Catatan, 14 April 2013
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu telah berlangsung dengan cepat, aman dan damai. Isu awal yang memanaskan suhu hati dan berita, seolah akan terjadi kegaduhan dan gontok-gontokan, ternyata semua itu hanya sekedar bumbu tak sedap tukang masak amatiran. Para peserta kongres yang tentunya delegasi pengurus Partai Demokrat dari seluruh pelosok tanah air secara bulat memilih SBY sebagai Ketua Umum, setelah kursi itu tak bertuan beberapa saat. Pemilihan Ketua Umum itulah inti tunggal hajatan Partai Demokrat di tempat indah penuh pesona, Pulau Dewata Bali. Hasil hajatan tersebut menjadi pintu penutup berbagai ragam pendapat yang berkumandang sebelumnya, khususnya dari internal anggota Partai Demokrat sendiri. Ada yang setuju dan ada yang tidak SBY jadi Ketum. Lalu bak gayung bersambut, para pengamat, pengkritik, serta masyarakat awampun, berlomba berkomentar. Senang, kecewa, marah, sinis dan beribu pandangan terlontar. Sayangnya mereka yang tidak setuju justru khilaf dan lupa, bahwa sejatinya yang boleh bersetuju atau tidak SBY menjadi Ketua Umum PD adalah mereka yang menjadi anggota keluarga besar Partai Demokrat itu sendiri. Lain ceritanya kalau mereka tidak bersetuju bila SBY tidak lagi serius menjalankan tugasnya sebagai Presiden.
Sayapun tidak sependapat SBY menjadi Ketum Partai saat ini. Namun hal
itu mungkin hanya karena iba, ngeman
dan faktor emosional rasa kedekatan semata. Karena tak terbayang bagi saya, betapa berat beban pikiran
yang harus beliau tanggung. Menurut saya seharusnya hanya sebatas itulah para
pihak non anggota Partai Demokrat boleh bersikap. Semua warga negara memiliki hak politik yang sama . Partai
Politik manapun berhak pula menentukan arah dan karakteristik organisasinya
sendiri. Apalagi kita sudah sepakat untuk membangun Indonesia yang demokratis.
Sepantasnyalah kita juga harus memiliki jiwa yang demokratis pula. Memaksakan
kehendak adalah sikap berlawanan dari makna demokrasi yang sejati. Berbeda
namun tetap satu, Indonesia. Perbedaan yang menguatkan, bukan yang saling
menghancurkan.
Ketum Jadi Presiden
Diskursus atau perbincangan
diarena publik kemudian berkembang dengan ragam topik yang menarik. Bagian
terbesar masyarakat memperbincangkan kekhawatiran atas waktu, konsentrasi
ataupun fokus SBY sebagai Presiden yang bisa jadi terganggu karena menjadi
Ketum Partai. Belum lagi seperti diketahui masyarakat banyak, Partai Demokrat
saat ini sedang mengalami ujian yang tidak ringan. Padahal pesta demokrasi
Pemilu 2014 sudah berjalan. Perbincangan tentang kekhawatiran seperti ini saya
nilai sesuatu yang indah, bersahabat, kekeluargaan, penuh cinta dan rasa saling
berpengharapan. Mereka, yang berbincang ini hampir pasti adalah masyarakat yang
saat pemilihan Presiden, percaya bahwa SBY adalah pilihan tepat untuk memimpin
dan membawa kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mereka tidak memasalahkan hak
politik SBY, namun dengan jujur mengungkapkan rasa cinta dan harapan yang telah
mereka miliki sebelumnya.
Disaat bersamaan, diwarung yang
lain, ada pula sebagian pihak yang mempergunjingkan hak politik seseorang.
Judul gunjingan ini lebih dikenal dengan sebutan topik rangkap jabatan.
Intinya, sebagai Presiden, SBY tidak boleh menjadi Ketum Partai. Alasannya
macam-macam, namun yang penting, pokoknya SBY tidak boleh jadi Ketum Partai,
titik. Nah, ini yang jadi trending topic
para trend setter. Argumentasinya-pun
beraneka ragam. Dari yang sekedar sinis, sampai yang sangat teoritis akademis. Saya
tidak pernah sekolah jurusan politik, namun hanya suka baca berita dan nonton
televisi. Dari koran dan televisi yang saya tahu, hampir disemua negara yang
demokratis, semi demokratis atau apa sajalah namanya, kebanyakan Presiden atau
Perdana Menterinya ternyata juga pemimpin partainya masing-masing. Walau
disana namanya bukan Ketum.
Seperti di Inggris, Australia, Malaysia, Cina, Jepang dan banyak lagi. Bagi
saya rasanya masuk akal. Niat sekelompok orang yang memiliki kesamaan ideologi
kemudian membuat Partai Politik, memang untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Karena dengan kekuasaan politik itulah mereka bisa memperjuangkan kebenaran
ideologinya. Kelompok masyarakat
yang berkumpul namun tidak dengan niat mencari kekuasaan, biasanya membangun
wadah organisasi seperti LSM, Organisasi Profesi, Yayasan Sosial, atau juga
Kelompok Arisan RT/RW.
Jadi kesimpulan dangkal saya, karena posisi Presiden
adalah posisi Politik, atau bahasa kerennya Political
Appointy, maka memang seharusnya diduduki oleh seorang politisi yang
berasal dari Partai Politik. Lalu agar terbangun keseimbangan atau istilah saya
perbedaan yang menguatkan, maka sebaiknya kualitas seorang Ketum Partai harus sekelas
dengan kualitas seorang Presiden. Dengan kata lain, kalau mau jadi Ketum
Partai, harus siap jadi Presiden. Kalau mau jadi Ketua DPC Partai harus siap
jadi Bupati atau Walikota. Kalau mau jadi Ketua DPD Partai, ya harus siap jadi
Gubernur. Jadi karena yang jadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota dalam
Pemilu hanya satu orang, maka yang lain bisa memberikan keseimbangan pendapat,
karena sekali lagi, mereka sekelas.
Memang repot kalau Presiden yang juga seorang pemimpin partai sudah
kelas tiga, kemudian pemimpin partai yang lain kebanyakan masih kelas satu.
Atau sebaliknya. Akibatnya, kata anak muda sekarang, kalau ngomong gak
nyambung. Makanya banyak pihak mengatakan, Partai Politik harus memiliki kader
yang mampu memimpin, bukan hanya yang mampu mbayari.
Kesimpulan dangkal saya yang kedua, jadi masalahnya bukan Ketum Partai boleh
atau tidak boleh jadi Presiden, namun Partai Politiknya yang harus baik dan
mampu melahirkan kader pemimpin.
Kalau tidak salah, negara yang menganut demokrasi, harus memiliki partai
politik-partai politik. Jadi kalau Indonesia mau jadi negara yang demokrasinya
baik, memang harus memiliki partai politik yang baik pula.
SBY Jadi Ketum PD
Dengan uraian diatas, tidak ada
sedikitpun kesalahan SBY yang seorang Presiden, kemudian memutuskan menjadi
Ketum PD. Namun demikian sampai detik ini saya masih yakin bahwa menjadi Ketum
Partai bukanlah niat utama SBY dalam menggeluti dunia kepemerintahan. Jalan
kehidupan memang terkadang sulit diperkirakan. Apalagi jalannya kehidupan dunia
politik. Saya pernah mengatakan hasil Pemilu 2009 sebenarnya menjadi momen
kebenaran politik ditanah air. Kalau tidak dikatakan benar, paling tidak melahirkan
harapan akan semaikin stabilnya kehidupan politik di negeri ini. Partai demokrat
memperoleh suara kepercayaan rakyat terbanyak, dan SBY menjadi Presiden yang
notabene berasal dari Partai Demokrat. Tidak salah kalau banyak pihak memiliki
secercah harapan akan semakin baiknya kehidupan politik. Sayangnya sebagai
pemilik suara terbanyak, Partai Demokrat tidak berhasil menjalankan peran
politiknya dengan baik. Peran politik yang bisa berupa kontribusi nyata
terhadap tugas dan kewajiban Pemerintah yang semakin kompleks. Peran politik
bisa juga ditunjukkan dengan strategi berpolitik yang mampu meningkatkan
kepercayaan rakyat kepada Partai Demokrat, misalnya. Kasus-kasus hukum yang menimpa
sebagian kadernya, juga masih seringnya terjadi gejolak internal organisasi,
walau juga terjadi ditubuh Partai yang lain, menambah kemerosotan nama baik.
Sebagai
pemilik suara terbanyak dan mendudukkan kadernya sebagai Presiden, tentu
penilaian dan sorotan masyarakat terhadap Partai Demokrat akan jauh lebih tajam
dibanding Partai lain. Hal itu wajar adanya, karena faktanya memang Partai
Demokrat mendapatkan suara rakyat terbanyak pula. Partai Demokrat sebagai
organisasi tidak berhasil memberikan imbangan yang cukup dibanding penilaian
masyarakat terhadap kinerja SBY sebagai Presiden. Hal ini nampak dari berbagai
survey yang menyatakan kepuasan rakyat terhadap kinerja SBY selalu lebih besar
dibanding kepercayaan terhadap Partai Demokrat. Oleh karenanya, saya berani mengatakan, walau dalam kurung,
bahwa SBY terpaksa menerima
permintaan para pengurus Partai Demokrat untuk duduk sebagai Ketum. Kesediaan
SBY bukan saja sebagai bentuk kecintaannya terhadap partai yang didirikannya
agar tidak semakin retak, namun lebih dari itu, sikap itu adalah sebagai bentuk
tanggungjawab SBY terhadap jutaan masyarakat yang saat Pemilu mempercayakan
suaranya terhadap Partai Demokrat. Tentu keputusan itu memiliki konsekuensi
yang tidak ringan. Energi yang harus disiapkan untuk terkuras dari SBY akan
semakin banyak. Membaiknya berbagai bidang kehidupan masyarakat, memang
memperingan pikiran Presiden.
Namun bukan berarti tidak ada lagi PR atau
pekerjaan rumah yang harus digarap. Apalagi niat SBY dari dulu adalah ingin
memberikan kemudahan bagi penggantinya nanti. Namun masyarakat harus merasa
beruntung, karena SBY secara langsung sudah mengatakan dan berjanji untuk tetap
menjalankan amanah yang telah diberikan rakyat sebagai Presiden, dengan sebaik
mungkin. Banyak pihak, mungkin
termasuk saya, yang merasa kecewa terhadap kinerja politik Partai Demokrat,
bila dikaitkan dengan kontribusinya terhadap tugas SBY sebagai Presiden. Namun
episode drama politik Partai Demokrat terakhir ini, sangat bermanfaat sebagai
pelajaran penting. Bukan saja bagi Partai Demokrat sendiri, namun juga bagi
Partai Politik yang lain. Disini terlihat bahwa setelah mencapai tujuannya
mendapatkan kekuasaan, tidak berarti kemudian sebagai organisasi, Partai Politik
hanya berpangku tangan dan seolah menikmati semata kekuasaan itu untuk
kepentingan sendiri atau hal lain yang bukan untuk kesejahteraan rakyat. Atau
lebih buruk lagi, adalah menggunakan kekuasaan itu bahkan untuk menyakiti hati
rakyat. Kalau pelajaran mahal ini
mampu dimaknai dengan bijak, pasti Partai Demokrat akan kembali mendapat
kepercayaan rakyat.
Kehidupan politik Indonesia saya
nilai masih akan cukup rumit dimasa depan. Bukan saja karena jumlah Partai
Politik yang berjubel. Namun juga karena kualitas dan kuantitas politisi yang
masih terbatas. Padahal Pemilu 2014 sudah berjalan. Kalau berjalan satu
putaran, maka setahun lebih sedikit, atau sekitar Juni 2014, Indonesia sudah
akan punya Presiden baru. Saya dan juga Cak Iwan, penjual nasi goreng keliling
langganan saya, tentu sangat berharap Presiden dan pemerintah mendatang lebih
baik dari sekarang. Paling tidak, sama-lah dengan yang sekarang. Mungkinkah? Mungkin
saja, karena biasanya Kita Bisa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar