Jumat, 25 Juli 2014

ORANG JALANAN MASUK ISTANA


Menulis penggal perjalanan hidup, adalah bagian dari usaha mencari alat untuk mawas diri, sekaligus pertanggungjawaban sikap kepada keluarga, sahabat, dan masyarakat.

Atas keyakinan itulah, dengan bantuan sahabat sekaligus penulis, Fenty Effendi, saya berkesempatan mengungkapkan dengan terus terang, penggalan hidup saya khususnya dalam 16 tahun terakhir, sejak era yang katanya baru, yaitu era reformasi. Fenty dengan seksama mendengarkan cerita dari mulut saya sekitar tujuh bulan lebih. Kemudian bersama staf, dia melakukan "investigasi" terhadap berbagai ucapan saya dilapangan, untuk mencari kebenarannya. Sampai akhirnya dia berkesimpulan, bahwa cerita perjalanan hidup saya, yang akhirnya disusun dalam sebuah buku sederhana itu; tepat kalau diberi judul "Orang Jalanan Masuk Istana". Mungkin setelah melakukan penelitian, Fenty menilai bahwa saya memang lebih tepat diberi julukan seperti itu.

Isi buku ini mungkin saja tidak berarti apa-apa bagi orang lain. Namun bagi saya, selain sebagai alat mawas diri, juga sebagai pelepasan beban, setelah sekitar 16 tahun terlilit politik, seperti kata Fenty. Buku ini sengaja saya lepas bertepatan dengan bulan puasa. Bulan penuh ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Saya nilai tepat waktu, selain kesempatan saya untuk pamit kepada para sahabat, setelah sepuluh tahun mengabdi menjadi Staf Khusus Presiden SBY, juga dibulan ampunan ini saya berharap mendapat maaf dari pembaca yang mungkin saja kurang berkenan dengan ke-terusterangan saya.

Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu, dan akan beredar sekitar satu minggu setelah hari Raya Idhul Fitri 1435 H. Para sahabat dapat menemuinya ditoko buku Gramedia, Gunung Agung dan Toga Mas. Semoga buku ini mampu memberi sedikit manfaat bagi sahabat dan masyarakat.


Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1435 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin

PILPRES HARUS MEMULIAKAN DEMOKRASI


       Catatan, 23 Juli 2014

        Proses Pemilihan Umum tahun 2014 yang dipuncaki oleh Pemilihan Presiden telah berlalu. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan keputusannya. Dalam keputusan yang dibacakan dalam suasana damai namun diwarnai ketegangan itu, Jokowi - Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pasangan yang mendapat suara lebih besar dari pasangan Prabowo - Hatta. Secara legal, saya tidak boleh mengatakan sudah ada pemenang yang pasti. Selain pasangan Prabowo-Hatta tampaknya belum bisa menerima keputusan itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum-pun pernah mengatakan bahwa keputusan KPU bukanlah keputusan mutlak. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memenuhi konstitusi, bahwa yang merasa keberatan atas putusan KPU, masih bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya pasti berharap proses Pemilu dengan puncak Pemilihan Presiden ini bisa segera diputuskan secara kuat berdasarkan konstitusi yang ada. Dengan demikian, perjuangan seluruh komponen bangsa ini untuk menggapai masa depan bisa berjalan terus tanpa ada hambatan, seperti kekosongan kepemerintahan seperti yang akhir-akhir ini sempat dilontarkan pengamat.

Memuliakan Demokrasi

      Dinamika perhitungan suara diruang KPU sebelum diputuskan jumlah pembagian suaranya, sempat terhenti saat saksi pasangan Prabowo-Hatta menyatakan mundur dari keikutsertaannya dalam proses perhitungan tersebut.
Alasan utama dari pasangan Prabowo-Hatta adalah karena mereka punya data yang diyakini kuat atas terjadinya ketidak benaran didalam proses pencoblosan dan perhitungan suara dibeberapa daerah. Karena menurut mereka jumlahnya signifikan, selain mencurigai adanya kecurangan, pasangan ini merasa suara rakyat yang seharusnya didapatkan, banyak yang hilang.
Sebagai orang awam, saya juga belum faham benar, apakah memang seharusnya laporan kepada Bawaslu yang kemudian juga menjadi catatan Bawaslu, harus diselesaikan dahulu oleh KPU sebelum dilakukan perhitungan suara final. Atau seperti yang sering dinyatakan pejabat KPU, kalau ada keberatan, nanti saja diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya kemudian, memang kejelasan atas peran dan tindak lanjut catatan Bawaslu sebagai penanggung jawab pengawasan pemilu. Sejauh mana kewenangan Bawaslu, dan kapan sebenarnya catatan Bawaslu harus ditindak lanjuti.

Indonesia masih akan terus mengadakan Pemilu dimasa depan. Semua hal itu harus terus disempurnakan, sehingga tidak selalu melahirkan silang pendapat yang pasti merugikan bangsa ini, Pemilu ini adalah taruhan dari kredibelitas bangsa, didalam negeri maupun dunia internasional.
Saya dan tentu masyarakat banyak berharap, langkah yang akan dilakukan pasangan Prabowo-Hatta atas penolakannya tersebut tetap dalam koridor konstitusi yang berlaku, dan bermakna bagi penyelenggaraan Pilpres yang lebih baik dimasa depan. Apabila langkah tersebut benar-benar dilakukan pasangan Prabowo-Hatta untuk memuliakan demokrasi, untuk menegakkan keadilan sebagai penghormatan kepada suara rakyat, dan bukan sekedar memperebutkan kekuasaan; maka semua pihak, apakah KPU, MK, termasuk pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sewajarnya memberikan kesempatan dan penghargaan.
Secara khusus, bagi KPU dan MK harus bersedia membuka diri, menerima keberatan dan akhirnya memutuskan seadil-adilnya. Hal itu juga bernilai sebagai pemuliaan kepada makna demokrasi.

Disisi lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla harus juga bersikap bijak. Demi memuliakan demokrasi pula, mereka harus mampu menahan diri, dan sesuai konstitusi bersedia mengikuti seluruh proses yang mungkin saja masih akan diambil oleh KPU maupun Mahkamah Konstitusi.

Kemunduran Harus Dihentikan

    Saya yakin kedua pasangan yang berkompetisi kali ini memiliki idealisme yang sama untuk memajukan bangsanya, termasuk kehidupan demokrasinya. Maka kita tidak perlu berkecil hati atas apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Tentu semua dinamika ini tidak terjadi begitu saja. Dinamika ini tidak berdiri sendiri. Kekhawatiran terhadap kerasnya kompetisi Pilpres kali ini sudah banyak diprediksi banyak pihak, termasuk pernyataan saya beberapa kali diwaktu yang lalu.
Ini sebuah kemunduran. Dengan hanya tampil dua pasangan, persaingan pasti akan sangat keras. Apalagi kedua pasangan ini memiliki pendukung yang sangat aktif, bahkan atraktif.
Pertanyaannya kembali lagi, mengapa Parpol yang jumlahnya masih cukup banyak ini, hanya mampu menampilkan dua pasangan Capres dan Cawapres ? Sudah sedemikian miskinkah kita dengan kader pemimpin? Masih menjadi mazab pentingkah koalisi gendut atau kurus? Sudah sedemikian takutkah Parpol untuk menyusun pemerintahan bila suara partainya di Parlemen tidak gendut? Sudah sedemikian kurang percaya dirikah Parpol terhadap kadernya bila memerintah?
Kalau ketakutan itu yang menjadi alasan utamanya, maka sebaiknya segera dipikirkan untuk melakukan amandemen undang-undang yang mengatur pembagian hak dan kewajiban antara eksekutif dan legeslatif agar menjadi lebih wajar dan baik. Sehingga keadaan sekarang yang janggal ini segera diakhiri. Pemerintah sebagai eksekutif seperti begitu terbelenggu langkahnya oleh parlemen. Padahal Indonesia menganut sistim Presidensiil pula.

Kalau dalam setiap Pilpres kita memiliki minimal tiga pasangan saja, maka selain tidak terlalu keras, head to head, namun lebih penting dari itu, rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Jangan lagi rakyat terpojokkan, harus memilih calon pemimpin yang mungkin tidak sesuai dengan harapannya. Maka saya sering mengatakan, parpol seharusnya mendengarkan dahulu aspirasi rakyat sebelum mengajukan calonnya. Demokrasi ini bukan hanya milik Parpol, namun rakyatlah yang seharusnya paling besar mendapatkan manfaat. Bahkan kemarin kita sempat khawatir apabila pemenang Pilpres kita sekarang ini tidak bisa memenuhi salah satu pasal didalam undang-undang, dan terpaksa harus mengubah pasal undang-undang tersebut melalui Sidang MPR.
Saya hanya bisa mengatakan bahwa semua itu akan berubah, bila Partai Politik yang ada ditanah air ini bersedia memperbaiki dirinya. Jangan sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Bahkan sibuk mencari kekuasaan semata. Namun secara konkrit dan tidak hanya dibibir saja, memikirkan masa depan kehidupan politik dan demokrasi  Indonesia kearah yang lebih matang dan bermartabat.

Siapapun pasangan yang nanti akhirnya dilantik pada bulan Oktober sebagai Presiden dan Wakil Presiden, saya jamin tidak ada jalan yang mulus dan mudah untuk dilalui. Lebih mudah menggantikan kepemimpinan sebuah pemerintahan yang gagal, daripada pemerintahan yang akan digantikan saat ini.

Indonesia saat ini sedang berlari kencang dalam membangun dirinya. Dunia internasional bukan saja semakin memperhitungkan, namun juga mengakui semakin kuatnya bangsa dan negara Indonesia saat ini.
Jangan karena sebuah proses demokrasi rutin seperti Pilpres ini, hanya karena nafsu perebutan kekuasaan semata, kredibelitas Indonesia dengan Garuda Pancasilanya runtuh.

Tanggalkan acungan satu jari dan dua jari, kembalikan lima jari disetiap lenganmu. Kembalikan jiwa kita semua kepada lima sila, Pancasila!   

MORAL REMISI MORAL


Catatan, 11 Maret 2012      

    
      Beberapa saat terakhir ini kita sering dihibur oleh sebuah kata menarik yaitu remisi, yang dalam bahasa Inggris ditulis remission. Dalam kamus Inggris–Indonesia kata remission artinya pengampunan atau permaafan. Kalau kalimatnya remission of taxes artinya doleansi pajak, atau mungkin maksudnya pengampunan pajak. Kalau maksud remisi  adalah pengampunan atau permaafan, artinya remisi adalah sebuah perbuatan yang ditujukan kepada seseorang yang pernah berbuat salah seberapapun tingkatnya. Saya membayangkan dikehidupan hari ini, dengan berbagai kemajuan teknologi yang sering disertai dengan tantangan memudarnya rasa saling peduli dan semakin menonjolnya egoisme, masih ada pihak yang masih bersedia memberikan maaf ataupun pengampunan. Alangkah indahnya, so sweet kata anak sekarang. Tentu pemberian maaf tersebut harus tepat waktu, tepat persoalan dan yang pasti harus tepat sasaran kepada siapa harus diberikan. Artinya remisi adalah sebuah niat atau perbuatan baik dengan catatan diberikan dalam kondisi dan sasaran seperti diatas. Agaknya tentang kata niat baik ini perlu diperbincangkan sedikit dikehidupan berbangsa kita hari ini, sebelum kita semakin panjang larut dalam remisi.

Diskursus BBM

      Selain tentang remisi, hari-hari ini perbincangan juga diisi oleh rencana koreksi rencana penyusunan anggaran pembangunan, terutama disebabkan oleh berubahnya asumsi akibat kondisi global yang hampir tidak mungkin dihindari oleh semua Negara, termasuk Indonesia. Dari beberapa  perubahan asumsi, yang paling banyak menjadi sorotan adalah kemungkinan penyesuaian harga BBM. Dengan asumsi harga minyak sebelumnya yang USD90/barrel , hampir pasti harus dikoreksi. Sebab hari-hari ini harga minyak dunia sudah lebih dari USD 110/barrel, dan harga ini masih tidak menentu. Fluktuasi harga ini salah satu penyebabnya terutama terjadi karena perseteruan politik antara Iran dengan Amerika dan Eropa, ditambah dengan Israel. 
Terasa tidak adil, tapi itulah konsekuensi kehidupan global yang tidak bisa dihindari oleh Negara manapun saat ini. Presiden SBY bahkan pernah menyatakan kegelisahan dan protesnya atas ketidak adilan ini kepada Sekjen PBB, terutama pandangannya bahwa segala persoalan antar Negara seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog yang damai. Tidak dengan kekerasan yang dapat berdampak negatif terhadap negara-negara lain yang bahkan tidak terlibat didalam persoalan yang terjadi. Kembali kepada persoalan rencana penyesuaian harga BBM. Kalau alternatif yang akhirnya diputuskan pemerintah bersama DPR nanti adalah menaikkan harga Premium menjadi Rp.6000,-, artinya harga itu kembali ke harga tahun 2008. Karena sampai pada tahun 2008, pemerintah pernah menurunkan harga BBM beberapa kali. Asumsi akibat berbagai perubahan keadaan haruslah disesuaikan, karena anggaran pembangunan haruslah dijiwai sebagai sebuah sarana membangun yang berkelanjutan. 
Artinya pemerintah harus  menyusun rencana anggaran yang menjangkau masa depan. Tidak dengan cara menyusun anggaran dan kebijakan yang hanya bagus saat sebuah rezim pemerintahan berkuasa, namun meninggalkan bom waktu kesulitan bagi pemerintah-pemerintah selanjutnya. 

Masa depan Indonesia tidak hanya tergantung dari pemerintah pimpinan SBY saja. Dengan keyakinan bahwa tidak ada pemerintah sebuah negara yang berniat memiskinkan bangsanya, maka pemerintah apalagi Presidennya pasti akan selalu berikhtiar untuk membangun kesejahteraan, keadilan dan kebaikan bangsanya, walau sering mendapat tantangan bahkan cacian dari lawan politiknya. Walaupun hasil niat baik itu mungkin tidak bisa dinikmatinya sendiri sampai masa jabatannya berakhir. Niat baik memang sulit dilihat kasat mata manusia, namun Tuhan Maha Mengetahui. Jadi seorang pengambil keputusan, apabila tetap dalam iman dan menjalankan amanah rakyat dengan jujur, tidak perlu ragu sedikitpun untuk menentukan kebijakan. Itu pula yang saat ini harus ditunjukkan oleh pemerintah. 
Sekitar bulan Oktober tahun 2005 saat pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, Presiden SBY sebelum menandatangani keputusan itu menceritakan kegundahannya, karena belum mendapatkan penjelasan yang utuh dari para pembantunya tentang konsepsi kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat berekonomi rendah yang hampir pasti paling terdampak. 

SBY mengatakan kepada saya “Kompensasi itu harus diberikan, karena masa muda saya pernah merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi di Pacitan. Saya gundah karena mungkin ada orang lain yang tidak pernah merasakan”

Seperti kata SBY sendiri bahwa dirinya selain memiliki perasaan, tetapi juga punya logika. Kalau seseorang hanya mengandalkan perasaan atau emosinya  saja, maka sering sikapnya menjauh dari logika umum. Itulah yang terjadi saat itu. Sebagai manusia biasa, SBY harus mengelola perasaannya untuk tidak mengalahkan logikanya. Memutuskan anggaran untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat yang paling membutuhkan, adalah realisasi dari pengelolaan perasaan sebagai manusia biasa dan logika sebagai pemimpin Negara. Pengelolaan perasaan dan logika itu pula yang mewarnai keputusan Pemerintah untuk menurunkan beberapa kali harga BBM ditahun 2008. 
Hal itu kita juga lihat hari ini. Dengan berbagai kondisi yang ada, maka logika mengatakan harus ada perubahan, dan salah satunya dimungkinkan terjadinya penyesuaian harga BBM. Sekali lagi logika tadi tentu dilandasi oleh pemahaman bahwa apa yang diputuskan hari ini, akan sangat mempengaruhi perjalan pembangunan dimasa depan. Karena masih ada perasaan diluar logika tadi, maka Presiden memutuskan untuk tetap memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang paling merasakan, dengan menambah anggaran bantuan dan memperluas cakupannya. Walau apabila dicermati dengan hati terbuka, dampak penyesuaian kali ini tampaknya tidak akan seberat yang dirasakan saat penyesuaian harga BBM pada akhir 2005. Mengapa? Bukan hanya karena apabila benar harga BBM Premium disesuaikan kembali Rp.6000,- seperti harga pada tahun 2008. Namun bukankah hari ini kondisi ekonomi kita semakin baik, termasuk tingkat daya beli masyarakat. Kita memang harus sadar bahwa selama ini masyarakat sudah terbiasa dengan membeli BBM dengan harga Rp.4500,-. 
Memang harus ada perencanaan pengeluaran yang baru apabila ada perubahan harga. Membiasakan diri atau menyesuaikan dengan keadaan memang akan selalu terjadi, namun bila keputusan itu untuk kepentingan masa depan ekonomi yang lebih baik, maka insyaAllah transisi membiasakan diri itu tidak berlangsung panjang. Sekali lagi, niat baik memang bukan hal yang mudah. Walau tidak lagi bisa jadi Capres RI 2014, logikanya kalau dituduh mencari citra, SBY bisa saja tidak harus repot menyiapkan koreksi anggaran, menyiapkan anggaran untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, namun cukup diam, walau akan melahirkan kesulitan bagi pemerintah dan Presiden penggantinya nanti.

Moral Remisi

      Salah satu persoalan adalah apabila anggaran subsidi terlalu berlebihan nilainya, yang akan berakibat pada semakin sedikitnya anggaran untuk pembangunan. Keputusan pemerintah dengan masih memberikan subsidi, karena pemahaman adanya kelompok masyarakat yang masih harus dibantu kehidupannya. Apalagi dari APBN saat ini, pemerintah pusat tidak memiliki ruang yang cukup leluasa untuk menggunakannya. 
Atas keputusan politik, 20% dari APBN harus disisihkan untuk Kementerian Pendidikan, lebih dari 30% harus dibagikan ke daerah. Maka dengan terbatasnya bagian yang bisa dikelola, pemerintah pusat berusaha keras untuk meningkatkan besaran APBN. Salah satu sumber penting dari anggaran Negara adalah dari pajak masyarakat, apakah perorangan terlebih lagi dari perusahaan. 
Ekonomi Indonesia saat ini baik, kalau tidak dikatakan sangat baik dibanding dengan Negara-negara lain. Tumbuhnya ekonomi ini pasti juga membawa berkah tambahnya keuntungan perusahaan-perusahan di Indonesia khususnya perusahaan besar. Perusahaan bermodal lebih besar pasti merasakan keuntungan lebih besar pula. Kalau negara kemudian tidak mendapatkan tambahan sumber anggaran untuk membangun kesejahteraan rakyat dari sisi pajak perusahaan, pasti hak rakyat tadi lari keoknum petugas pajak yang dipenjara dan yang saat ini sedang diperiksa penegak hukum. 
Dengan memohon maaf, saya ingin menyebut nama Sdr. Gayus. Kalau Gayus telah menerima vonis pengadilan, artinya kesalahannya terbukti, yaitu membantu pengusaha untuk mengurangi kewajiban pajaknya yang sebenarnya menjadi hak Negara untuk mensejahterakan rakyat. Pertanyaannya, kalau kesalahan Gayus terbukti, apakah bukan berarti kejahatan pengusahanya juga terbukti? Tapi mana mereka? Mari kita tunggu. Vonis Gayus baru turun, teman seprofesinya ditangkap, terus ada satu lagi. Kalau terbukti, berarti pengusahanya banyak juga yang ngemplang pajak. 
Inilah contoh kejahatan koruptor. Mereka pengkhianat bangsa. Anggaran hak rakyat untuk meningkatkan kesejahteraannya, dicolong demi menggendutkan perutnya sendiri. Mereka pelanggar berat hak azasi manusia. Mereka harus dihukum berat. Nah, ini dia. 

Kembali kekawan saya yang bernama remisi. Kalau remisi perlu diberikan kepada koruptor pelanggar hak azasi manusia dengan alasan menghormati hak azasi koruptor, apakah karena koruptor bukan manusia? Setankah mereka?. Para ahli hukum sebaiknya berbicara banyak saat sebuah kasus korupsi sedang disidangkan saja. Namun kalau sudah ada vonis, dan ingin menghormati hukum, seorang terhukum koruptor, tetap saja dia pelanggar hak azasi manusia. Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur DKI yang menunda pajak bagi warteg dan sejenisnya. Ditunda saja sampai para pengusaha kakap pengemplang pajak ditangkap dan melunasi pajaknya. 

Mari kita berlomba berbuat baik, dimulai dengan berniat baik. Kalau pemerintah merencanakan memperbaiki anggaran negara, semata karena ingin pembangunan ini berkelanjutan. Kalau pemerintah memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, semata karena mereka memang membutuhkan. Kalau pemahaman pemerintah terhadap keadaan masyarakat yang terbatas ekonominya itu dinilai sama dengan tidak mau memahami keinginan politisi yang mementingkan dirinya sendiri, sebaiknya pemerintah terus melangkah dengan teguh dan tetap jujur dalam menentukan kebijakan. Disanalah tampak, mana moral sejati dan mana moral remisi.
  



  


AWAS, KEKUASAAN ITU MENGGODA


Catatan, 6 Maret 2014

Lord Acton berkata, Power tends corrupt, Absolute power corrupts absolutely


Kekuasaan yang berlebihan cenderung korup, kira-kira demikian inti maksud perkataan diatas. Topik ini menjadi salah satu judul bab dalam buku Selalu Ada Pilihan, yang ditulis SBY.

Catatan didalam buku yang dibuat SBY tentang hal ini sungguh penting untuk direnungkan siapa saja yang akan atau sedang memiliki kekuasaan. Demikian pula bagi masyarakat, agar dapat melihat dengan obyektif mana pemimpin yang suka menyelewengkan kekuasaan yang digenggamnya. Dalam bab buku ini tampak jelas bagaimana perasaan SBY saat ada pihak yang “menggoda” dirinya agar melanggar konstitusi atau bahkan mengubahnya agar bisa maju lagi sebagai Presiden ditahun 2014. Atau bagaimana dengan perasaannya untuk mempertahankan sikap yang telah ditetapkan, tentang tidak akan majunya Ibu Ani Yudhoyono sebagai Calon Presiden. Sampai kepada pemahamannya, bahwa turun dari kursi kekuasaanpun seseorang harus menyiapkan dirinya dengan bijak, seperti gambarannya ketika turun dari pendakiannya kepuncak gunung Lawu yang tidak mudah.

Kekuasaan yang sejatinya membawa kebaikan bagi kaumnya, memang sering mendapat godaan, sehingga pemegangnya bisa lupa kepada sumpah yang pernah diucapkannya.
Kekuasaan yang berisi tugas dan tanggungjawab, akan berubah menjadi sekedar sebuah kenikmatan, apabila godaan itu berhasil menguasainya. Bahkan dalam keseharian, kekuasaan itu sendiri sering disalahgunakan bukan oleh pemegang kekuasaan, namun oleh lingkungan disekitar pemegang kekuasaan itu sendiri. Penyalah gunaan kekuasaan tidak ada niat lain kecuali memperjuangkan kepentingan oknum atau kelompoknya sendiri. Kekuasaan yang sudah tercemar seperti ini, tidak mungkin mampu menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya untuk mensejahterakan umat atau bangsa yang dipimpinnya. Contoh godaan penggunaan kekuasaan ini sudah terlalu banyak kita lihat sehari-hari. Oleh karenanya tepat kalau SBY mengangkat topik ini didalam bukunya, bukan saja untuk mengingatkan secara khusus kepada siapapun yang nanti memiliki kekuasaan, namun juga lingkungan disekitar kekuasaan itu serta masyarakat secara keseluruhan.

Apa Pengaruh Pemilu

      Sejak awal bulan lalu saya sempat berkeliling ke 11 (sebelas) kabupaten dan kota, antara Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Dua hal yang utama ingin saya rasakan selama perjalanan itu. Pertama, bagaimana keseharian masyarakat ditengah suasana proses Pemilu yang saatnya akan jatuh tidak lama lagi. Kedua, bagaimana secara umum pandangan masyarakat terhadap para politisi yang akan mengikuti kompetisi didalam Pemilu 2014 ini.
Sejak mendarat di Bandar udara Adisumarmo Solo, berkendara mobil, saya menyusuri jalan ke Sragen. Sebelum bertemu dengan beberapa komponen masyarakat di sebuah kecamatan di Sragen, terasakan setiap berbincang dengan masyarakat yang saya temui, mereka tidak banyak memberikan komentar terhadap semakin dekatnya perhelatan pesta demokrasi Pemilu 2014. 
Disatu sisi menenangkan karena keseharian mereka tampak tidak terganggu, namun disisi lain terlintas kekhawatiran saya atas menurunnya semangat keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi dalam Pemilu nanti. Di Sragen saya mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kontribusinya didalam proses demokrasi yang sangat menentukan masa depan kehidupan politik tanah air. Dari Sragen, perjalanan berlanjut ke Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Surabaya, Malang, Blitar. Setelah dua hari berada dikegiatan meletusnya Gunung Kelud, dan dengan dibukanya kembali bandara Juanda Surabaya, saya kemudian menyeberang ke Bali, diantaranya Karangasem, Gianyar dan Denpasar. Dari propinsi Bali, saya kembali ke Jakarta, dan saat tulisan ini diterbitkan, saya kembali berkeliling di Jawa Tengah, antara lain Jogya, Magelang, Semarang dan Solo.

Dari perjalanan sebelumnya banyak kesimpulan yang saya dapatkan, yang sebagian sudah saya utarakan dimedia cetak ataupun televisi, seperti di JTV Madiun dan TVRI Bali. Kesimpulan pertama adalah bahwa keseharian masyarakat secara umum tidak terganggu oleh berbagai dinamika politik yang terjadi diantara gaduhnya persaingan antar politisi yang akan berkompetisi. Hal yang pertama ini sungguh menenangkan hati kita semua. Namun sebaliknya, tidak jarang saya mendengar jawaban masyarakat yang berat untuk didengar seperti, “Terserah saja mas, siapa saja Calegnya. Kami cari makan buat keluarga saja, siapapun tidak ada pengaruhnya”. Disinilah letak tanggungjawab politisi dipertaruhkan.

Politisi Harus Bertanggungjawab

     Pemilu pada dasarnya dilakukan agar negara bangsa ini semakin hari semakin baik. Dengan Pemilu tentu kita semua berharap memiliki wakil-wakil rakyat di DPR juga di DPRD yang semakin baik, semakin memahami dan mampu menjadi tempat aspirasi rakyat yang benar. Demikian pula dalam Pemilu Presiden nanti. Sewajarnya bangsa ini berharap memiliki Pemerintahan dan Presiden yang setiap masa semakin baik dari sebelumnya. Kalau semua itu dirasa tidak bisa dicapai, maka Pemilu akan sangat sia-sia untuk diadakan. Bukan saja menghabiskan anggaran negara yang notabene uang rakyat cukup besar, belum lagi tersedotnya energi masyarakat dalam ikut mengisi proses demokrasi itu. Sementara hasil yang diharapkan, tidak bisa diraih. 
Memang penyelenggara Pemilu telah ditetapkan yaitu Komisi Pemilihan Umum. Namun kunci keberhasilan utama Pemilu terletak kepada apa yang dihasilkan oleh Pemilu itu sendiri. Hasil yang diharapkan, sekali lagi adalah penyelenggara negara yang harus semakin baik. Dan mereka semua adalah para politisi negeri ini. Semangat rakyat para pemilih untuk memilih para calon penyelenggara negara apakah Anggota DPR ataupun Presiden, sangat bergantung kepada kualitas para calon sendiri. Apabila rakyat merasa memiliki harapan akan semakin baiknya kehidupan mereka bila memilih seorang politisi yang dinilai tepat, maka rakyat akan antusias datang ketempat-tempat bilik suara. Sebaliknya apabila sejak dini mereka tidak melihat calon yang mereka percayai, atau bahkan membenci karena sikap kesehariannya yang buruk, maka sulit mengharapkan kontribusi rakyat demi suksesnya pesta demokrasi nanti. 

Kembali kepada catatan SBY tentang menggodanya kekuasaan, sungguh mewarnai pendapat masyarakat yang saya temui hampir disetiap daerah. Para caleg yang mayoritas berasal dari para anggota DPR atau DPRD hasil Pemilu lalu, ataupun pejabat eksekutif seperti Gubernur, Bupati, Walikota, ataupun Menteri, masih saja menjadi sorotan masyarakat karena tudingan penyalah gunaan kewenangan kekuasaan yang mereka miliki. Adanya oknum anggota DPR yang memaksakan kehendaknya agar anggaran negara lebih dikucurkan didaerah pemilihannya. Adanya keluhan masyarakat terhadap oknum Kepala Daerah yang dinilai menggunakan anggaran daerah untuk kepentingan politiknya, seperti pengangkatan pegawai kontrak yang tidak sesuai aturan, sehingga dicurigai untuk mendapatkan dukungan dari hal itu. Ditambah lagi dengan ketidak bijakan para Caleg yang memasang atribut sembarangan ditempat-tempat yang mengganggu kegiatan masyarakat. Sikap para politisi yang seperti inilah yang bukan saja melahirkan antipati masyarakat, namun lebih jauh lagi bisa menggagalkan tujuan mulia diadakannya Pemilu setiap lima tahun sekali tersebut. 

Tentu sikap negatif seperti catatan saya diatas bukan cerminan dari keseluruhan politisi yang akan berkompetisi nanti. Harapan terhadap lahirnya politisi yang semakin baik dinegeri ini harus terus kita pupuk dengan optimis. Dalam pernyataan dibeberapa media selama perjalanan, saya juga tekankan hal penting yang lain. Yaitu bahwa Pemilu adalah kompetisi antara para politisi. Jangan politisi bersikap salah sehingga melahirkan kompetisi diantara masyarakat. Masyarakat yang dipengaruhi secara negatif, akan menjadi pendukung fanatik yang irasional, sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi pertikaian horizontal antar masyarakat yang sungguh harus dihindari. Politisi boleh gencar menawarkan kapabelitas dirinya, namun tidak dengan cara dan sikap yang mengadu diantara rakyat pendukung.

Pada tanggal 3 Maret yang lalu didepan sebuah pertemuan dengan para Staf, SBY kembali menegaskan sikap, yang tidak salah bila diikuti oleh siapapun atau partai apapun yang akan terjun kesebuah kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini. SBY mengatakan : “Dalam kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini, saya akan berjuang sekuat tenaga untuk menang. Namun saya tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kepatutan dan konstitusi yang berlaku, hanya untuk menggapai kemenangan. Apalagi dengan menggunakan kekuasaan yang sedang saya miliki seperti sekarang. Karena walau seberat apapun, saya tetap ingin menjadi bagian dari siapapun yang memiliki idealisme untuk membangun Partai Politik dan kehidupan Politik Indonesia yang bersih dan lebih baik dimasa depan”.

Kesimpulan kedua saya, ternyata kekuasaan memang sungguh menggoda. Jawabannya, terpulang kepada para politisi dan para calon penyelenggara negara ini hasil Pemilu nanti. Dan itu tinggal beberapa hari lagi. Semoga terhayati.

MENCINTAI INDONESIA DENGAN HATI


Catatan, 19 Januari 2014

INDONESIA PUSAKA
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

     Ismail Marzuki menggugah hati. Lirik lagu yang disusun dari lubuk hatinya yang paling dalam, lubuk hati seorang warga negara yang sangat mencintai tanah airnya. Lirik lagu cinta terhadap tanah air yang telah memberinya kesempatan untuk hidup bersama keluarga dan sesama warga bangsa.

Dari perasaan dan tangan seorang budayawan, penyair ataupun penggugah lirik lagu, sering lahir ungkapan kalbu atas segala sesuatu. Ungkapan hati yang murni tanpa terbelenggu oleh nafsu dan kepentingan semu.
Indonesia adalah tempat kita dilahirkan, tempat kita didewasakan, tempat kita berjuang agar tanggungjawab hidup tertunaikan, dan tempat dimana kita semua ingin terdiam saat dipanggil Tuhan. Indonesia adalah pusaka, pelindung hidup seluruh warga bangsa. Duka dan bahagia adalah dinamika yang rasanya tak akan meruntuhkan semangat jiwa, bila dilalui dirumah bersama, Indonesia. Bukanlah sesuatu yang berlebihan apabila kita harus membalas semua yang diberikan tanah air Indonesia, dengan persatuan, persaudaraan dan rasa cinta sesama anak bangsa. Hanya dengan persatuan dan cinta itulah bangsa ini mampu menjaga dan memelihara tanah air, agar tetap lestari bagi anak cucu dan seluruh penerus nanti. Indonesia akan terus ada, terus hidup dan lestari; dan hanya akan hancur, mati dan tak berarti lagi, bila masyarakat bangsa ini sendiri tak mampu menjaga dan mencintai, atau kuasa Tuhan yang mengakhiri seluruh kehidupan di bumi.

Selama Indonesia belum mati, maka dinamika kehidupan akan terus silih berganti. Disetiap kemajuan peradaban kehidupan, selalu diikuti oleh tantangan. Karena tantangan itulah yang memacu bangsa untuk selalu bekerja, menyisingkan seluruh daya untuk menjaga masa depan kehidupan. Tak ada ruang untuk kalah, bila bangsa ini bersatu, bertekad bulat melakukan hal yang saling membawa manfaat serta tabu untuk melakukan sesuatu yang tidak perlu.
Tantangan kehidupan sebuah bangsa bisa datang dari berbagai faktor. Apakah proses rutin sebagai kewajaran dari sebuah perjalanan pembangunan bangsa, seperti tantangan pada kondisi ekonomi, sosial ataupun politik didalam negeri. Tantangan diatas bisa pula datang dari kondisi di luar negeri. Bisa pula tantangan datang dari sesuatu yang diluar kuasa manusia, seperti bencana alam, perubahan iklim ekstrim dan sejenisnya.      
Semua tantangan itu tidak mungkin dihindari, selain harus dihadapi. Kemampuan untuk menghadapi tantangan inilah yang sangat bergantung kepada kekuatan ikatan keluarga besar bangsa Indonesia. Sekecil apapun faktor yang menyebabkan melemahnya ikatan persatuan itu, akan sangat berpengaruh kepada kemampuan menghadapai berbagai tantangan yang datang. Kata-kata bijak mengatakan, sebuah bangsa tidak akan berubah, selain bangsa itu sendiri yang berkehendak merubahnya. Tentu maksud kata bijak diatas sebuah bangsa bukanlah satu dua atau segelintir anak bangsa saja, namun bangsa sebagai sebuah keluarga besar.

Pelajaran Dari Proses Politik

     Sesaat sebelum Komisi Pemilihan Umum memberikan keputusan-pun atas jadwal agenda proses Pemilihan Umum 2014, seluruh politisi dan Partai Politiknya telah melakukan berbagai kegiatan dengan cara, strategi dan gayanya masing-masing. Walau dengan gaya yang berbeda, sebenarnya tujuan mereka sama, yaitu mendapat perhatian dari rakyat. Walau mereka harus sadar bahwa mendapatkan perhatian, belum tentu mendapat suara dari rakyat. Karena rakyat bukanlah pihak yang ingin ikut berkompetisi, maka rakyat lebih mudah melihat siapa sebenarnya yang mereka nilai mampu menjadi tempat tepat aspirasi mereka. Sedangkan para politisi yang akan berkompetisi, cenderung tampil bagai hendak perang. Mengasah pedang, mencari kelemahan lawan, kalau bisa lawan dibunuh sebelum ke medan laga. Sikap ingin saling menjatuhkan lebih sering ditunjukkan, dibanding konsep pemikiran untuk membangun bangsa. Mereka sering lupa bahwa kalaupun mereka sudah duduk dilembaga negara apapun, membangun Indonesia tidak akan bisa mereka lakukan sendiri. Mereka akan  menjadi boneka lucu, bila berkeyakinan bahwa pikirannya sendirilah yang terbenar dan paling tepat untuk digunakan sebagai kebijakan pembangunan. Padahal didalam kehidupanpun, manusia disebutkan sebagai mahluk sosial. Mahluk yang tidak terbiasa hidup sendiri tanpa sesama, mahluk yang perlu berinteraksi.
Semangat berkompetisi yang berlebihan dan menyimpang menjadi ajang bermusuhan, sangatlah melemahkan tali persaudaraan bangsa, bahkan bisa menghancurkannya.
Hari-hari ini dengan perasaan prihatin, kita sering melihat hal itu. Semakin mendekati hari pelaksanaan pesta demokrasi 2014, semakin sering kita saksikan para politisi bertindak atas kebenarannya sendiri. Mereka tampak lebih cinta kepada dirinya sendiri. Mereka seperti tidak peduli apakah karena polah nya, Indonesia sebenarnya sedang mereka sakiti. Caci maki, saling mencela yang dipertunjukan para politisi seperti ini, tidak jarang menimbulkan instabilitas diberbagai bidang, seperti kerukunan sosial, gejolak ekonomi dan pasti memanasnya suhu politik. Rakyat yang hanya ingin hidup layak dan damai dinegaranya sendiri Indonesia, tragisnya harus ikut merasakan kesulitannya. Bila kondisi ini terus berlangsung apalagi memburuk, dan karena dunia saat ini seolah tak lagi berbatas, maka negara lain akan melihat dan menilai Indonesia sebagai negara yang bermasalah, negara yang tidak mampu mengatur rumah sendiri. Kalau cinta Indonesia, tegakah kita mendengar dan melihat itu semua.

Pelajaran Dari Bencana

       Semua faham benar bahwa Indonesia termasuk negara yang rawan bencana. Selain sebagai negara tropis, Indonesia dikatakan berada di belahan Ring Of Fire. Hujan, angin, banjir, tsunami, gempa dan meletusnya gunung berapi, akan menjadi tantangan yang bisa terjadi kapan saja. Tidak semua negara didunia ini berkondisi seperti Indonesia. Lalu apakah kenyataan itu kita akan jadikan alasan untuk menyerah dan memilih pindah kenegara lain dengan dalih hak azasi. Atau kita syukuri sebagai hadiah Tuhan agar kita selalu bekerja keras dan beribadah. Karena kita sebagai umat beragama yakin, bahwa Tuhan tidak akan menguji manusia dengan bentuk ujian yang tidak mampu diatasi umatnya. Semakin bangsa ini diuji, semakin kuat pula bangsa ini mengatasi.
Saat ini kita juga sedang diuji dengan terjadinya bencana diberbagai daerah. Meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang bekepanjangan. Banjir di Jakarta, Menado dan diberbagai daerah lainnya. Semua bencana yang terjadi hari ini sebenarnya bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Bencana yang terjadi hari ini semuanya pernah dialami Indonesia. Sayangnya diluar jenis bencana yang terjadi, ada hal lain yang juga bukan hal baru: yaitu debat kusir dan saling menyalahkan.

Disaat para pencela berkata bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa, bagaimana dengan Anggota Polisi yang setiap hari menggigil basah dijalanan dan ditempat bencana. Bagaimana ribuan anggota TNI diperintahkan untuk turun langsung kelapangan membantu para korban. Bagaimana semua jajaran aparat Badan Nasional Penanggulangan Bencana dengan Tagana-nya kurang tidur untuk mengatur kelancaran bantuan yang terjadi didaerah yang saling berjauhan. Bagaimana puluhan petugas Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, PVMBG yang setiap detik menunggu dan mengawasi perilaku gunung berapi Sinabung yang sedang meletus. Mereka bekerja karena tugas negara, sebagai bagian dari pemerintah, mereka pengabdi masyarakat karena mereka mencintai Indonesia. Presiden dan semua Kepala Pemerintahan Daerah yang terkena, hampir tidak pernah berhenti saling lapor untuk mengantisipasi kendala yang bisa terjadi disetiap.
Bencana ini sekarang sudah terjadi. Hal utama yang harus dilakukan adalah mengurangi meluasnya dampak bencana dan menyelamatkan sebanyak mungkin masyarakat yang menjadi korban. Langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan mawas diri, apakah ada faktor kelalaian manusia yang membuat bencana itu terjadi. Bahkan bukan tidak mungkin juga karena kesalahan kebijakan pemerintah disemua tingkatan.

Alangkah mudaratnya, disaat terjadi bencana yang sedang menyakiti Indonesia dan masyarakatnya, ada pihak yang menggunakan derita itu untuk saling mencaci maki, salah menyalahkan, seolah dirinyalah pihak yang paling mengerti dan benar.  Saya sering mengatakan, sikap yang tepat dalam menghadapi bencana adalah, turun langsung membantu. Kalau tidak, kirim saja bantuan. Kalau masih tidak bisa, doakan para korban saja. Kalau semua itu tidak bisa dilakukan, maka diamlah dirumah, jangan ikut bicara apalagi mencela kesana kemari.
Bencana alam juga mudah berubah sewaktu-waktu. Oleh karenanya menyiapkan bantuan bukanlah hal yang mudah dan melakukannyapun tidak bisa business as usual, biasa-biasa saja. Hanya orang terlatih seperti Polisi, TNI, PMI atau anggota pecinta alam yang biasa memutuskan tindakan dengan cepat. Hampir pasti kekurang sempurnaan akan terjadi disana-sini, karena memang hidup tidak ada kesempurnaan. Namun usaha perbaikan haruslah terus dilakukan dengan kerja keras.

Apa yang terjadi hari ini bukan tidak mungkin akan terjadi kembali diwaktu yang akan datang. Semua mengerti bahwa tidak mudah menanggulanginya. Semua tahu bahwa kedatangan bencana bisa kapan saja. Semua faham harus banyak dilakukan oleh manusia untuk mengurangi meluasnya bencana.
Namun memanfaatkan bencana untuk kampanye palsu, lahan ungkapkan kebencian dan hal lain yang sungguh tak bermanfaat bagi jalan keluar, adalah sebuah perbuatan picik. Perbuatan yang menyakitkan Indonesia yang sedang berduka. Mungkin memang banyak kebijakan Pemerintah yang harus disempurnakan, namun janganlah lunturkan cinta kita kepada Indonesia. Pemerintah bisa berganti, Pemimpin terus berganti, Bencanapun bisa datang silih berganti, namun jangan pernah berhenti Mencintai Indonesia Dengan Hati.   

NEGARA INI MASIH TERBUKA UNTUK PERUBAHAN


Catatan, 1 Februari 2014           

Judul catatan saya terinspirasi oleh sebuah bab dibuku, Selalu Ada Pilihan yang ditulis sendiri oleh SBY. Buku yang berisi berbagai pernik pengalamannya menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia. Belum setengah dari buku setebal 807 halaman itu terbaca, tampak sekali bahwa SBY bukan saja ingin berbagi cerita, namun ingin memberikan gambaran utuh, apa yang dirasakan dan dialaminya hampir 10 tahun menjabat sebagai Presiden RI. Buku ini terasa tepat diterbitkan saat ini dan bukan setelah SBY berhenti menjabat, karena isinya sungguh bernilai bagi siapa saja yang terketuk hatinya untuk berniat menjadi salah satu calon Presiden RI, dimana saat ini proses Pemilu sudah dimulai.

Dalam bab yang judul lengkapnya adalah Negara Kita Masih Terbuka Untuk Perubahan Dan Penataan Kembali, catatan SBY mencerminkan kesadaran dan kejujurannya, bahwa untuk mencapai masa depan, Indonesia masih memerlukan banyak penataan dan perubahan. Bahkan diakhir tulisan dalam bab ini SBY meyakini bahwa bangsa ini tidak boleh bersikap dogmatis dan menutup diri dari perubahan dan pembaruan. SBY juga mengingatkan bahwa perubahan itu sendiri bukanlah tujuan. Perubahan adalah sarana agar masa depan menjadi lebih baik. Satu satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri, demikian SBY menutup catatannya.

Seperti yang dikenali oleh SBY, beberapa hal penting harus terus disempurnakan, bukan saja karena belum tepat, namun juga karena dinamika kehidupan nasional dan global terus berjalan.
Seperti pertanyaan tentang sudah tepatkah sistim Pemilu dan pemilihan Kepala Daerah? Sudah tepatkah peran dan kewenangan MK seperti sekarang? Kebijakan dasar keuangan yang paling tepat seperti apa? Bagaimana membangun toleransi dan harmoni yang kokoh dalam masyarakat kita yang majemuk? Bagaimana hubungan negara dan rakyat yang semakin baik? Dan banyak lagi.
Semua persoalan yang selalu hidup dalam dinamika kehidupan nasional tersebut harus tetap dihadapi sebagai tantangan yang harus dikelola. Kehidupan masyarakat Indonesia setiap hari harus semakin sejahtera dalam lingkungan yang aman dan adil. Walau tidak bisa dipisahkan satu persoalan dengan yang lain, bagi keseharian kehidupan masyarakat, maka kondisi sosial adalah hal yang paling berpengaruh. Persoalan ekonomi selalu banyak pilihan untuk mengelolanya. Persoalan Politik yang lebih kepada persoalan kekuasaan menjadi domain perhatian politisi, dan tidak menjadi prioritas keseharian mayoritas masyarakat biasa.
Oleh karenanya pemimpin disemua tingkatan harus memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengelola masalah sosial yang ada diseluruh tanah air. Keragaman tradisi dan kebiasaan hidup masyarakat disetiap pelosok tanah air, hampir pasti memiliki karakteristik kehidupan sosial yang spesifik. Itulah mengapa pengelolaan daerah tidak boleh eksklusif tanpa mendasari pemahaman bahwa kita sebenarnya satu, Indonesia. SBY-pun mencatat pertanyaan bagaimana hubungan pemerintah Pusat dan Daerah harus semakin baik. Bhineka Tunggal Ika adalah salah satu dari empat konsensus dasar bangsa ini, selain Undang Undang Dasar 1945, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa menghilangkan ciri tradisi, namun semua itu untuk membentuk satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Konsepsi dasar untuk mewarnai kebijakan jalannya pembangunan Indonesia menggapai masa depan, sebenarnya telah disiapkan oleh para pendahulu bangsa ini. Hanya bagaimana pemimpin dan komponen bangsa ini memahami dan mengamalkannya dalam berbagai langkah, bekerja bersama mengejar masa depan, sebagai eja wantah dalam mengarungi jembatan emas, yaitu kemerdekaan Indonesia tahun 1945 lalu.

Kepala Daerah Menjadi Penjuru

Pembangunan nasional sebenarnya adalah kumpulan pembangunan daerah. Dengan karasteristik daerah masing-masing, kebijakan yang diterapkan bisa dipengaruhi oleh berbagai perbedaan faktor. Namun apapun kebijakan yang akan diterapkan berdasar pada otonomi daerah, tidak boleh saling bertentangan satu dengan lain. Konsepsi kebijakan saling bermanfaat dan memanfaatkan antar daerah sangatlah penting. Kalau ada istilah sister city antar kota dari negara berbeda, maka sister province harus terbentuk diantara propinsi diseluruh Indonesia.
Pemikiran orisinil dan membumi dari para Kepala Daerah sangat diperlukan, karena merekalah yang harus memahami terlebih dahulu kekuatan dan tantangan daerahnya masing-masing.

Dibawah ini adalah catatan Nia Elvina, S.Sos, Msi, Sekretaris Jurusan Sosiologi Universitas Nasional, tentang paparan Dr.Soekarwo, Gubernur Jawa Timur. Paparan tersebut dalam rangka kegiatan Presidential Lecture yang dilakukan di kampus Universitas Nasional, dengan topik  “Membahas Politik dan Masa Depan Pembangunan Nasional Pasca Pemilihan Presiden 2014”. Dalam acara tersebut Dr.Soekarwo menyampaikan bahasan yang berjudul “Pengalaman Empiris Pembangunan Sosial di Jawa Timur dan Dampaknya Bagi Masyarakat”.  Selain Gubernur Jawa Timur, berbicara pula Dr.TB Massa Djafar, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS.

Gagasan pemikiran Gubernur Jatim ini berangkat dari kegelisahannya terhadap kurang tepatnya titik tolak pembangunan nasional kita, khususnya pasca Orde Lama. Gubernur Jatim melihat bahwa ada kekurangan mendasar dari orde-orde pemerintahan setelah orde lama, yaitu lebih mengedepankan ukuran atau sektor ekonomi dalam melakukan pembangunan. Pembangunan sosial didalamnya pembangunan pendidikan, atau pembangunan manusia Indonesia yang susila dan demokratis (jika meminjam istilah Mohammad Hatta), kurang mendapatkan perhatian. Negara lebih berpusat pada bagaimana mendatangkan investor dan memfasilitasi mereka secara besar-besaran, yang sebenarnya menurut Gubernur Jatim ini, semakin mengarahkan kita kepada apa yang disebut pengembangan pembangunan liberal. Jika ditarik lebih jauh, bisa mendatangkan persoalan besar, bila demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berbasis pada nilai liberalisme, siapa yang kuat modalnya itu yang semakin didukung dan difasilitasi dengan berbagai kebijakan. Sedangkan masyarakat dengan modal terbatas, akan sulit berkembang.

Berangkat dari realitas dan pilihan atas strategi pembangunan yang terbaik bagi masyarakat Jatim, maka Gubernur yang lebih akrab dipanggil Pakde Karwo, meyakini bahwa nilai yang paling sesuai untuk menjadi dasar pembangunan sosial, ekonomi dan politik negara, dalam konteks ini Propinsi Jatim adalah Pancasila. Ia melihat bahwa dalam nilai Pancasila terkandung koperasi sosial atau gotong royong dan semangat partisipatif yang dikenal dengan permusyawaratan. Itu yang sangat perlu untuk mempercepat pembangunan, ujarnya.

Koperasi sosial ini, untuk kasus Jatim ia mulai dengan memasukkan nilai ekonomi, mengikuti pemikiran brilian the founding fathers, yaitu koperasi. Terutama koperasi wanita yang dijadikan sebagai pionir dalam pengembangan koperasi yang lebih luas nantinya. Pakde Karwo sepakat bahwa untuk melawan laju pesatnya organisasi kapitalisme atau organisasi para pemilik modal besar ini, harus melalui organisasi pula.

Dalam hal pengejawantahan demokrasi Pancasila, terutama nilai permusyawaratan, dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang dia ambil, Pakde Karwo seoptimal mungkin melibatkan masyarakat luas dan semaksimal mungkin mendekati aspirasi mereka. Atau dalam kacamata sosiolog, tindakan pemimpin merupakan perwujudan kemauan masyarakat. Misalnya kasus penertiban stren kali Surabaya, dari hasil musyawarah dengan masyarakat disepakati bahwa masyarakat yang berada dalam zona 12,5 m dari bibir sungai akan pindah ke rumah susun yang sebelumnya telah disediakan. Padahal dalam ketentuan UU kita, masyarakat yang wajib digusur dari bibir sungai yakni masyarakat yang tinggal dalam zona 40 m dari bibir sungai. Dengan adanya mekanisme musyawarah ini, maka konflik yang merusak antara petugas dari pemerintah dengan masyarakat  dapat dieliminir. Dari kasus ini Gubernur Jatim menyadari pula bahwa musyawarah merupakan wujud demokrasi partisipatif.

Pandangan sederhana, namun membumi dan berangkat dari pemahaman terhadap karakteristik kehidupan sosial masyarakat setempat seperti apa yang diungkapkan Pakde Karwo, pantas dijadikan rujukan secara nasional. Karena pada kenyataannya, saat ini kata keterlibatan langsung masyarakat belum memiliki bentuk atau makna yang jelas. Kesediaan para pemimpin disetiap tingkatan, seperti Kepala Daerah Propinsi untuk berpikir, menggagas dan menciptakan makna keterlibatan rakyat secara lebih riil, sangatlah diperlukan.

Dimasa Pemilu seperti ini, bangsa kita berada dalam titik menentukan yang tidak bisa ditarik kembali. Apabila para politisi dan pemimpin tidak peka terhadap dampak yang terjadi dimasyarakat akibat kompetisi politik yang tidak sehat, maka bisa membahayakan hubungan negara dengan rakyatnya. Apabila rakyat semakin muak dan apatis menonton tayangan media yang sarat intrik politik saja, maka hal terburuk yang bisa saja terjadi adalah, rakyat merasa bisa hidup sendiri tanpa peran politik politisi yang seharusnya menjadi pemerintah mereka, atau lebih dikatakan tepat sebagai pengelola masyarakat. Kalau yang terburuk ini yang terjadi, kita semua akan berdosa kepada pendiri bangsa dan generasi penerus masa depan Indonesia.

Semoga Pemilu 2014 ini membawa perubahan kearah kemajuan, dan bukan kemunduran peradaban bangsa Indonesia.    


DALAM POLITIK YANG ABADI HANYA KEPENTINGAN?


Catatan, 14 April 2014


      Pemungutan suara dalam Pemilu Legeslatif tahun 2014 telah berjalan. Secara umum ketertiban dan keamanan nasional sejak masa kampanye sampai pemungutan suara terjaga dengan baik. Apresiasi pantas diberikan kepada pemerintah dengan aparat keamanannya.  Seperti keyakinan kita semua bahwa tidak ada kesempurnaan dalam hidup ini, maka Pemilu Legeslatif inipun juga masih meninggalkan catatan penting yang harus diperbaiki dari waktu kewaktu.

Pertama, adalah masalah administrasi penyelenggara Pemilu sendiri. Dimana masih ditemukan kesalahan lokasi pengiriman berkas kertas suara. Sehingga harus ada penundaan waktu pemungutan suara, padahal tangal 9 April kemarin oleh pemerintah telah diputuskan sebagai hari libur, agar pemilih dapat leluasa menggunakan hal pilihnya. Dengan penundaan karena kesalahan kirim kertas suara tersebut, maka masyarakat harus meluangkan waktu khusus kembali. Hal ini pasti mengurangi jumlah pemilih yang bisa hadir. Diluar catatan tentang administrasi pemilu yang lain, apresiasi harus diberikan kepada KPU yang telah berusaha menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin.

Kedua, menurut perkiraan, jumlah masyarakat yang tidak memilih atau biasa disebut Golput, masih cukup besar. Bahkan diperkirakan prosentasenya lebih besar dari parpol yang mendapatkan suara terbanyak. Hal ini sungguh mengurangi nilai demokrasi yang ingin kita bangun. Untuk hal ini, harus dijadikan perhatian dan mawas diri bagi semua parpol yang ada. Semakin rakyat tidak merasa mendapatkan manfaat, dan bila kepercayaannya berkurang terhadap wakil rakyat yang notabene berasal dari parpol, maka keengganan masyarakat untuk ikut memilih wakilnya pasti akan semakin bertambah. Akibatnya makna demokrasi akan semakin berkurang nilainya.

Ketiga, indikasi kecurangan, khususnya politik uang yang dilakukan parpol kepada masyarakat pemilih. Cerita masyarakat yang menerima pembagian uang setelah subuh pada hari pemilihan, masih adanya aparat negara yang terlibat, dan modus lain, sungguh miris didengar. Kalau indikasi itu benar, dan tidak ada sangsi apapun yang mampu menghentikannya, maka masa depan kehidupan politik kita akan benar-benar suram. Pemanfaatan "kelemahan" masyarakat yang mereka anggap kecil, bisa berakibat besar bagi kehidupan demokrasi dan kehidupan bangsa ini. Khilaf masyarakat yang bersedia dibeli suaranya, bukan tidak mungkin membuat pilihan rakyat tidak lagi atas dasar kemampuan, namun hanya kepada siapa yang bisa membayar dengan angka rupiah terbesar. Hal terburuk dari itu adalah, bila ternyata rakyat memilih wakil ataupun pemimpin yang salah. Karena ternyata negara ini dipimpin oleh sosok yang salah, maka kehidupan bangsa dan negara ini pasti akan bermasalah. Bila kondisi terburuk ini sampai terjadi, maka rakyat-lah pihak yang paling mendapatkan kesulitan hidupnya. Sementara politisi dan mungkin pengusaha dibelakangnya, akan jauh lebih mudah mempertahankan kemapanannya.

Walau pasti masih ada hal-hal lain yang perlu diperbaiki, namun minimal tiga catatan diatas harus menjadi perhatian yang penting bagi penyelenggara pemilu, parpol, politisi dan juga masyarakat Indonesia. Militansi terhadap golongan seperti kepada Partai Politik, tidak boleh mengalahkan kecintaan kepada masa depan tanah air, Indonesia.

Hasil Sementara Dan Koalisi

       Sampai hari ini KPU belum mengumumkan keputusan hasil akhir pemungutan suara. Namun dari berbagai hitungan cepat para konsultan politik, sementara didapatkan angka-angka suara yang kemungkinan didapatkan parpol peserta pemilu kali ini. Secara umum hasil Pemilu Legeslatif kali ini berdasar perolehan suara dalam hitungan cepat, tidak ada yang terlalu istimewa. Dibanding sejak Pemilu tahun 2004 kemudian 2009 dan saat ini maka jumlah suara yang didapat partai politik tidak bergerak banyak. Misalnya suara PDIP ditahun 2004 dibanding 2014 mungkin sama saja, setelah Pemilu 2009 turun sekitar 5%. Golkar dari 2004 malah tampaknya turun dibanding saat ini. Partai Demokrat walau suaranya masih lebih tinggi dibanding Pemilu 2004, namun turun dibanding 2009.
Tampaknya Pemilu Legeslatif kali ini bukan tokoh yang mempengaruhi pemilih, namun fenomena pengaruh media masa lebih terasa menonjol. Apalagi hampir semua media masa besar saat ini dimiliki oleh pemain politik pula. Apa akibat dari pengaruh tersebut tentu baru akan terlihat nanti pada kualitas kinerja para wakil rakyat yang terpilih. 
Bersamaan dengan itu semua, saat ini beberapa parpol sudah mulai sibuk melakukan kasak kusuk mencari partner yang sering disebut dengan koalisi. Namun bila diperhatikan dengan cermat, maka kasak kusuk koalisi yang ada sebelum hasil akhir perhitungan suara ini, lebih kepada hitung-hitungan rencana pengajuan Capres dan Wapres. Konsepsi idealisme bersama bagaimana mengelola pembangunan bangsa ini, ataupun garis sikap politik parpol, tampaknya bukan prasyarat utama dalam kasak kusuk koalisi hari ini. Bahkan parpol dan tokohnya yang dulu sangat berseberangan saat gerakan reformasi 1998 terjadi-pun, sekarang ini bisa berangkulan. Maka saya pernah bertanya dihati, apakah sekarang sudah terjadi reformasi jilid selanjutnya. Mungkin benar kata banyak pihak bahwa tidak ada yang abadi didalam politik, kecuali kepentingan. Salah atau benar memang sangat tergantung dari sisi mana kacamata melihatnya.

Kembali kehasil hitungan cepat yang ada sekarang, menurut saya masih sangat terbuka bagi berbagai kelompok parpol untuk mencalonkan capresnya. Bagi rakyat, semakin banyak pilihan, semakin baik. Karena Capres pilihan parpol, belum tentu pilihan rakyat. Kalau dilihat pergerakan parpol saat ini dan karakteristik kerjasama masa lalunya, maka tampaknya ideal apabila ada empat kelompok parpol yang bisa mengajukan Capresnya.  Tentu ini hanya sekedar analisa sempit berdasarkan logika, dengan menilai pergerakan yang terjadi hari-hari ini. Dengan semakin banyak pilihan bagi rakyat, maka nilai daulat rakyat akan semakin tinggi dan akhirnya azas demokrasi semakin terpenuhi. Selain itu kekhawatiran para cerdik pandai yang mengkhawatirkan adanya koalisi gemuk bisa dihindari. Konstitusi yang mengatur hak dan kewenangan DPR dan Pemerintah memang sangat perlu diperbaiki, sehingga parlemen bisa didudukkan kehabitat utamanya, yaitu pengawasan, dan dikurangi sifatnya yang sering ikut melakukan eksekusi kebijakan, domain utamanya eksekutif. Koalisi gemuk salah satu kelemahannya adalah sulit terbangun check and balances.

Semua hal diatas hanyalah sebuah catatan yang bisa tidak berarti apa-apa bagi parpol dan politisnya saat ini. Namun biasanya orang lain lebih cermat menilai diri kita. Saya orang lain yang tidak terlibat di parpol manapun. Walau begitu, saya dan banyak masyarakat diluar parpol yang lain selalu berharap kehidupan bangsa dan negara ini, termasuk kehidupan politiknya berjalan baik, sehingga keseharian masyarakat dalam memperjuangkan hidup keluarganya tidak terpengaruh secara buruk. Harapan yang juga hak rakyat untuk menuntut parpol dan politisinya untuk menggunakan suara dan kepercayaan rakyat dengan benar. Bukan setelah mendapat suara rakyat, mereka hanya berpikir kepentingan sendiri, kepentingan parpol, apalagi kepentingan cukong yang mungkin saja ada dibelakangnya. 

Rakyat Indonesia masih berkesempatan untuk ikut menentukan masa depan negeri ini, dengan memilih Presiden yang benar-benar beriman, mampu, berintegritas, dan lebih cinta tanah airnya dibanding kepentingan asing. Jangan memilih hanya karena calonnya populer, ataupun penilaian yang sifatnya hanya kosmetik, ataupun sekedar media darling. Saya yakin banyak calon pemimpin negeri ini yang berkemampuan. Dan semoga Tuhan melalui suara jujur rakyat Indonesia, menentukan siapapun dia, untuk menjadi pemimpin yang terbaik buat masa depan bangsa ini. Amin