Jumat, 25 Juli 2014

NEGARA INI MASIH TERBUKA UNTUK PERUBAHAN


Catatan, 1 Februari 2014           

Judul catatan saya terinspirasi oleh sebuah bab dibuku, Selalu Ada Pilihan yang ditulis sendiri oleh SBY. Buku yang berisi berbagai pernik pengalamannya menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia. Belum setengah dari buku setebal 807 halaman itu terbaca, tampak sekali bahwa SBY bukan saja ingin berbagi cerita, namun ingin memberikan gambaran utuh, apa yang dirasakan dan dialaminya hampir 10 tahun menjabat sebagai Presiden RI. Buku ini terasa tepat diterbitkan saat ini dan bukan setelah SBY berhenti menjabat, karena isinya sungguh bernilai bagi siapa saja yang terketuk hatinya untuk berniat menjadi salah satu calon Presiden RI, dimana saat ini proses Pemilu sudah dimulai.

Dalam bab yang judul lengkapnya adalah Negara Kita Masih Terbuka Untuk Perubahan Dan Penataan Kembali, catatan SBY mencerminkan kesadaran dan kejujurannya, bahwa untuk mencapai masa depan, Indonesia masih memerlukan banyak penataan dan perubahan. Bahkan diakhir tulisan dalam bab ini SBY meyakini bahwa bangsa ini tidak boleh bersikap dogmatis dan menutup diri dari perubahan dan pembaruan. SBY juga mengingatkan bahwa perubahan itu sendiri bukanlah tujuan. Perubahan adalah sarana agar masa depan menjadi lebih baik. Satu satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri, demikian SBY menutup catatannya.

Seperti yang dikenali oleh SBY, beberapa hal penting harus terus disempurnakan, bukan saja karena belum tepat, namun juga karena dinamika kehidupan nasional dan global terus berjalan.
Seperti pertanyaan tentang sudah tepatkah sistim Pemilu dan pemilihan Kepala Daerah? Sudah tepatkah peran dan kewenangan MK seperti sekarang? Kebijakan dasar keuangan yang paling tepat seperti apa? Bagaimana membangun toleransi dan harmoni yang kokoh dalam masyarakat kita yang majemuk? Bagaimana hubungan negara dan rakyat yang semakin baik? Dan banyak lagi.
Semua persoalan yang selalu hidup dalam dinamika kehidupan nasional tersebut harus tetap dihadapi sebagai tantangan yang harus dikelola. Kehidupan masyarakat Indonesia setiap hari harus semakin sejahtera dalam lingkungan yang aman dan adil. Walau tidak bisa dipisahkan satu persoalan dengan yang lain, bagi keseharian kehidupan masyarakat, maka kondisi sosial adalah hal yang paling berpengaruh. Persoalan ekonomi selalu banyak pilihan untuk mengelolanya. Persoalan Politik yang lebih kepada persoalan kekuasaan menjadi domain perhatian politisi, dan tidak menjadi prioritas keseharian mayoritas masyarakat biasa.
Oleh karenanya pemimpin disemua tingkatan harus memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengelola masalah sosial yang ada diseluruh tanah air. Keragaman tradisi dan kebiasaan hidup masyarakat disetiap pelosok tanah air, hampir pasti memiliki karakteristik kehidupan sosial yang spesifik. Itulah mengapa pengelolaan daerah tidak boleh eksklusif tanpa mendasari pemahaman bahwa kita sebenarnya satu, Indonesia. SBY-pun mencatat pertanyaan bagaimana hubungan pemerintah Pusat dan Daerah harus semakin baik. Bhineka Tunggal Ika adalah salah satu dari empat konsensus dasar bangsa ini, selain Undang Undang Dasar 1945, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa menghilangkan ciri tradisi, namun semua itu untuk membentuk satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Konsepsi dasar untuk mewarnai kebijakan jalannya pembangunan Indonesia menggapai masa depan, sebenarnya telah disiapkan oleh para pendahulu bangsa ini. Hanya bagaimana pemimpin dan komponen bangsa ini memahami dan mengamalkannya dalam berbagai langkah, bekerja bersama mengejar masa depan, sebagai eja wantah dalam mengarungi jembatan emas, yaitu kemerdekaan Indonesia tahun 1945 lalu.

Kepala Daerah Menjadi Penjuru

Pembangunan nasional sebenarnya adalah kumpulan pembangunan daerah. Dengan karasteristik daerah masing-masing, kebijakan yang diterapkan bisa dipengaruhi oleh berbagai perbedaan faktor. Namun apapun kebijakan yang akan diterapkan berdasar pada otonomi daerah, tidak boleh saling bertentangan satu dengan lain. Konsepsi kebijakan saling bermanfaat dan memanfaatkan antar daerah sangatlah penting. Kalau ada istilah sister city antar kota dari negara berbeda, maka sister province harus terbentuk diantara propinsi diseluruh Indonesia.
Pemikiran orisinil dan membumi dari para Kepala Daerah sangat diperlukan, karena merekalah yang harus memahami terlebih dahulu kekuatan dan tantangan daerahnya masing-masing.

Dibawah ini adalah catatan Nia Elvina, S.Sos, Msi, Sekretaris Jurusan Sosiologi Universitas Nasional, tentang paparan Dr.Soekarwo, Gubernur Jawa Timur. Paparan tersebut dalam rangka kegiatan Presidential Lecture yang dilakukan di kampus Universitas Nasional, dengan topik  “Membahas Politik dan Masa Depan Pembangunan Nasional Pasca Pemilihan Presiden 2014”. Dalam acara tersebut Dr.Soekarwo menyampaikan bahasan yang berjudul “Pengalaman Empiris Pembangunan Sosial di Jawa Timur dan Dampaknya Bagi Masyarakat”.  Selain Gubernur Jawa Timur, berbicara pula Dr.TB Massa Djafar, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS.

Gagasan pemikiran Gubernur Jatim ini berangkat dari kegelisahannya terhadap kurang tepatnya titik tolak pembangunan nasional kita, khususnya pasca Orde Lama. Gubernur Jatim melihat bahwa ada kekurangan mendasar dari orde-orde pemerintahan setelah orde lama, yaitu lebih mengedepankan ukuran atau sektor ekonomi dalam melakukan pembangunan. Pembangunan sosial didalamnya pembangunan pendidikan, atau pembangunan manusia Indonesia yang susila dan demokratis (jika meminjam istilah Mohammad Hatta), kurang mendapatkan perhatian. Negara lebih berpusat pada bagaimana mendatangkan investor dan memfasilitasi mereka secara besar-besaran, yang sebenarnya menurut Gubernur Jatim ini, semakin mengarahkan kita kepada apa yang disebut pengembangan pembangunan liberal. Jika ditarik lebih jauh, bisa mendatangkan persoalan besar, bila demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berbasis pada nilai liberalisme, siapa yang kuat modalnya itu yang semakin didukung dan difasilitasi dengan berbagai kebijakan. Sedangkan masyarakat dengan modal terbatas, akan sulit berkembang.

Berangkat dari realitas dan pilihan atas strategi pembangunan yang terbaik bagi masyarakat Jatim, maka Gubernur yang lebih akrab dipanggil Pakde Karwo, meyakini bahwa nilai yang paling sesuai untuk menjadi dasar pembangunan sosial, ekonomi dan politik negara, dalam konteks ini Propinsi Jatim adalah Pancasila. Ia melihat bahwa dalam nilai Pancasila terkandung koperasi sosial atau gotong royong dan semangat partisipatif yang dikenal dengan permusyawaratan. Itu yang sangat perlu untuk mempercepat pembangunan, ujarnya.

Koperasi sosial ini, untuk kasus Jatim ia mulai dengan memasukkan nilai ekonomi, mengikuti pemikiran brilian the founding fathers, yaitu koperasi. Terutama koperasi wanita yang dijadikan sebagai pionir dalam pengembangan koperasi yang lebih luas nantinya. Pakde Karwo sepakat bahwa untuk melawan laju pesatnya organisasi kapitalisme atau organisasi para pemilik modal besar ini, harus melalui organisasi pula.

Dalam hal pengejawantahan demokrasi Pancasila, terutama nilai permusyawaratan, dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang dia ambil, Pakde Karwo seoptimal mungkin melibatkan masyarakat luas dan semaksimal mungkin mendekati aspirasi mereka. Atau dalam kacamata sosiolog, tindakan pemimpin merupakan perwujudan kemauan masyarakat. Misalnya kasus penertiban stren kali Surabaya, dari hasil musyawarah dengan masyarakat disepakati bahwa masyarakat yang berada dalam zona 12,5 m dari bibir sungai akan pindah ke rumah susun yang sebelumnya telah disediakan. Padahal dalam ketentuan UU kita, masyarakat yang wajib digusur dari bibir sungai yakni masyarakat yang tinggal dalam zona 40 m dari bibir sungai. Dengan adanya mekanisme musyawarah ini, maka konflik yang merusak antara petugas dari pemerintah dengan masyarakat  dapat dieliminir. Dari kasus ini Gubernur Jatim menyadari pula bahwa musyawarah merupakan wujud demokrasi partisipatif.

Pandangan sederhana, namun membumi dan berangkat dari pemahaman terhadap karakteristik kehidupan sosial masyarakat setempat seperti apa yang diungkapkan Pakde Karwo, pantas dijadikan rujukan secara nasional. Karena pada kenyataannya, saat ini kata keterlibatan langsung masyarakat belum memiliki bentuk atau makna yang jelas. Kesediaan para pemimpin disetiap tingkatan, seperti Kepala Daerah Propinsi untuk berpikir, menggagas dan menciptakan makna keterlibatan rakyat secara lebih riil, sangatlah diperlukan.

Dimasa Pemilu seperti ini, bangsa kita berada dalam titik menentukan yang tidak bisa ditarik kembali. Apabila para politisi dan pemimpin tidak peka terhadap dampak yang terjadi dimasyarakat akibat kompetisi politik yang tidak sehat, maka bisa membahayakan hubungan negara dengan rakyatnya. Apabila rakyat semakin muak dan apatis menonton tayangan media yang sarat intrik politik saja, maka hal terburuk yang bisa saja terjadi adalah, rakyat merasa bisa hidup sendiri tanpa peran politik politisi yang seharusnya menjadi pemerintah mereka, atau lebih dikatakan tepat sebagai pengelola masyarakat. Kalau yang terburuk ini yang terjadi, kita semua akan berdosa kepada pendiri bangsa dan generasi penerus masa depan Indonesia.

Semoga Pemilu 2014 ini membawa perubahan kearah kemajuan, dan bukan kemunduran peradaban bangsa Indonesia.    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar