Jumat, 25 Juli 2014

MORAL REMISI MORAL


Catatan, 11 Maret 2012      

    
      Beberapa saat terakhir ini kita sering dihibur oleh sebuah kata menarik yaitu remisi, yang dalam bahasa Inggris ditulis remission. Dalam kamus Inggris–Indonesia kata remission artinya pengampunan atau permaafan. Kalau kalimatnya remission of taxes artinya doleansi pajak, atau mungkin maksudnya pengampunan pajak. Kalau maksud remisi  adalah pengampunan atau permaafan, artinya remisi adalah sebuah perbuatan yang ditujukan kepada seseorang yang pernah berbuat salah seberapapun tingkatnya. Saya membayangkan dikehidupan hari ini, dengan berbagai kemajuan teknologi yang sering disertai dengan tantangan memudarnya rasa saling peduli dan semakin menonjolnya egoisme, masih ada pihak yang masih bersedia memberikan maaf ataupun pengampunan. Alangkah indahnya, so sweet kata anak sekarang. Tentu pemberian maaf tersebut harus tepat waktu, tepat persoalan dan yang pasti harus tepat sasaran kepada siapa harus diberikan. Artinya remisi adalah sebuah niat atau perbuatan baik dengan catatan diberikan dalam kondisi dan sasaran seperti diatas. Agaknya tentang kata niat baik ini perlu diperbincangkan sedikit dikehidupan berbangsa kita hari ini, sebelum kita semakin panjang larut dalam remisi.

Diskursus BBM

      Selain tentang remisi, hari-hari ini perbincangan juga diisi oleh rencana koreksi rencana penyusunan anggaran pembangunan, terutama disebabkan oleh berubahnya asumsi akibat kondisi global yang hampir tidak mungkin dihindari oleh semua Negara, termasuk Indonesia. Dari beberapa  perubahan asumsi, yang paling banyak menjadi sorotan adalah kemungkinan penyesuaian harga BBM. Dengan asumsi harga minyak sebelumnya yang USD90/barrel , hampir pasti harus dikoreksi. Sebab hari-hari ini harga minyak dunia sudah lebih dari USD 110/barrel, dan harga ini masih tidak menentu. Fluktuasi harga ini salah satu penyebabnya terutama terjadi karena perseteruan politik antara Iran dengan Amerika dan Eropa, ditambah dengan Israel. 
Terasa tidak adil, tapi itulah konsekuensi kehidupan global yang tidak bisa dihindari oleh Negara manapun saat ini. Presiden SBY bahkan pernah menyatakan kegelisahan dan protesnya atas ketidak adilan ini kepada Sekjen PBB, terutama pandangannya bahwa segala persoalan antar Negara seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog yang damai. Tidak dengan kekerasan yang dapat berdampak negatif terhadap negara-negara lain yang bahkan tidak terlibat didalam persoalan yang terjadi. Kembali kepada persoalan rencana penyesuaian harga BBM. Kalau alternatif yang akhirnya diputuskan pemerintah bersama DPR nanti adalah menaikkan harga Premium menjadi Rp.6000,-, artinya harga itu kembali ke harga tahun 2008. Karena sampai pada tahun 2008, pemerintah pernah menurunkan harga BBM beberapa kali. Asumsi akibat berbagai perubahan keadaan haruslah disesuaikan, karena anggaran pembangunan haruslah dijiwai sebagai sebuah sarana membangun yang berkelanjutan. 
Artinya pemerintah harus  menyusun rencana anggaran yang menjangkau masa depan. Tidak dengan cara menyusun anggaran dan kebijakan yang hanya bagus saat sebuah rezim pemerintahan berkuasa, namun meninggalkan bom waktu kesulitan bagi pemerintah-pemerintah selanjutnya. 

Masa depan Indonesia tidak hanya tergantung dari pemerintah pimpinan SBY saja. Dengan keyakinan bahwa tidak ada pemerintah sebuah negara yang berniat memiskinkan bangsanya, maka pemerintah apalagi Presidennya pasti akan selalu berikhtiar untuk membangun kesejahteraan, keadilan dan kebaikan bangsanya, walau sering mendapat tantangan bahkan cacian dari lawan politiknya. Walaupun hasil niat baik itu mungkin tidak bisa dinikmatinya sendiri sampai masa jabatannya berakhir. Niat baik memang sulit dilihat kasat mata manusia, namun Tuhan Maha Mengetahui. Jadi seorang pengambil keputusan, apabila tetap dalam iman dan menjalankan amanah rakyat dengan jujur, tidak perlu ragu sedikitpun untuk menentukan kebijakan. Itu pula yang saat ini harus ditunjukkan oleh pemerintah. 
Sekitar bulan Oktober tahun 2005 saat pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, Presiden SBY sebelum menandatangani keputusan itu menceritakan kegundahannya, karena belum mendapatkan penjelasan yang utuh dari para pembantunya tentang konsepsi kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat berekonomi rendah yang hampir pasti paling terdampak. 

SBY mengatakan kepada saya “Kompensasi itu harus diberikan, karena masa muda saya pernah merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi di Pacitan. Saya gundah karena mungkin ada orang lain yang tidak pernah merasakan”

Seperti kata SBY sendiri bahwa dirinya selain memiliki perasaan, tetapi juga punya logika. Kalau seseorang hanya mengandalkan perasaan atau emosinya  saja, maka sering sikapnya menjauh dari logika umum. Itulah yang terjadi saat itu. Sebagai manusia biasa, SBY harus mengelola perasaannya untuk tidak mengalahkan logikanya. Memutuskan anggaran untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat yang paling membutuhkan, adalah realisasi dari pengelolaan perasaan sebagai manusia biasa dan logika sebagai pemimpin Negara. Pengelolaan perasaan dan logika itu pula yang mewarnai keputusan Pemerintah untuk menurunkan beberapa kali harga BBM ditahun 2008. 
Hal itu kita juga lihat hari ini. Dengan berbagai kondisi yang ada, maka logika mengatakan harus ada perubahan, dan salah satunya dimungkinkan terjadinya penyesuaian harga BBM. Sekali lagi logika tadi tentu dilandasi oleh pemahaman bahwa apa yang diputuskan hari ini, akan sangat mempengaruhi perjalan pembangunan dimasa depan. Karena masih ada perasaan diluar logika tadi, maka Presiden memutuskan untuk tetap memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang paling merasakan, dengan menambah anggaran bantuan dan memperluas cakupannya. Walau apabila dicermati dengan hati terbuka, dampak penyesuaian kali ini tampaknya tidak akan seberat yang dirasakan saat penyesuaian harga BBM pada akhir 2005. Mengapa? Bukan hanya karena apabila benar harga BBM Premium disesuaikan kembali Rp.6000,- seperti harga pada tahun 2008. Namun bukankah hari ini kondisi ekonomi kita semakin baik, termasuk tingkat daya beli masyarakat. Kita memang harus sadar bahwa selama ini masyarakat sudah terbiasa dengan membeli BBM dengan harga Rp.4500,-. 
Memang harus ada perencanaan pengeluaran yang baru apabila ada perubahan harga. Membiasakan diri atau menyesuaikan dengan keadaan memang akan selalu terjadi, namun bila keputusan itu untuk kepentingan masa depan ekonomi yang lebih baik, maka insyaAllah transisi membiasakan diri itu tidak berlangsung panjang. Sekali lagi, niat baik memang bukan hal yang mudah. Walau tidak lagi bisa jadi Capres RI 2014, logikanya kalau dituduh mencari citra, SBY bisa saja tidak harus repot menyiapkan koreksi anggaran, menyiapkan anggaran untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, namun cukup diam, walau akan melahirkan kesulitan bagi pemerintah dan Presiden penggantinya nanti.

Moral Remisi

      Salah satu persoalan adalah apabila anggaran subsidi terlalu berlebihan nilainya, yang akan berakibat pada semakin sedikitnya anggaran untuk pembangunan. Keputusan pemerintah dengan masih memberikan subsidi, karena pemahaman adanya kelompok masyarakat yang masih harus dibantu kehidupannya. Apalagi dari APBN saat ini, pemerintah pusat tidak memiliki ruang yang cukup leluasa untuk menggunakannya. 
Atas keputusan politik, 20% dari APBN harus disisihkan untuk Kementerian Pendidikan, lebih dari 30% harus dibagikan ke daerah. Maka dengan terbatasnya bagian yang bisa dikelola, pemerintah pusat berusaha keras untuk meningkatkan besaran APBN. Salah satu sumber penting dari anggaran Negara adalah dari pajak masyarakat, apakah perorangan terlebih lagi dari perusahaan. 
Ekonomi Indonesia saat ini baik, kalau tidak dikatakan sangat baik dibanding dengan Negara-negara lain. Tumbuhnya ekonomi ini pasti juga membawa berkah tambahnya keuntungan perusahaan-perusahan di Indonesia khususnya perusahaan besar. Perusahaan bermodal lebih besar pasti merasakan keuntungan lebih besar pula. Kalau negara kemudian tidak mendapatkan tambahan sumber anggaran untuk membangun kesejahteraan rakyat dari sisi pajak perusahaan, pasti hak rakyat tadi lari keoknum petugas pajak yang dipenjara dan yang saat ini sedang diperiksa penegak hukum. 
Dengan memohon maaf, saya ingin menyebut nama Sdr. Gayus. Kalau Gayus telah menerima vonis pengadilan, artinya kesalahannya terbukti, yaitu membantu pengusaha untuk mengurangi kewajiban pajaknya yang sebenarnya menjadi hak Negara untuk mensejahterakan rakyat. Pertanyaannya, kalau kesalahan Gayus terbukti, apakah bukan berarti kejahatan pengusahanya juga terbukti? Tapi mana mereka? Mari kita tunggu. Vonis Gayus baru turun, teman seprofesinya ditangkap, terus ada satu lagi. Kalau terbukti, berarti pengusahanya banyak juga yang ngemplang pajak. 
Inilah contoh kejahatan koruptor. Mereka pengkhianat bangsa. Anggaran hak rakyat untuk meningkatkan kesejahteraannya, dicolong demi menggendutkan perutnya sendiri. Mereka pelanggar berat hak azasi manusia. Mereka harus dihukum berat. Nah, ini dia. 

Kembali kekawan saya yang bernama remisi. Kalau remisi perlu diberikan kepada koruptor pelanggar hak azasi manusia dengan alasan menghormati hak azasi koruptor, apakah karena koruptor bukan manusia? Setankah mereka?. Para ahli hukum sebaiknya berbicara banyak saat sebuah kasus korupsi sedang disidangkan saja. Namun kalau sudah ada vonis, dan ingin menghormati hukum, seorang terhukum koruptor, tetap saja dia pelanggar hak azasi manusia. Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur DKI yang menunda pajak bagi warteg dan sejenisnya. Ditunda saja sampai para pengusaha kakap pengemplang pajak ditangkap dan melunasi pajaknya. 

Mari kita berlomba berbuat baik, dimulai dengan berniat baik. Kalau pemerintah merencanakan memperbaiki anggaran negara, semata karena ingin pembangunan ini berkelanjutan. Kalau pemerintah memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, semata karena mereka memang membutuhkan. Kalau pemahaman pemerintah terhadap keadaan masyarakat yang terbatas ekonominya itu dinilai sama dengan tidak mau memahami keinginan politisi yang mementingkan dirinya sendiri, sebaiknya pemerintah terus melangkah dengan teguh dan tetap jujur dalam menentukan kebijakan. Disanalah tampak, mana moral sejati dan mana moral remisi.
  



  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar