Jumat, 25 Juli 2014

INDONESIA DALAM UJIAN NASIONAL


Catatan, 18 Mei 2014    

        Walau berjudul Indonesia Dalam Ujian Nasional, catatan saya kali ini tidak akan membahas nama Joko Widodo yang namanya masuk didalam soal ujian nasional SMA. Judul diatas benar-benar karena Indonesia saat ini sedang menjalani ujian nasionalnya. Ujian yang akan sangat menentukan, terjal tidaknya jalan mencapai masa depannya. Kalau salah menjawab ujian ini, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan gagal secara sistemik. Ingat pengalaman yang pernah dialami sebelumnya, bila kehidupan bangsa ini mengalami krisis, diperlukan waktu lama dan energi yang besar, untuk mengembalikannya kekondisi normal kembali. Krisis demi krisis yang dialami bangsa ini beberapa tahun silam, secara obyektif, hari ini telah terkembalikan, bahkan mampu mencapai banyak kemajuan diberbagai sendi kehidupan.
Oleh karenanya pesta demokrasi yang akan mencapai puncaknya kali ini, akan menjadi ujian sekaligus tantangan yang sangat serius dan menentukan kelanjutan pembangunan nasional Indonesia.

Ujian Pemilu Legeslatif

        Jalannya proses pesta demokrasi diawali dengan pelaksanaan pemilihan umum legeslatif, untuk memilih wakil rakyat di DPR Pusat, Propinsi, juga Kabupaten dan Kota. Bila kita berkata jujur, sebenarnya saat ini lebih tepat dikatakan sebagai wakil partai politik, daripada wakil rakyat. Hal ini bisa dilihat, begitu banyak calon wakil rakyat yang tidak dikenal didaerah pemilihannya. Karena partai politik sering menempatkan calonnya, bukan berdasar asal usulnya, namun sekedar pembagian tempat semata. Tentu hal ini tidak berarti semua calon tidak dikenal rakyat didaerah pemilihannya. Hal inilah salah satu ujian terhadap makna kedaulatan rakyat yang sebenarnya. Saya menilai saat ini yang berjalan baru setengah daulat rakyat. Rakyat baru memiliki daulat untuk memilih, sedangkan belum sepenuhnya memiliki daulat untuk mencalonkan wakilnya. Daulat menentukan calon wakil rakyat belum sepenuhnya terjadi karena partai politik belum secara benar  menempatkan dirinya sebagai wadah aspirasi rakyat. Dasar pemilihan calon oleh partai politik masih lebih ditentukan oleh kemauan organisasi, bahkan restu pengurus utamanya.

Kembali ke pemilu legeslatif yang sudah berlalu. Diwarnai berbagai cerita seperti permainan uang. Saya mencatat sebagai permainan dan tidak berani menulis sebagai pelanggaran, karena sampai saat ini belum ada satupun kasus permainan uang ini yang dianggap salah oleh yang berwenang. Selain itu pemilu ini juga diwarnai oleh masih banyaknya pihak yang melaporkan keberatannya ke MK. Dari yang terdengar, keberatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, lebih banyak karena kepentingan pribadi calon legeslatif yang merasa suaranya dicuri kawan sendiri. Bukan pelanggaran yang dapat mengurangi makna demokrasi secara lebih besar, seperti money politics , serta etika pemilu yang lain.
Bersama dengan catatan yang masih berderet, KPU beberapa hari lalu telah mengetokkan palunya terhadap hasil pemilihan umum legeslatif. Suka tidak suka, itulah faktanya.

Koalisi Kepentingan

      Sebelum pemilu berlangsung, saya pernah menulis dikoran ini, yang salah satunya berisi pemikiran bahwa sebaiknya partai politik melakukan “koalisi” sebelum pemilu berlangsung. Tentu saya maksudkan agar koalisi tersebut berdasarkan kepada kesamaan pandang terhadap cara memperjuangkan pembangunan masa depan bangsa negara. Dengan koalisi seperti itu, kemudian konsepsi bersama tersebut dijual keseluruh rakyat. Sehingga rakyat sejak awal telah memiliki alasan kuat dalam menentukan pilihannya. Pengalaman koalisi yang hanya berdasarkan kepada keperluan pemenuhan suara dan kekuatan di DPR, seperti pengalaman pembuatan Setgab kemarin, terbukti gagal. Bahkan banyak pihak yang mengatakan bahwa bertahannya pemerintah, khususnya kabinet Indonesia Bersatu kedua ini lebih disebabkan hanya oleh kebaikan SBY terhadap partai politik yang tergabung didalam pemerintahan.
Namun apalah arti catatan saya diatas. Hari ini kita menyaksikan proses “koalisi” yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Tidak salah kalau ada yang mengatakan, bahwa dalam politik yang abadi hanyalah kepentingan. Bahkan banyak pula kemudian mempertanyakan, sudah sedemikian besarkah nafsu kepentingan tersebut, sehingga mampu menggeser garis sikap partai yang pernah dipegang teguh sebagai sebuah idealisme, kalau bukan disebut ideologi. Saya tidak ingin mempermasalahkan pilihan yang sudah diambil oleh partai politik saat ini, namun saya beranikan mencatat dengan harapan dapat berguna sebagai bahan bacaan bagi pemahaman, sampai dimana tingkat kualitas partai politik bangsa kita ini.

Salah satu contoh adalah berita terbaru ber”koalisi”nya PDIP dengan Golkar. Kebetulan saya pernah diminta menjadi wakil sekretaris litbang PDIP, dan mendampingi pribadi Megawati beberapa waktu diawal reformasi. Bahkan saya pernah menjadi caleg terpilih mewakili PDIP didaerah pemilihan kota Probolinggo dalam Pemilu 1999. Namun saya tidak pernah duduk di DPR, karena memang saya tidak menghendakinya, walau keputusan saya itu berbuah kemarahan almarhum mas Taufik Kiemas. Karena keputusan saya tidak mau duduk di DPR itu diartikan almarhum, sebagai sama dengan saya tidak mendukung mbak Megawati untuk maju jadi Presiden. Ilustrasi ini saya ungkapkan, sekedar menggambarkan bahwa saya pernah bergaul dekat dengan keluarga PDIP, dimana sampai sekarang masih cukup banyak tokoh-tokohnya yang bergaul baik dengan saya. Kembali kepada berita berkoalisinya Golkar dengan PDIP. Dulu saat saya masih bergaul disana, ada semacam slogan perjuangan yang fasih diucapkan teman-teman PDIP, yaitu “bubarkan Golkar”. Bahkan pernah pula slogan itu mempengaruhi keyakinan, sehingga saya pernah menulis disebuah majalah dengan judul kalau tidak salah “Kalau PDIP berkoalisi dengan Golkar, negara ini akan hancur”. Tentu yang saya maksud saat itu, lebih kepada yang hancur adalah garis perjuangan sebuah partai politik. Jadi kalau hari ini PDIP bisa bergandengan tangan dengan Golkar, bisa jadi bukan kemunduran, namun sebaliknya mungkin dinilai sebagai sebuah kemajuan. Wallauhu ahlam.

Catatan lain adalah bergabungnya PKB dengan PDIP. Semua mencatat sejarah pertentangan Megawati dengan almarhum Gus Dur, yang puncaknya meledak dengan pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan pada tahun 2001. Semua juga mencatat, tidak mungkin PKB masih berdiri seperti hari ini kalau bukan karena kepemimpinan dan kebesaran almarhum KH Abdurahman Wahid. Keputusan bergabungnya PKB ke PDIP mungkin saja karena dari surga, Gus Dur telah memaafkan pihak yang telah menyakitinya. Cerita kecil lain juga sempat bergolaknya PPP sebelum akhirnya duduk manis berkoalisi dengan Gerindra. Itulah pernik-pernik menarik geliat partai politik di tanah air saat ini. Dari sini, silakan rakyat dan kita semua menilai, dimana letak tingkat kualitas partai politik yang sementara ini ada di tanah air. Mungkin saja Reformasi jilid dua memang sudah datang.

Pemilihan Presiden

     Puncak dari semua pesta demokrasi ini adalah pemilihan Presiden. Mengikuti jalannya “tawar menawar’ yang berlangsung selama ini, tampaknya akan terjadi kemunduran dalam pemilihan Presiden Indonesia kali ini, sejak era reformasi dicanangkan. Kemunduran yang saya maksud adalah kemungkinan hanya tampilnya dua kandidat Presiden yang akan berkompetisi nanti. Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 selalu diikuti oleh lebih dari dua pasangan. Dari jumlah tentu harus kita katakan sebagai kemunduran. Belum lagi kalau kita bicara daulat rakyat seperti diatas. Benarkah calon-calon yang ada ini adalah hasil penyaringan yang dilakukan parpol terhadap aspirasi rakyat, atau lebih karena ditentukan oleh pilihan parpolnya sendiri cq. Ketua Umumnya? Kalau dikatakan sebagai hasil penyaringan aspirasi rakyat, mengapa suara golput kali ini lebih besar dari parpol yang meraih suara terbanyak? Mengapa PDIP sebagai peraih suara terbanyak, hanya mendapat kurang dari 19%.  Ada yang mengatakan pemilihan wakil rakyat atau Pileg berbeda dengan Pilpres. Kalau itu jawabannya, mengapa parpol harus bersusah payah menjual Capresnya sebelum Pileg? Bahkan Partai Demokrat mencoba dengan gaya beda, menjual sikap demokratisnya dengan mengadakan konvensi, walau dengan ongkos yang tidak sedikit.

Kalau analisa pesimis saya terjadi, maka bukan tidak mungkin Presiden kita nanti adalah sosok yang dipilih bukan oleh mayoritas rakyat pemilih. Menurut KPU, jumlah pemilih nasional dalam Pemilu 2014 ini adalah 186.612.255 orang, namun ada data lain mengatakan 185.822.507 orang. Tentu kita harus berharap, Presiden terpilih nanti minimal mendapat suara rakyat sejumlah 92.911.255 orang. Itu kalau kita bermazab, mayoritas adalah 50%+1. Tentu saya tidak menghitung bila yang dikatakan mayoritas adalah setelah dikurangi golput, yang sebaiknya tidak ada walau hal itu hak. Bagaimana bisa mengatakan bahwa tidak memilih itu bukan hak, kalau rakyat merasa “dipaksa” memilih pilihan parpol dan bukan aspirasi mereka.

Demokrat bersikap atau tertinggal?

     Banyak pihak berharap SBY dan Demokrat ikut memiliki Capres didalam Pilpres kali ini. Politik memang bukan matematika, namun keterbatasan Demokrat dimulai dengan duka akibat hanya mendapat sekitar 10% suara yang setengah dari perolehan dalam Pemilu sebelumnya. Ditambah dengan tidak berhasilnya strategi konvensi mendongkrak peroleh suara partai dan mengangkat elektabilitas pesertanya bila dibanding dengan capres partai lain. Walau mungkin saja nama Dahlan Iskan atau Anies Baswedan bisa bersaing, namun dengan kepercayaan SBY kepada surveyor, rasanya berat bagi Demokrat mengusulkan calonnya. 
Bahkan sebenarnya didalam internal Demokrat masih memiliki sosok-sosok yang pantas diajukan, seperti DR Soekarwo Gubernur Jatim yang sarat prestasi. Namun kembali lagi perolehan suara partai dalam Pileg, keteguhan terhadap keputusan proses konvensi, tidak memberi pintu cukup lebar bagi Demokrat untuk bermain dalam Pilpres. Keputusan partai yang akan dibuat melalui rapimnas yang waktunya sangat berdekatan dengan hari pendaftaran Capres, tampaknya tidak bisa lagi ditunggu oleh parpol lain. Maka kalau SBY saat ini lebih menunjukkan sebagai Presiden yang sedang bertugas, dibanding larut dalam tawar menawar koalisi dan proses Pilpres, bisa dinilai sebagai sebuah SIKAP PARTAI DEMOKRAT. Dan bukan berarti Demokrat tertinggal. Seperti yang pernah diucapkan SBY, Demokrat tidak akan terlibat didalam politik transaksional. Jadi sangat mungkin Demokrat akan lebih berkonsentrasi kepada pembenahan internal partai selama lima tahun kedepan. 

Mungkin saja banyak yang kecewa bila memang sikap itu yang diambil Demokrat. Mungkin juga membuat kecewa sekitar 10% rakyat pemilihnya. Namun kalaupun keputusan itu yang diambil Demokrat, harus dijadikan contoh positif perkembangan politik nasional. Mengakui kekalahan dengan kesatria, walau diluar pemerintahan, namun tetap akan menjadi mitra pemerintah dalam membangun bangsa. Karena siapapun pemimpin bangsa ini, bila dia bijak, akan tetap membutuhkan pengalaman pendahulunya. Jadi walaupun tertinggal, paling tidak Demokrat sudah bersikap.

Diluar itu semua, rakyat Indonesia harus tetap menjadi pemenang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar