ini pernah anda bicarakan dengan SBY?

Saya mungkin sudah lebih dari 12 tahun sering berkumpul dan bicara bersama tentang persoalan negeri ini dengan pak SBY. Saya mengenal karakter pak SBY sebagai sosok yang suka mencari persamaan dan bukan mencari perbedaan. Kalau saya bicara seperti ini, jangan kemudian saya dikatakan SBY centris. Tidak. Saya sering mengatakan, kalau mendukung seseorang jangan individunya, namun kebenarannya. Kalau ada yang mengatakan Hidup Mati ikut si Polan, Mati Urip nderek Mbak Ayu, itu namanya musrik di agama saya. Hidup mati itu harus ikut Tuhan. Jadi kalau pikiran dasar saya sejak dulu adalah keyakinan terhadap kesamaan pandang pak SBY dan ibu Mega tentang kebangsaan ini, maka pertanyaan diatas saya jawab, bahwa itu sudah sejak dulu saya bicarakan.

Apakah ada rencana bicara langsung dengan Megawati?

Karena hal ini benar-benar menjadi harapan saya, maka saya akan usaha dengan segala cara. Sebenarnya saya tidak bicara untuk hari ini, namun untuk masa paling dekat adalah tahun 2014. Sosok bu Mega pasti masih sangat berpengaruh bagi pendukungnya. Demikian pula dengan pak SBY yang juga mendapat dukungan rakyat yang tidak sedikit, terbukti dengan dua kali terpilihnya beliau. Alangkah kuatnya masa depan kebangsaan di negeri ini bila beliau berdua nanti, walau mungkin sudah tidak jadi Presiden lagi, namun bersatu dan tetap mewarnai politik kebangsaan bagi generasi selanjutnya. Untuk itu, karena 2014 bukan lagi waktu yang lama, maka sangatlah ideal bahwa sejak sekarang beliau bersatu. Sekali lagi, untuk urusan partai politik, saya tidak ingin ikut campur. Beliau pasti sudah melihat dinamika politik terakhir yang terjadi. Tidak akan partai politik di negeri ini dapat hidup sendiri-sendiri. Kalau untuk itu semua saya harus bertemu ibu Mega, maka saya akan berangkat saat ini juga.

Hal lain. Dikoran ini anda mengatakan kalau hari Minggu  menolak diajak Presiden main Golf?

Tentang Golf saya punya cerita tersendiri dengan pak SBY. Sepuluh tahun yang lalu saya bercanda ke pak SBY agar bermain Golf. Karena kalau jadi Presiden kemudian menerima tamu Negara atau bertamu keluar negeri, rasanya jarang ada Kepala Negara yang mengajak main Catur !. Biasanya olah raga Golf. Pak SBY selalu perhatian terhadap Staf dan keluarganya. Jadi saya yakin beliau tidak keberatan kalau dihari Minggu saya khususkan untuk keluarga. Sebetulnya SBY tidak sering juga main Golf, belum tentu rutin sebulan sekali. Kalau jalan kaki dan tenis meja hampir rutin beliau lakukan bersama Staf diistana dan Monas, seminggu dua kali.


Semoga isi wawancara diatas menambah pengetahuan tentang harapan dan sikap saya dalam mengenal kedua tokoh tersebut.


Salam
Maret '2010

Minggu, 08 Desember 2013

SMAN 3 MALANG '74 : KUMPUL ALUMNI UNTUK MAWAS DIRI

Mangan Gak Mangan Pokok Kumpul . Tapi Nek Kumpul Mesti Mangan
Kediaman Fauzie dan Dina di Bandung, 23-24 Nopember 2013

   Masa sekolah adalah masa yang paling banyak meninggalkan kenangan indah, sedih, senang, dan banyak lagi. Apalagi setelah lulus SMP menginjak SMA, sok untuk bergaya langsung terasa. Khususnya bagi saya dan teman-teman pria, biasa sekolah pakai celana pendek, kemudian berganti bercelana panjang, itu saja sudah sungguh merupakan kebanggaan. Kisah pengalaman cinta biasanya juga berawal saat SMA.

    Saya mendulang ilmu dan segala kisah indah itu di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Malang, Jawa Timur. Sekolah yang terletak disekitar alun-alun Tugu dikenal sebagai salah satu SMA favorit dikota Malang. Cowoknya ganteng-ganteng, ceweknya cantik-cantik, menurut saya saat itu. Kalau sekarang banyak yang lebih cantik, itu hanya karena asupan gizinya saja yang sedikit berbeda.

Ada baiknya saya catat secara singkat sejarah berdirinya SMAN 3 Malang kesayangan ini :


  • Tidak lama setelah pengakuan kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, Di kota Malang berdiri 2 buah SMA, yaitu SMA Republik Indonesia dan SMA Federal ( VHO ). Para pejuang TRIP, TP, TGP dan lain-lain yang sudah kembali ke sekolah ditampung di SMA Federal.
  • Pada tanggal 8 Agustus 1952, jurusan B ( Pasti Alam ) SMA Republik Indonesia dan SMA Peralihan digabung menjadi satu berdasarkan SK Menteri PP dan K nomer 3418/B dan diberi nama SMA B-II Negeri. Pemberian nama ini disebabkan telah berdiri dua buah SMA .
  • Akhirnya diadakan perubahan nama berdasarkan urutan usianya yaitu : SMA A/C menjadi SMA I A/C, SMA Federal menjadi SMA B-I Negeri.
  • SMA B-I negeri kemudian diubah menjadi SMA I-B dan SMA II-B. Nama ini akhirnya dirasakan kurang tepat karena seakan-akan ada SMA B yang kualitasnya lebih tinggi daripada yang lain. Akhirnya diadakan perubahan nama ketiga SMA yang ada di Malang itu berdasarkan usianya, yaitu :
    Lapangan Basket SMA Negeri 3 Malang
    • SMA A/C menjadi SMA 1A/C
    • SMA 1B menjadi SMA II-B
    • SMA II-B menjadi SMA III-B
    • Kemudian SMA I A/C dipecah menjadi dua sekolah yaitu SMA I A/C dan SMA IV A/
  • Timbulnya SMA Gaya Baru pada tahun 1963 yang mengharuskan semua SMA mempunyai jurusan yang sama yaitu : Budaya, Sosial, Ilmu Pasti, dan Ilmu Pengetahuan Alam membawa pengaruh pada dihapuskannya nama tambahan A,B, atau C pada urutan nama keempat SMA yang ada di kota Malang.
  • Menjadi SMU Negeri 3 Malang berdasarkan SK Mendikbud RI nomer 035/O/1997.
  • Kembali menjadi SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2002.



     SMA Negeri 3 Malang merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang bertujuan menghasilkan lulusan unggul dan dapat bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Profil siswa yang diharapkan dari RSBI salah satunya adalah memiliki kecakapan hidup yang dikembangkan berdasarkan multiple intelegensi mereka dan memiliki integritas moral tinggi. Dalam upaya untuk memenuhi standar mutu pengelolaan pendidikan, mulai tahun ajaran2007/2008 SMA Negeri 3 Malang telah menerima sertifikat standar manajemen mutu ISO 9001:2000 sebagai langkah awal untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan dan meraih pengakuan internasional.

Bu Yutadi Masih Sehat
Inilah nama-nama Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Malang yang pernah menjabat :

  1. 1952 - 1962 R. Koeswandono 
  2. 1962 - 1968 H. Soeroto
  3. 1968 - 1978 Drs. H. Soedarminto
  4. 1978 - 1986 Drs. Bambang`Poerwono 
  5. 1986 - 1989 H. Haroen Soemawinata
  6. 1989 - 1993 H. Abdullah Uki
  7. 1993 - 1998 H. Djohan Arifin
  8. 1998 - 2005 Drs. H. Moh. Saleh
  9. 2005 - 2009 Drs. H. Tri Suharno, M.Pd
  10. 2009 - 2009 Ninik Kristiani, M.Pd
  11. 2009 - 2011 Dra. Hj. Rr. Dwi Retno Udjian Ningsih, M.Pd
  12. 2011 - ....... Drs. H. Moh. Sulthon, M.Pd

Pada awalnya, semboyan asli SMA Negeri 3 Malang berbunyi "BERTAKWA - BELAJAR - BEKERJA - BERJUANG", semboyan ini merupakan hasil karya siswa-siswi SMAN 3 Malang pada saat lomba kebersihan pada bulan Juli 1967. Semboyan tersebut selanjutnya digubah oleh Bapak Rahardjo (pengajar Bahasa Indonesia) ke dalam bahasa Sanskerta menjadi BHAKTYA - WIDAGDHA - KARYA - SUDHIRA.
Tirta Empul
Tampaksiring
Semboyan ini resmi ditetapkan pada HUT ke-17 SMAN 3 Malang atas persetujuan Dewan Guru/ Karyawan serta pengurus KPSMA3 Malang. Bila diuraikan, semboyan itu mengandung makna:
Bhaktya : Berbakti, bertakwa
Widagdha : Berilmu-pengetahuan, belajar, berguna
Karya : Bekerja
Sudhira : Berani, berjuang, berteguh-hati
Penggubahan ke dalam bahasa Sanskerta bertujuan agar semboyan tersebut memiliki nilai puitis dan estetis serta emotional-artistic. Semboyan ini kemudian dikenal dengan singkatan BHAWIKARSU.
     Semua data sejarah itu tentu memberikan warna dan kebanggaan bagi semua alumni SMA Negeri 3 Malang, khususnya bagi saya dan teman-teman seangkatan yang lulus pada tahun 1974. Bukan saja sejarah itu penting, namun pendidikan di SMA adalah jembatan utama pembentukan karakter dan masa depan seorang siswa di masa depan. Apabila seorang siswa gagal membangun jembatan itu, biasanya akan sulit menyeberangi tantangan kehidupan didepan yang akan semakin penuh dinamika.


     Hari ini, sudah lebih dari 39 (tigapuluh sembilan) tahun berlalu sejak saya dan teman seangkatan meninggalkan indahnya masa di sekolah SMA Negeri 3 Malang. Bisa diperkirakan, hari ini kami rata-rata sudah berapa umurnya. Saya sering mengatakan bahwa usia kami ini "tua belum, tapi muda sudah tidak". Paling tidak semangat kami tetap terjaga. Apakah semangat bekerja, semangat momong cucu, terutama semangat kumpul-kumpul teman seangkatan. Semangat kumpul-kumpul inilah yang membuat kami sering lupa kalau sudah tidak muda. Setiap ada kesempatan, selalu saja ada alasan untuk kumpul-kumpul. Tempatnyapun seperti tidak terbatas, mau dikota manapun jadi.


Alik Dalam Kenangan
    Karena tugas dan pekerjaan, saya sendiri awalnya merasa iri dan kesepian mendengar teman-teman yang rata-rata sudah pensiun (yang PNS) tersebut sering kumpul-kumpul. Namun Tuhan membukakan jalan. Saya punya sahabat seangkatan bernama Johar Maligan, biasa kita panggil Alik, yang sedang sakit serius di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Alik adalah orang tua dari Kamidia Radisti (Disti) yang hari-hari ini sering menjadi pembawa acara di televisi. Alik pernah seangkatan dan satu sekolah dengan saya di SMA Negeri 3 Malang, namun karena sesuatu hal, dia pindah dan lulus dari SMA yang berbeda. Selama Alik sakit dan akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa, saya dan teman-teman seangkatan sering menjenguk, membantu dan akhirnya mengantarnya keperistirahatannya yang terakhir. Sejak saat itulah saya sering kembali bertemu teman-teman seangkatan alumni tahun 1974 , SMA Negeri 3 Malang. Alik mempertemukan kembali saya dengan para sahabat seangkatan.
Kumpul Tak Pernah Henti
    


      Atas semangat dan ridho Allah, banyak dari teman alumni SMA Negeri 3 Malang yang seangkatan saya, memiliki karier kehidupan yang membanggakan. Beberapa nama dari sekian banyak nama yang saya ingat antara lain: Diah Kirana Kresnawati atau biasa dipanggil Watik, yang pernah duduk sebagai Kepala Pusat Pelayanan Informasi dan Jasa Bakosurtanal. Willy, si botak yang pernah menjadi Kepala Divisi PLN Regional Jakarta. Lukman Effendi pernah menjadi Kepala Kantor Pajak dibeberapa kota. Djarot Utomo alias Deje yang lama terapung sebagai pelaut di perusahaan minyak di Nigeria. Galuh tetangga dekat saya di Malang, yang jadi seorang Dokter di Jakarta. Wibawanto alias Datuk pernah menjadi Pemimpin Wilayah Bank Rakyat Indonesia. Vera yang dokter gigi. Hariyadi alias Paidi, si serius jebolan ITB yang jadi ahli teknologi dan seorang guru. Darso yang pernah jadi pejabat PLN. Iwan Putranto pernah jadi pejabat Bappeda DKI. Atiek yang jadi guru bahasa Inggris di Semarang. Fauzi Alaydrus yang jadi pengusaha sukses di Jakarta. Roy Pudio Hermawan, alias Nick yang teman saya sejak TK, menjadi Notaris di Batu Malang. Dhiana Yuntari, dokter yang pernah menjadi pejabat di RS. Dr.Soetomo Surabaya. Tutik Widyo yang jadi politisi dan anggota DPRD Jogyakarta. Dani yang jadi dokter. Aning yang setia di RS Santo Borromeus Bandung, walau sekarang sudah purnabakti dan sibuk mengatur jadwal kumpul dengan para alumninya.


Pura Puseh Batuan Bali
Dan sangat banyak lagi yang tidak bisa saya ingat satu-persatu. Kesuksesan teman-teman seangkatan saya, yang kemudian dikenal dengan alumni SMANTI'74, sungguh membanggakan. Bukan saja atas prestasi mereka, namun atas kehendak dan kesediaan mereka untuk kembali bertemu menjalin kembali silaturahmi. Bahkan kuatnya tali ikatan seperti ini dibuktikan oleh beberapa teman seangkatan saya. Mereka pacaran sejak satu sekolah, bahkan seangkatan di SMA, sampai akhirnya menjadi suami istri dan sekarang saling bercucu. Diantaranya adalah pasangan Suluh Iskandar dengan Galuh, pasangan Arief Hendarman dan Hermien. Awet, setia, gak onok bosen-e, hebat. Berkah Allah !

Istana Ninuk Surabaya
     Disetiap kumpul-kumpul, silaturahmi atau acara apapun, teman-teman Smanti'74 selalu saja bertukar cerita tentang kehidupannya masing-masing. Cerita tentang suka dan duka masa lalu sampai saat ini. Sebuah kegiatan yang sering tidak disadari, bahwa pertemuan itu sejatinya merupakan ajang mawas diri. Memutar balik perjalan hidup masa lalu, kemudian berusaha mensyukuri apa yang didapat kini. Disaat seperti itulah semua tersadarkan bahwa masih banyak kawan atau orang lain yang hidupnya kurang mujur. Semeriah apapun acara kumpul-kumpul diadakan, semewah apapun makanan yang disuguhkan, selalu saja disaat berpisah pulang, perasaan syukur, bahagia dan senang terbebani oleh rasa iba terhadap sesama yang masih serba kekurangan, ataupun kenangan kepada kawan yang telah mendahului menghadap sang Pencipta. Bahkan goyangan penari seksi gadis cantik dari Uzbekistan sajian Fauzi dan Dina saat kumpul-kumpul di istananya di Bandung, tak mampu menghilangkan perasaan itu.

Batu Kota Apel
    Yang pasti, silaturahmi akan selalu membawa makna dan kenangan yang abadi. Membawa makna harus bersatunya sesama manusia, seperti Firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 103 : "Dan berpeganglah kamu semuanya dalam tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (jaman Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk".


Salam.
Nopember'2013       









KORUPSI HANYA OLEH YANG TAK BERADAB


Catatan, 6 Desember 2013    

"Haiiiiikkk...Maaf Kekenyangan. Kenalkan nama saya Koruptor"

    Ketika ada pihak yang mengusulkan hukuman mati bagi para koruptor, ketika rakyat sepakat Mahkamah Agung menambah jumlah hukuman bagi terdakwa korupsi, ketika gerakan masyarakat untuk melawan kejahatan korupsi semakin besar, sebenarnya hal itu sebagai pertanda bahwa sebagai mahluk sosial, masyarakat Indonesia terbangunkan nilai kemanusiaannya. Dalam kamus disebutkan bahwa bangsa yang beradab adalah bangsa yang telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Bangsa yang demikian tentu berisi masyarakat atau manusia-manusia yang beradab pula. Itulah sebenarnya tujuan terciptanya manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sering disebut bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajadnya. Oleh karenanya manusia di bumi ini harus menjadi bagian terpenting dari perkembangan peradaban dunia. Perkembangan peradaban yang berarti perkembangan tingkat perilaku manusia kearah yang lebih baik, lebih bertatakrama, lebih sopan, lebih saling menghargai dan lebih saling bermanfaat diantara sesama.

   Oleh karenanya sekuat apapun niat jahat dan sebesar apapun kejahatan yang terjadi, selalu akan mendapat tantangan dari mayoritas masyarakat didalam sebuah lingkungan, seperti bangsa Indonesia. Karena kejahatan itu adalah sebuah pengkhianatan dan penghambat bagi nilai kemanusiaan yang secara spiritual dan alami akan terus mengembangkan peradabannya. Seperti kejahatan yang sangat disukai untuk diperbincangkan, yaitu korupsi. Arti kata korupsi sangatlah sederhana yaitu, penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kata yang sederhana artinya, namun perbuatan ini bisa mengakibatkan kerugian begitu dahsyat bagi orang lain bahkan masyarakat sebuah negara. Oleh karenanya semua negara didunia memiliki pranata hukum khusus untuk menyelesaikan masalah korupsi yang termasuk sebagai pelanggaran hukum atau perbuatan kejahatan yang serius.

Indonesia Bukan Negara Korup

   Diantara begitu banyak dinamika pembangunan Indonesia sejak kemerdekaan, sejak pemerintahan demi pemerintahan, selalu saja diwarnai dengan merebaknya kasus korupsi. Kalau yang diselewengkan adalah keuangan negara, maka pasti yang melakukannya adalah pejabat negara. Pejabat negara disini bisa berasal dari Eksekutif, Legeslatif maupun Yudikatif. Pemerintah ke pemerintah yang lain tak pernah lepas dari persoalan korupsi. Banyak yang kesal walau bisa dinalar.
Pejabat negara secara khusus yang memiliki kewenangan atau sering disebut memiliki kekuasaan mengatur keuangan negara, adalah pihak yang paling mungkin melakukan penyelewengan tersebut. Godaan melakukan penyewengan itu sangat didorong oleh kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan seorang pejabat bisa berubah menjadi koruptor setelah memiliki kekuasaan, walau sebelumnya adalah seorang pegawai negara yang baik. Dalam kasus yang lain, seorang pejabat bisa terjerumus dalam kasus korupsi karena keteledorannya untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan. Hal seperti ini juga sering terjadi. Oleh karenanya, aparat penegak hukum harus memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengungkap kejahatan korupsi. Sehingga tidak salah menghukum seseorang.
Menegakkan hukum sejatinya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran. Dalam sebuah kasus hukum, kebenaran harus terungkap didalam persidangan di pengadilan. Penegak hukum tidak boleh mencari dan memahami kebenaran tersebut dari luar persidangan, apalagi mencari kebenaran dari isu, opini atau berita di media masa. Disinilah kasus korupsi khususnya, sering berlarut bahkan sering pula bias dari persoalan utamanya. Kebebasan yang dimiliki masyarakat, pengamat, termasuk media masa sering digunakan untuk ikut menjadi hakim dari sebuah kasus hukum korupsi. Karena diberitakan, maka penghakiman diluar persidangan ini berubah cepat menjadi opini yang bisa melahirkan pro dan kontra diarena publik. Bahkan tidak jarang pula opini ini kemudian dibuatkan polling kepada masyarakat luas. Hasil polling tersebut sedikit banyak sering mempengaruhi penegak hukum dalam membuat keputusan sebuah kasus. Kalau hal ini terjadi, maka keadilan yang berdasar kepada kebenaran tadi akan sulit tercapai. 

   Akhir-akhir ini opini juga sering lahir dari liputan media terhadap sebuah persidangan korupsi yang terbuka. Niat lembaga hukum melakukan persidangan terbuka tidak lain untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap kemungkin rekayasa yang terjadi didalam ruang pengadilan. Namun persidangan yang mungkin sedang mendengarkan keterangan saksi, sudah diliput dan disiarkan oleh media masa. Padahal keterangan saksi itu belum tentu memiliki kebenaran, karena masih dalam proses pemeriksaan. Tidak bisa pula dalam hal ini media masa disalahkan, karena memang yang ditulis, benar-benar seperti apa yang didengarkan didalam sebuah persidangan. Persoalan menjadi lain apabila isi persidangan tersebut digunakan secara sengaja oleh media untuk kepentingan tertentu, misalnya memojokkan seseorang.
Oleh karenanya, saya berpandangan bahwa menegakkan hukum yang berarti menegakkan kebenaran, termasuk memberantas korupsi di Indonesia harus didukung oleh seluruh komponen bangsa dengan keadaban yang tinggi. Karena penjahat pelanggar hukum termasuk koruptor adalah bagian dari manusia yang cacat peradaban atau termasuk orang-orang yang tak beradab.
Selain harus didukung semua komponen bangsa, hukum juga harus berlaku bagi seluruh warga negara tanpa kecuali, tanpa memandang pangkat, status dan jabatan seseorang. Presiden SBY bahkan mengatakan dirinya sebagai Presidenpun bukan warga negara yang kebal hukum. Kenyataan ini seharusnya menjadi kekuatan bagi penegak hukum untuk tidak ragu dan berpanjang waktu untuk menuntaskan sebuah kasus korupsi. Karena berkepanjangannya proses hukum sebuah kasus, melahirkan peluang pengaburan terhadap masalah sebenarnya. Hal yang sangat mungkin terjadi hanya karena pengaruh opini yang berkembang di masyarakat.

   Contoh mudah adalah mencuatnya nama Bunda Putri yang katanya mengerti proses reshuffle kabinet, sebuah hak preogratif Presiden. Apabila pengakuan itu terbukti, maka hal itu merupakan tindakan hukum pencemaran nama baik Presiden yang memiliki hak tersebut. Karena info tersebut terkuak didalam sebuah persidangan terbuka, maka yang terjadi adalah olah opini dimedia dan masyarakat. Menurut saya hal itu tidak perlu terjadi apabila penegak hukum segera meminta keterangan seorang Bunda Putri yang faktanya ada dan diakui oleh terdakwa dalam persidangan. Demikian pula akhir-akhir ini muncul nama Bu Pur yang diberitakan seolah terkait kasus Hambalang. Bukan sosok misterius karena memang jelas keberadaannya. Karena keterangan tidak segera diminta kepada yang bersangkutan, maka opini atau berita media yang beredar, termasuk keterangan saksi yang mungkin didasari oleh berita media pula; mengakibatkan lahirnya kesalahan informasi kepada masyarakat yang bisa mengandung fitnah. Disangka sebagai kepala rumah tangga cikeas, yang faktanya tidak ada, Bu Pur langsung dikaitkan dengan Presiden dan keluarganya. Bahkan ada media televisi yang sangat gegabah dengan menulis judul berita, kurang lebih begini, “Ada Cikeas di kasus Hambalang”. Judul yang berdasar kepada sangkaan yang salah. Memang cikeas disini bisa bersayap artinya, bisa nama kampung, bisa juga lain yang dimaksud. Sebaiknya segera saja Bu Pur diminta keterangannya oleh penegak hukum, kalau ada kecurigaan dan bukti yang cukup. Apabila terjadi pelanggaran, hukum dijalankan, dan kebenaranlah yang dibuktikan. Bu Pur sama dengan siapapun, adalah warganegara yang punya hak hukum, namun juga tidak kebal hukum. Namun menghakimi melalui media tidak boleh dilakukan, apalagi bila tidak mengandung kebenaran. Sekali lagi, semua itu bisa tidak terjadi bila penegak hukum bisa lebih cepat dan bijak dalam menangani sebuah kasus. Bahkan persidangan terbuka yang bermaksud baikpun bisa melahirkan ekses negatif yang mengganggu.  

   Indonesia adalah tanah tumpah darah kita semua. Indonesia adalah rumah bersama kita. Indonesia bukanlah negara korup. Oknum penjahat seperti koruptor yang mengotori negeri ini. Kalau kita masih mencintai Indonesia, sepantasnya kita setapak demi setapak secara bersama mengembangkan bangsa ini ketingkat keadaban yang semakin tinggi. Bukan mengobral kebenaran masing-masing. Bukan menjadikan diri sendiri seolah  yang paling benar, dan selalu menumpahkan kesalahan kepada pihak lain. Perbuatan yang hanya sering dilakukan oleh pihak yang sebenarnya ingin menyembunyikan borok sendiri.

   Mari kita maknai hari anti korupsi sebagai kaca cermin diri kita sendiri. Kalau tidak malu memandang diri sebagai penjahat korupsi, tunggu saatnya nanti, tidur bersama nyamuk dibelakang terali besi. 

Salam
Desember'2013