Jumat, 25 Juli 2014

HUKUM BUKAN UNTUK DISIASATI


Catatan, 13 Agustus 2012       

       Bung Karno mengatakan bahwa kalau ingin merdeka jangan bertele-tele menunggu hal yang tidak mungkin dipikirkan dan disiapkan sekarang. Merdeka adalah realisasi kemauan bersama. Merdeka adalah sebuah jembatan emas. Pertanyaannya sekarang terletak kepada bangsa ini sendiri. Apakah jembatan emas yang sudah terbangun dulu akan kita gunakan benar untuk menyeberang dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang maju, besar dan bermasa depan. 
Bung Karno pernah melontarkan pertanyaan saat berpidato pada tanggal 17 Agustus 1957, “Akibat tahun 1957 ini, akan tetap tegakkah negara ini?”. Dalam renungan Proklamasi tahun 2007, Presiden SBY mengatakan: “ Setelah 50 th pidato Bung Karno, terbukti Indonesia masih tegak berdiri, bahkan mampu membangun kemajuan diberbagai bidang”. Itu semua terjadi karena bangsa ini bersedia menjaga persatuan dan bekerja keras, lanjut Presiden. Terbuktilah bila seluruh komponen bangsa ini mau bersatu, bekerja keras dan masing-masing memberikan kontribusinya secara positif, maka segala tantangan bangsa dan negara ini pasti dapat diatasi dan dicarikan solusinya. 
Persatuan dan kerjasama menjadi kata kunci disamping mampu menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Dengan segala ketidak sempurnaannya, terbukti pemerintah sampai saat ini mampu menjaga tegaknya kedaulatan, menyelamatkan negeri ini dari berbagai krisis, dan meningkatkan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Penilaian itu tentu hanya bisa diucapkan oleh bangsa yang suka bersyukur seperti kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sudah cukupkah usaha itu, dan kemudian haruskah kita berhenti dengan hanya duduk berpuas diri? Membangun peradaban dan masa depan Indonesia adalah pekerjaan yang tidak pernah usai. Tantangan demi tantangan baru selalu akan hadir. Tongkat pengambil keputusan akan selalu berpindah dari pemimpin kepemimpin selanjutnya. 
Semua harus selalu siap menghadapi tantangan baru, bahkan tantangan lama yang ternyata tidak mudah diselesaikan, kecuali dengan kesadaran, ketekunan, kejujuran, kepercayaan dan kerja keras. Tantangan itu adalah pemberantasan korupsi.   

Hukum Bukan Untuk Disiasati

    Gencarnya kesepakatan bangsa ini untuk memerangi pelanggaran hukum korupsi, seperti perkiraan banyak pihak akan menghadapi tantangan. Kalau tantangan itu berasal dari gigihnya para koruptor untuk melawan segala usaha penyidikan, pasti akan terjadi. Tetapi hal itu hanya akan terbatasi oleh waktu saja sampai mereka terpojok dan menyerah, bila memang bangsa ini serius secara bersama ingin memerangi korupsi. Namun tantangan yang lebih serius dan tidak mudah, akan datang apabila hukum itu sendiri yang belum ditempatkan diposisi yang kuat dan tidak multi tafsir. 
Setelah hukum itu kuat, maka harus pula dikelola oleh penegak hukum yang bersih dan kuat pula. Seluruh aparat dalam sebuah proses peradilan, apakah penuntut umum, hakim, bahkan pengacara, haruslah benar-benar menjadi penegak hukum yang sejati. Seorang penasihat hukum atau pengacarapun adalah pihak yang harus menegakkan hukum, bukan sekedar memenangkan perkara. Itulah sebabnya seorang yang sedang diadili di pengadilan, namun secara ekonomi tidak mampu membayar pengacara, maka negara wajib menyediakan penasihat hukum secara cuma-cuma kepadanya. Sehingga bila terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman, yang bersangkutan memahami benar bahwa putusan yang ditimpakan kepadanya tidak berdasar hal lain selain hukum itu sendiri. Oleh karenanya pengacara dalam bahasa Inggris disebut Lawyer, bukan Accused Saver

Jadi, hukum memang seharusnya ditegakkan, bukan disiasati dengan berbagai cara untuk sekedar menguntungkan pihak tertentu. Jelaslah sudah bahwa penegakan hukum seperti korupsi bisa berjalan baik bila seluruh lembaga penegak hukum mampu menegakkan hukum yang berlaku. Sedangkan pasal-pasal dalam hukum itu sendiri harus mampu menjawab semua pelanggaran hukum yang bisa terjadi. Sehingga hukum itulah yang harus menjadi awal dari lahirnya keadilan. Bukan saja mampu memberikan hukuman yang setimpal bagi yang bersalah, namun juga harus bisa menjelaskan bahwa seseorang tersangka akhirnya bebas karena tidak terpenuhinya segala unsur pelanggaran dari hukum itu sendiri. Seorang tersangka dihukum atau dibebaskan sepenuhnya harus berasal dari terlanggar atau tidaknya hukum. Bukan karena faktor lain diluar hukum, seperti kekuasaan, politik, apalagi pengaruh sejumlah rupiah.


Swadaya Mencegah Korupsi

      Masih kita ingat saat menyerahkan DIPA tahun 2011 kepada berbagai Lembaga Negara, salah satu instruksi Presiden SBY adalah perlunya setiap lembaga pemerintah mengembangkan menejemen resiko, meningkatkan pengawasan internal, dan selalu melakukan evaluasi disetiap program kegiatan yang ada. Pengawasan Internal menjadi kata kunci penting. Banyak pihak berpengharapan besar terhadap peran Satuan Pengawasan Internal, yang sebenarnya telah terbentuk disetiap lembaga pemerintah. Sehingga tidak setiap pelanggaran didalam lembaga harus diselesaikan melalui lembaga hukum khusus. 
Misalnya penyelewengan anggaran lembaga sampai Rp.5 juta oleh oknum pegawai, Satuan Pengawasan Internal bisa memberikan sangsi sesuai aturan kepegawaian yang ada. Apakah pencabutan jabatan, sangsi kepangkatan, selain pengembalian uang yang diselewengkan. Logika akan mengatakan bila hal ini benar-benar dapat dijalankan dengan benar, maka semakin sulitlah aparat untuk menyelewengkan uang negara, apalagi dalam jumlah yang lebih besar. 
Namun apabila penyelewengan yang terjadi sudah melibatkan jumlah yang besar, milyar, puluhan milyar, bahkan ratusan milyar rupiah, maka dengan mudah disimpulkan bahwa pengawasan internal sudah tidak berfungsi. Maka logika pula mengatakan bahwa harus ada lembaga penegak hukum yang secara independen menangani kasus tersebut. Penguatan, peningkatan kemampuan dan integritas Satuan Pengawasan Internal lembaga negara menjadi sangat penting dalam membangun swadaya  mencegah terjadinya korupsi. Bila swadaya ini mampu dibentuk disetiap lembaga negara, maka harapan hilangnya pelanggaran hukum korupsi akan semakin cerah dimasa depan.

Hukum Korupsi Belum Pasti

      Hari-hari kemarin, masyarakat mengikuti beberapa proses kasus korupsi yang ditangani oleh berbagai lembaga penegak hukum. Wajar bila masyarakat banyak mempertanyakan bahwa tampaknya hukum atas kasus korupsi masih penuh ketidak pastian. Apakah hukumnya sendiri, apakah prosesnya, apakah cara penanganannya, bahkan kejelasan siapa pihak yang paling berhak menangani. Sekedar mencatat berbagai cerita perjalan penanganan kasus dugaan korupsi dan putusan hukum korupsi, kita contohkan kasus pengadilan mantan walikota Semarang Soemarmo HS, kasus hukum politisi PKS Misbakhun, dan ramainya dugaan korupsi diDirektorat Lalu Lintas Polri. 
Catatan kita mulai dari kasus yang melibatkan mantan walikota Semarang, Soemarmo. Dimulainya proses penyidikan kasus tersebut, diawali dan diwarnai tarik ulur, bahkan melibatkan para politisi, tentang dimana sebaiknya tersangka ini diperiksa. Ada pihak termasuk beberapa politisi mengatakan seharusnya tersangka diadili di Semarang tempat terjadinya pelanggaran hukum. Penegak hukum dalam hal ini pengadilan memutuskan diadili di Jakarta, karena menurut catatan pengadilan korupsi di Semarang sering membebaskan para tersangka korupsi. Hal itu dikuatkan dengan sangsi yang diberikan kepada beberapa hakim pengadilan Semarang. 
Dari sisi positif, kita boleh menilai bahwa penegak hukum benar-benar ingin menegakkan hukum kasus tersebut, tanpa terganggu oleh intervensi apapun seperti terjadi sebelumnya di Semarang. Walau masih berjalan, akhirnya Soemarmo dituntut 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. 
Catatan lain adalah kasus yang menimpa politisi PKS, Misbakhun. Politisi asal Pasuruan ini divonis penjara 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian oleh Pengadilan Tinggi DKI, putusan hukum bagi Misbakhun dikuatkan bahkan ditambah menjadi 2 tahun penjara. Namun setahun kemudian oleh Mahkamah Agung, Misbakhun dinyatakan bebas. Menyitir kata-kata Yusril Isa Mahendra bahwa hukum dan Undang-Undang itu diatas segalanya. Artinya hukumlah yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak. Bukan hal atau pihak lain, bukan pula seorang Presiden. Perlu juga ditambahkan bahwa selain hukum, maka peran aparat penegak hukum juga menjadi penentu. 
Tanpa harus ingin ikut menilai siapa salah dan benar, karena itu ranah hukum, namun mencermati  kasus Soemarmo dan Misbakhun saja bisa mendorong masyarakat awam untuk berspekulasi. Kasus yang satu dipindah ke Jakarta agar hukum bisa ditegakkan, kasus yang satunya bahkan sudah diputuskan oleh dua lembaga penegak hukum, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta, tapi kemudian malah dibebaskan Mahkamah Agung. Pertanyaan kita berspekulasi, apakah hukumnya yang tidak jelas. Apakah pemahaman hukum Tim hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan sekelompok hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, dinilai tidak cukup baik, sehingga hakim Mahkamah Agung bisa memberikan pemahaman yang berbeda. 
Belum lagi catatan awam tentang kasus dugaan korupsi diDirektorat Lalu Lintas Polri. Bahkan baru untuk menentukan siapa yang paling berhak saja sudah begitu ramai akibat pemberitaan media yang gegap gempita. Ditambah lagi pengadilan didunia media sudah berjalan, walau ada prinsip  praduga tak bersalah dalam sistim hukum kita. Para pihak menggunakan media untuk menyatakan kebenarannya masing-masing. Ramainya mukadimah penanganan ini bukan tidak mungkin malah mengaburkan inti kasusnya. Akibatnya masyarakat awam yang kebanyakan bukan praktisi hukum, namun mendambakan pemberantasan korupsi di tanah air, menjadi pesimis terhadap penegakan hukum korupsi itu sendiri. 
Bahkan ada yang mengusulkan untuk menentukan siapa diantara dua penegak hukum, KPK dan Polri, yang paling berhak menangani kasus tersebut, dengan mengajukan dahulu kepengadilan penegak hukum yang lain yaitu Mahkamah Konstitusi. 
Panjangnya rantai proses penegakan hukum korupsi ini membuktikan bahwa hukum korupsi di negara ini memang masih belum pasti. Ketidak pastian ini bukan saja akan menghambat pemberantasan korupsinya, namun juga bisa melanggar hak hukum seseorang. Panjang dan bertele-telenya proses hukum, sangat merugikan pihak yang menjadi tersangka, walau nantinya terbukti bersalah, apalagi bila akhirnya ternyata tidak terbukti bersalah. 
Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, Mahkamah Agung, KPK, MK dan para pakar hukum sebaiknya segera duduk bersama, sebelum cara diluar hukum menjadi pilihan dibanding hukum yang seharusnya. Tidak bisa hanya dibebankan kepada seorang Presiden, siapapun Presidennya. Karena Presidenpun tidak boleh melanggar hukum, karena dirinya tidak diatas hukum. Jangan tempatkan seorang Presiden RI diatas hukum, karena dia pasti akan bertindak zolim dan semena-mena. Jangan pula biarkan seseorang khilaf berbuat dosa dengan meletakkan dendamnya secara salah kepada orang lain, karena tidak adanya kejelasan penegakan hukum dinegeri ini. 

Mari kita gunakan jembatan emas yang sudah dibangun para founding fathers bangsa ini, dengan cara bersatu, beradab dan berorientasi untuk masa depan bersama. Bukan malah meruntuhkannya dengan menonjolkan keangkuhan demi keangkuhan kita masing-masing. Tuhan hanya akan meridhoi bangsa ini maju bila manusia Indonesia menginginkan dan mau memperjuangkannya sendiri. Dirgahayu tanah airku tercinta, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar