Jumat, 25 Juli 2014

PILPRES HARUS MEMULIAKAN DEMOKRASI


       Catatan, 23 Juli 2014

        Proses Pemilihan Umum tahun 2014 yang dipuncaki oleh Pemilihan Presiden telah berlalu. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan keputusannya. Dalam keputusan yang dibacakan dalam suasana damai namun diwarnai ketegangan itu, Jokowi - Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pasangan yang mendapat suara lebih besar dari pasangan Prabowo - Hatta. Secara legal, saya tidak boleh mengatakan sudah ada pemenang yang pasti. Selain pasangan Prabowo-Hatta tampaknya belum bisa menerima keputusan itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum-pun pernah mengatakan bahwa keputusan KPU bukanlah keputusan mutlak. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memenuhi konstitusi, bahwa yang merasa keberatan atas putusan KPU, masih bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya pasti berharap proses Pemilu dengan puncak Pemilihan Presiden ini bisa segera diputuskan secara kuat berdasarkan konstitusi yang ada. Dengan demikian, perjuangan seluruh komponen bangsa ini untuk menggapai masa depan bisa berjalan terus tanpa ada hambatan, seperti kekosongan kepemerintahan seperti yang akhir-akhir ini sempat dilontarkan pengamat.

Memuliakan Demokrasi

      Dinamika perhitungan suara diruang KPU sebelum diputuskan jumlah pembagian suaranya, sempat terhenti saat saksi pasangan Prabowo-Hatta menyatakan mundur dari keikutsertaannya dalam proses perhitungan tersebut.
Alasan utama dari pasangan Prabowo-Hatta adalah karena mereka punya data yang diyakini kuat atas terjadinya ketidak benaran didalam proses pencoblosan dan perhitungan suara dibeberapa daerah. Karena menurut mereka jumlahnya signifikan, selain mencurigai adanya kecurangan, pasangan ini merasa suara rakyat yang seharusnya didapatkan, banyak yang hilang.
Sebagai orang awam, saya juga belum faham benar, apakah memang seharusnya laporan kepada Bawaslu yang kemudian juga menjadi catatan Bawaslu, harus diselesaikan dahulu oleh KPU sebelum dilakukan perhitungan suara final. Atau seperti yang sering dinyatakan pejabat KPU, kalau ada keberatan, nanti saja diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya kemudian, memang kejelasan atas peran dan tindak lanjut catatan Bawaslu sebagai penanggung jawab pengawasan pemilu. Sejauh mana kewenangan Bawaslu, dan kapan sebenarnya catatan Bawaslu harus ditindak lanjuti.

Indonesia masih akan terus mengadakan Pemilu dimasa depan. Semua hal itu harus terus disempurnakan, sehingga tidak selalu melahirkan silang pendapat yang pasti merugikan bangsa ini, Pemilu ini adalah taruhan dari kredibelitas bangsa, didalam negeri maupun dunia internasional.
Saya dan tentu masyarakat banyak berharap, langkah yang akan dilakukan pasangan Prabowo-Hatta atas penolakannya tersebut tetap dalam koridor konstitusi yang berlaku, dan bermakna bagi penyelenggaraan Pilpres yang lebih baik dimasa depan. Apabila langkah tersebut benar-benar dilakukan pasangan Prabowo-Hatta untuk memuliakan demokrasi, untuk menegakkan keadilan sebagai penghormatan kepada suara rakyat, dan bukan sekedar memperebutkan kekuasaan; maka semua pihak, apakah KPU, MK, termasuk pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sewajarnya memberikan kesempatan dan penghargaan.
Secara khusus, bagi KPU dan MK harus bersedia membuka diri, menerima keberatan dan akhirnya memutuskan seadil-adilnya. Hal itu juga bernilai sebagai pemuliaan kepada makna demokrasi.

Disisi lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla harus juga bersikap bijak. Demi memuliakan demokrasi pula, mereka harus mampu menahan diri, dan sesuai konstitusi bersedia mengikuti seluruh proses yang mungkin saja masih akan diambil oleh KPU maupun Mahkamah Konstitusi.

Kemunduran Harus Dihentikan

    Saya yakin kedua pasangan yang berkompetisi kali ini memiliki idealisme yang sama untuk memajukan bangsanya, termasuk kehidupan demokrasinya. Maka kita tidak perlu berkecil hati atas apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Tentu semua dinamika ini tidak terjadi begitu saja. Dinamika ini tidak berdiri sendiri. Kekhawatiran terhadap kerasnya kompetisi Pilpres kali ini sudah banyak diprediksi banyak pihak, termasuk pernyataan saya beberapa kali diwaktu yang lalu.
Ini sebuah kemunduran. Dengan hanya tampil dua pasangan, persaingan pasti akan sangat keras. Apalagi kedua pasangan ini memiliki pendukung yang sangat aktif, bahkan atraktif.
Pertanyaannya kembali lagi, mengapa Parpol yang jumlahnya masih cukup banyak ini, hanya mampu menampilkan dua pasangan Capres dan Cawapres ? Sudah sedemikian miskinkah kita dengan kader pemimpin? Masih menjadi mazab pentingkah koalisi gendut atau kurus? Sudah sedemikian takutkah Parpol untuk menyusun pemerintahan bila suara partainya di Parlemen tidak gendut? Sudah sedemikian kurang percaya dirikah Parpol terhadap kadernya bila memerintah?
Kalau ketakutan itu yang menjadi alasan utamanya, maka sebaiknya segera dipikirkan untuk melakukan amandemen undang-undang yang mengatur pembagian hak dan kewajiban antara eksekutif dan legeslatif agar menjadi lebih wajar dan baik. Sehingga keadaan sekarang yang janggal ini segera diakhiri. Pemerintah sebagai eksekutif seperti begitu terbelenggu langkahnya oleh parlemen. Padahal Indonesia menganut sistim Presidensiil pula.

Kalau dalam setiap Pilpres kita memiliki minimal tiga pasangan saja, maka selain tidak terlalu keras, head to head, namun lebih penting dari itu, rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Jangan lagi rakyat terpojokkan, harus memilih calon pemimpin yang mungkin tidak sesuai dengan harapannya. Maka saya sering mengatakan, parpol seharusnya mendengarkan dahulu aspirasi rakyat sebelum mengajukan calonnya. Demokrasi ini bukan hanya milik Parpol, namun rakyatlah yang seharusnya paling besar mendapatkan manfaat. Bahkan kemarin kita sempat khawatir apabila pemenang Pilpres kita sekarang ini tidak bisa memenuhi salah satu pasal didalam undang-undang, dan terpaksa harus mengubah pasal undang-undang tersebut melalui Sidang MPR.
Saya hanya bisa mengatakan bahwa semua itu akan berubah, bila Partai Politik yang ada ditanah air ini bersedia memperbaiki dirinya. Jangan sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Bahkan sibuk mencari kekuasaan semata. Namun secara konkrit dan tidak hanya dibibir saja, memikirkan masa depan kehidupan politik dan demokrasi  Indonesia kearah yang lebih matang dan bermartabat.

Siapapun pasangan yang nanti akhirnya dilantik pada bulan Oktober sebagai Presiden dan Wakil Presiden, saya jamin tidak ada jalan yang mulus dan mudah untuk dilalui. Lebih mudah menggantikan kepemimpinan sebuah pemerintahan yang gagal, daripada pemerintahan yang akan digantikan saat ini.

Indonesia saat ini sedang berlari kencang dalam membangun dirinya. Dunia internasional bukan saja semakin memperhitungkan, namun juga mengakui semakin kuatnya bangsa dan negara Indonesia saat ini.
Jangan karena sebuah proses demokrasi rutin seperti Pilpres ini, hanya karena nafsu perebutan kekuasaan semata, kredibelitas Indonesia dengan Garuda Pancasilanya runtuh.

Tanggalkan acungan satu jari dan dua jari, kembalikan lima jari disetiap lenganmu. Kembalikan jiwa kita semua kepada lima sila, Pancasila!   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar