Jumat, 25 Juli 2014

SAYA TIDAK SEPENDAPAT SBY MENJADI KETUA UMUM PARTAI


Catatan, 14 April 2013



          Kongres Luar Biasa Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu telah berlangsung dengan cepat, aman dan damai. Isu awal yang memanaskan suhu hati dan berita, seolah akan terjadi kegaduhan dan gontok-gontokan, ternyata semua itu hanya sekedar bumbu tak sedap tukang masak amatiran. Para peserta kongres yang tentunya delegasi pengurus Partai Demokrat dari seluruh pelosok tanah air secara bulat memilih SBY sebagai Ketua Umum, setelah kursi itu tak bertuan beberapa saat. Pemilihan Ketua Umum itulah inti tunggal hajatan Partai Demokrat di tempat indah penuh pesona, Pulau Dewata Bali. Hasil hajatan tersebut menjadi pintu penutup berbagai ragam pendapat yang berkumandang sebelumnya, khususnya dari internal anggota Partai Demokrat sendiri. Ada yang setuju dan ada yang tidak SBY jadi Ketum. Lalu bak gayung bersambut, para pengamat, pengkritik, serta masyarakat awampun, berlomba berkomentar. Senang, kecewa, marah, sinis dan beribu pandangan terlontar. Sayangnya mereka yang tidak setuju justru khilaf dan lupa, bahwa sejatinya yang boleh bersetuju atau tidak SBY menjadi Ketua Umum PD adalah mereka yang menjadi anggota keluarga besar Partai Demokrat itu sendiri. Lain ceritanya kalau mereka tidak bersetuju bila SBY tidak lagi serius menjalankan tugasnya sebagai Presiden.  

Sayapun tidak sependapat SBY menjadi Ketum Partai saat ini. Namun hal itu mungkin hanya karena iba, ngeman dan faktor emosional rasa kedekatan semata.  Karena tak terbayang bagi saya, betapa berat beban pikiran yang harus beliau tanggung. Menurut saya seharusnya hanya sebatas itulah para pihak non anggota Partai Demokrat boleh bersikap.  Semua warga negara memiliki hak politik yang sama . Partai Politik manapun berhak pula menentukan arah dan karakteristik organisasinya sendiri. Apalagi kita sudah sepakat untuk membangun Indonesia yang demokratis. Sepantasnyalah kita juga harus memiliki jiwa yang demokratis pula. Memaksakan kehendak adalah sikap berlawanan dari makna demokrasi yang sejati. Berbeda namun tetap satu, Indonesia. Perbedaan yang menguatkan, bukan yang saling menghancurkan.

Ketum Jadi Presiden

     Diskursus atau perbincangan diarena publik kemudian berkembang dengan ragam topik yang menarik. Bagian terbesar masyarakat memperbincangkan kekhawatiran atas waktu, konsentrasi ataupun fokus SBY sebagai Presiden yang bisa jadi terganggu karena menjadi Ketum Partai. Belum lagi seperti diketahui masyarakat banyak, Partai Demokrat saat ini sedang mengalami ujian yang tidak ringan. Padahal pesta demokrasi Pemilu 2014 sudah berjalan. Perbincangan tentang kekhawatiran seperti ini saya nilai sesuatu yang indah, bersahabat, kekeluargaan, penuh cinta dan rasa saling berpengharapan. Mereka, yang berbincang ini hampir pasti adalah masyarakat yang saat pemilihan Presiden, percaya bahwa SBY adalah pilihan tepat untuk memimpin dan membawa kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mereka tidak memasalahkan hak politik SBY, namun dengan jujur mengungkapkan rasa cinta dan harapan yang telah mereka miliki sebelumnya.

Disaat bersamaan, diwarung yang lain, ada pula sebagian pihak yang mempergunjingkan hak politik seseorang. Judul gunjingan ini lebih dikenal dengan sebutan topik rangkap jabatan. Intinya, sebagai Presiden, SBY tidak boleh menjadi Ketum Partai. Alasannya macam-macam, namun yang penting, pokoknya SBY tidak boleh jadi Ketum Partai, titik. Nah, ini yang jadi trending topic para trend setter. Argumentasinya-pun beraneka ragam. Dari yang sekedar sinis, sampai yang sangat teoritis akademis. Saya tidak pernah sekolah jurusan politik, namun hanya suka baca berita dan nonton televisi. Dari koran dan televisi yang saya tahu, hampir disemua negara yang demokratis, semi demokratis atau apa sajalah namanya, kebanyakan Presiden atau Perdana Menterinya ternyata juga pemimpin partainya masing-masing. Walau disana  namanya bukan Ketum. Seperti di Inggris, Australia, Malaysia, Cina, Jepang dan banyak lagi. Bagi saya rasanya masuk akal. Niat sekelompok orang yang memiliki kesamaan ideologi kemudian membuat Partai Politik, memang untuk mendapatkan kekuasaan politik. Karena dengan kekuasaan politik itulah mereka bisa memperjuangkan kebenaran ideologinya.  Kelompok masyarakat yang berkumpul namun tidak dengan niat mencari kekuasaan, biasanya membangun wadah organisasi seperti LSM, Organisasi Profesi, Yayasan Sosial, atau juga Kelompok Arisan RT/RW. 

Jadi kesimpulan dangkal saya, karena posisi Presiden adalah posisi Politik, atau bahasa kerennya Political Appointy, maka memang seharusnya diduduki oleh seorang politisi yang berasal dari Partai Politik. Lalu agar terbangun keseimbangan atau istilah saya perbedaan yang menguatkan, maka sebaiknya kualitas seorang Ketum Partai harus sekelas dengan kualitas seorang Presiden. Dengan kata lain, kalau mau jadi Ketum Partai, harus siap jadi Presiden. Kalau mau jadi Ketua DPC Partai harus siap jadi Bupati atau Walikota. Kalau mau jadi Ketua DPD Partai, ya harus siap jadi Gubernur. Jadi karena yang jadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota dalam Pemilu hanya satu orang, maka yang lain bisa memberikan keseimbangan pendapat, karena sekali lagi, mereka sekelas.  Memang repot kalau Presiden yang juga seorang pemimpin partai sudah kelas tiga, kemudian pemimpin partai yang lain kebanyakan masih kelas satu. Atau sebaliknya. Akibatnya, kata anak muda sekarang, kalau ngomong gak nyambung. Makanya banyak pihak mengatakan, Partai Politik harus memiliki kader yang mampu memimpin, bukan hanya yang mampu mbayari
Kesimpulan dangkal saya yang kedua, jadi masalahnya bukan Ketum Partai boleh atau tidak boleh jadi Presiden, namun Partai Politiknya yang harus baik dan mampu melahirkan kader pemimpin.  Kalau tidak salah, negara yang menganut demokrasi, harus memiliki partai politik-partai politik. Jadi kalau Indonesia mau jadi negara yang demokrasinya baik, memang harus memiliki partai politik yang baik pula.

SBY Jadi Ketum PD

     Dengan uraian diatas, tidak ada sedikitpun kesalahan SBY yang seorang Presiden, kemudian memutuskan menjadi Ketum PD. Namun demikian sampai detik ini saya masih yakin bahwa menjadi Ketum Partai bukanlah niat utama SBY dalam menggeluti dunia kepemerintahan. Jalan kehidupan memang terkadang sulit diperkirakan. Apalagi jalannya kehidupan dunia politik. Saya pernah mengatakan hasil Pemilu 2009 sebenarnya menjadi momen kebenaran politik ditanah air. Kalau tidak dikatakan benar, paling tidak melahirkan harapan akan semaikin stabilnya kehidupan politik di negeri ini. Partai demokrat memperoleh suara kepercayaan rakyat terbanyak, dan SBY menjadi Presiden yang notabene berasal dari Partai Demokrat. Tidak salah kalau banyak pihak memiliki secercah harapan akan semakin baiknya kehidupan politik. Sayangnya sebagai pemilik suara terbanyak, Partai Demokrat tidak berhasil menjalankan peran politiknya dengan baik. Peran politik yang bisa berupa kontribusi nyata terhadap tugas dan kewajiban Pemerintah yang semakin kompleks. Peran politik bisa juga ditunjukkan dengan strategi berpolitik yang mampu meningkatkan kepercayaan rakyat kepada Partai Demokrat, misalnya. Kasus-kasus hukum yang menimpa sebagian kadernya, juga masih seringnya terjadi gejolak internal organisasi, walau juga terjadi ditubuh Partai yang lain, menambah kemerosotan nama baik. 

Sebagai pemilik suara terbanyak dan mendudukkan kadernya sebagai Presiden, tentu penilaian dan sorotan masyarakat terhadap Partai Demokrat akan jauh lebih tajam dibanding Partai lain. Hal itu wajar adanya, karena faktanya memang Partai Demokrat mendapatkan suara rakyat terbanyak pula. Partai Demokrat sebagai organisasi tidak berhasil memberikan imbangan yang cukup dibanding penilaian masyarakat terhadap kinerja SBY sebagai Presiden. Hal ini nampak dari berbagai survey yang menyatakan kepuasan rakyat terhadap kinerja SBY selalu lebih besar dibanding kepercayaan terhadap Partai Demokrat.  Oleh karenanya, saya berani mengatakan, walau dalam kurung, bahwa SBY terpaksa menerima permintaan para pengurus Partai Demokrat untuk duduk sebagai Ketum. Kesediaan SBY bukan saja sebagai bentuk kecintaannya terhadap partai yang didirikannya agar tidak semakin retak, namun lebih dari itu, sikap itu adalah sebagai bentuk tanggungjawab SBY terhadap jutaan masyarakat yang saat Pemilu mempercayakan suaranya terhadap Partai Demokrat. Tentu keputusan itu memiliki konsekuensi yang tidak ringan. Energi yang harus disiapkan untuk terkuras dari SBY akan semakin banyak. Membaiknya berbagai bidang kehidupan masyarakat, memang memperingan pikiran Presiden. 
Namun bukan berarti tidak ada lagi PR atau pekerjaan rumah yang harus digarap. Apalagi niat SBY dari dulu adalah ingin memberikan kemudahan bagi penggantinya nanti. Namun masyarakat harus merasa beruntung, karena SBY secara langsung sudah mengatakan dan berjanji untuk tetap menjalankan amanah yang telah diberikan rakyat sebagai Presiden, dengan sebaik mungkin.  Banyak pihak, mungkin termasuk saya, yang merasa kecewa terhadap kinerja politik Partai Demokrat, bila dikaitkan dengan kontribusinya terhadap tugas SBY sebagai Presiden. Namun episode drama politik Partai Demokrat terakhir ini, sangat bermanfaat sebagai pelajaran penting. Bukan saja bagi Partai Demokrat sendiri, namun juga bagi Partai Politik yang lain. Disini terlihat bahwa setelah mencapai tujuannya mendapatkan kekuasaan, tidak berarti kemudian sebagai organisasi, Partai Politik hanya berpangku tangan dan seolah menikmati semata kekuasaan itu untuk kepentingan sendiri atau hal lain yang bukan untuk kesejahteraan rakyat. Atau lebih buruk lagi, adalah menggunakan kekuasaan itu bahkan untuk menyakiti hati rakyat.  Kalau pelajaran mahal ini mampu dimaknai dengan bijak, pasti Partai Demokrat akan kembali mendapat kepercayaan rakyat.

Kehidupan politik Indonesia saya nilai masih akan cukup rumit dimasa depan. Bukan saja karena jumlah Partai Politik yang berjubel. Namun juga karena kualitas dan kuantitas politisi yang masih terbatas. Padahal Pemilu 2014 sudah berjalan. Kalau berjalan satu putaran, maka setahun lebih sedikit, atau sekitar Juni 2014, Indonesia sudah akan punya Presiden baru. Saya dan juga Cak Iwan, penjual nasi goreng keliling langganan saya, tentu sangat berharap Presiden dan pemerintah mendatang lebih baik dari sekarang. Paling tidak, sama-lah dengan yang sekarang. Mungkinkah? Mungkin saja, karena biasanya Kita Bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar