Catatan, 13 Agustus 2012
Bung Karno mengatakan bahwa kalau ingin merdeka jangan bertele-tele menunggu hal yang tidak mungkin dipikirkan dan disiapkan sekarang. Merdeka adalah realisasi kemauan bersama. Merdeka adalah sebuah jembatan emas. Pertanyaannya sekarang terletak kepada bangsa ini sendiri. Apakah jembatan emas yang sudah terbangun dulu akan kita gunakan benar untuk menyeberang dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang maju, besar dan bermasa depan.
Bung Karno mengatakan bahwa kalau ingin merdeka jangan bertele-tele menunggu hal yang tidak mungkin dipikirkan dan disiapkan sekarang. Merdeka adalah realisasi kemauan bersama. Merdeka adalah sebuah jembatan emas. Pertanyaannya sekarang terletak kepada bangsa ini sendiri. Apakah jembatan emas yang sudah terbangun dulu akan kita gunakan benar untuk menyeberang dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang maju, besar dan bermasa depan.
Bung Karno pernah melontarkan pertanyaan saat berpidato pada tanggal 17
Agustus 1957, “Akibat tahun 1957 ini, akan tetap tegakkah negara ini?”. Dalam
renungan Proklamasi tahun 2007, Presiden SBY mengatakan: “ Setelah 50 th pidato
Bung Karno, terbukti Indonesia masih tegak berdiri, bahkan mampu membangun
kemajuan diberbagai bidang”. Itu semua terjadi karena bangsa ini bersedia
menjaga persatuan dan bekerja keras, lanjut Presiden. Terbuktilah bila seluruh
komponen bangsa ini mau bersatu, bekerja keras dan masing-masing memberikan
kontribusinya secara positif, maka segala tantangan bangsa dan negara ini pasti
dapat diatasi dan dicarikan solusinya.
Persatuan dan kerjasama menjadi kata
kunci disamping mampu menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan. Dengan segala ketidak sempurnaannya, terbukti
pemerintah sampai saat ini mampu menjaga tegaknya kedaulatan, menyelamatkan
negeri ini dari berbagai krisis, dan meningkatkan berbagai sendi kehidupan
masyarakat. Penilaian itu tentu hanya bisa diucapkan oleh bangsa yang suka
bersyukur seperti kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sudah cukupkah usaha itu, dan
kemudian haruskah kita berhenti dengan hanya duduk berpuas diri? Membangun
peradaban dan masa depan Indonesia adalah pekerjaan yang tidak pernah usai.
Tantangan demi tantangan baru selalu akan hadir. Tongkat pengambil keputusan
akan selalu berpindah dari pemimpin kepemimpin selanjutnya.
Semua harus selalu
siap menghadapi tantangan baru, bahkan tantangan lama yang ternyata tidak mudah
diselesaikan, kecuali dengan kesadaran, ketekunan, kejujuran, kepercayaan dan
kerja keras. Tantangan itu adalah pemberantasan korupsi.
Hukum Bukan Untuk Disiasati
Gencarnya kesepakatan bangsa ini
untuk memerangi pelanggaran hukum korupsi, seperti perkiraan banyak pihak akan
menghadapi tantangan. Kalau tantangan itu berasal dari gigihnya para koruptor
untuk melawan segala usaha penyidikan, pasti akan terjadi. Tetapi hal itu hanya
akan terbatasi oleh waktu saja sampai mereka terpojok dan menyerah, bila memang
bangsa ini serius secara bersama ingin memerangi korupsi. Namun tantangan yang
lebih serius dan tidak mudah, akan datang apabila hukum itu sendiri yang belum
ditempatkan diposisi yang kuat dan tidak multi tafsir.
Setelah hukum itu kuat,
maka harus pula dikelola oleh penegak hukum yang bersih dan kuat pula. Seluruh
aparat dalam sebuah proses peradilan, apakah penuntut umum, hakim, bahkan
pengacara, haruslah benar-benar menjadi penegak hukum yang sejati. Seorang
penasihat hukum atau pengacarapun adalah pihak yang harus menegakkan hukum,
bukan sekedar memenangkan perkara. Itulah sebabnya seorang yang sedang diadili
di pengadilan, namun secara ekonomi tidak mampu membayar pengacara, maka negara
wajib menyediakan penasihat hukum secara cuma-cuma kepadanya. Sehingga bila
terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman, yang bersangkutan memahami benar bahwa
putusan yang ditimpakan kepadanya tidak berdasar hal lain selain hukum itu
sendiri. Oleh karenanya pengacara dalam bahasa Inggris disebut Lawyer, bukan Accused Saver.
Jadi, hukum memang seharusnya ditegakkan, bukan
disiasati dengan berbagai cara untuk sekedar menguntungkan pihak tertentu. Jelaslah
sudah bahwa penegakan hukum seperti korupsi bisa berjalan baik bila seluruh
lembaga penegak hukum mampu menegakkan hukum yang berlaku. Sedangkan pasal-pasal
dalam hukum itu sendiri harus mampu menjawab semua pelanggaran hukum yang bisa
terjadi. Sehingga hukum itulah yang harus menjadi awal dari lahirnya keadilan.
Bukan saja mampu memberikan hukuman yang setimpal bagi yang bersalah, namun
juga harus bisa menjelaskan bahwa seseorang tersangka akhirnya bebas karena
tidak terpenuhinya segala unsur pelanggaran dari hukum itu sendiri. Seorang
tersangka dihukum atau dibebaskan sepenuhnya harus berasal dari terlanggar atau
tidaknya hukum. Bukan karena faktor lain diluar hukum, seperti kekuasaan,
politik, apalagi pengaruh sejumlah rupiah.
Swadaya Mencegah Korupsi
Masih kita ingat saat menyerahkan
DIPA tahun 2011 kepada berbagai Lembaga Negara, salah satu instruksi Presiden
SBY adalah perlunya setiap lembaga pemerintah mengembangkan menejemen resiko,
meningkatkan pengawasan internal, dan selalu melakukan evaluasi disetiap
program kegiatan yang ada. Pengawasan Internal menjadi kata kunci penting.
Banyak pihak berpengharapan besar terhadap peran Satuan Pengawasan Internal,
yang sebenarnya telah terbentuk disetiap lembaga pemerintah. Sehingga tidak
setiap pelanggaran didalam lembaga harus diselesaikan melalui lembaga hukum
khusus.
Misalnya penyelewengan anggaran lembaga sampai Rp.5 juta oleh oknum
pegawai, Satuan Pengawasan Internal bisa memberikan sangsi sesuai aturan
kepegawaian yang ada. Apakah pencabutan jabatan, sangsi kepangkatan, selain
pengembalian uang yang diselewengkan. Logika akan mengatakan bila hal ini
benar-benar dapat dijalankan dengan benar, maka semakin sulitlah aparat untuk
menyelewengkan uang negara, apalagi dalam jumlah yang lebih besar.
Namun
apabila penyelewengan yang terjadi sudah melibatkan jumlah yang besar, milyar,
puluhan milyar, bahkan ratusan milyar rupiah, maka dengan mudah disimpulkan
bahwa pengawasan internal sudah tidak berfungsi. Maka logika pula mengatakan
bahwa harus ada lembaga penegak hukum yang secara independen menangani kasus
tersebut. Penguatan, peningkatan kemampuan dan integritas Satuan Pengawasan
Internal lembaga negara menjadi sangat penting dalam membangun swadaya mencegah terjadinya korupsi. Bila
swadaya ini mampu dibentuk disetiap lembaga negara, maka harapan hilangnya
pelanggaran hukum korupsi akan semakin cerah dimasa depan.
Hukum Korupsi Belum Pasti
Hari-hari kemarin, masyarakat
mengikuti beberapa proses kasus korupsi yang ditangani oleh berbagai lembaga
penegak hukum. Wajar bila masyarakat banyak mempertanyakan bahwa tampaknya
hukum atas kasus korupsi masih penuh ketidak pastian. Apakah hukumnya sendiri,
apakah prosesnya, apakah cara penanganannya, bahkan kejelasan siapa pihak yang
paling berhak menangani. Sekedar mencatat berbagai cerita perjalan penanganan
kasus dugaan korupsi dan putusan hukum korupsi, kita contohkan kasus pengadilan
mantan walikota Semarang Soemarmo HS, kasus hukum politisi PKS Misbakhun, dan
ramainya dugaan korupsi diDirektorat Lalu Lintas Polri.
Catatan kita mulai dari
kasus yang melibatkan mantan walikota Semarang, Soemarmo. Dimulainya proses
penyidikan kasus tersebut, diawali dan diwarnai tarik ulur, bahkan melibatkan
para politisi, tentang dimana sebaiknya tersangka ini diperiksa. Ada pihak
termasuk beberapa politisi mengatakan seharusnya tersangka diadili di Semarang
tempat terjadinya pelanggaran hukum. Penegak hukum dalam hal ini pengadilan memutuskan
diadili di Jakarta, karena menurut catatan pengadilan korupsi di Semarang
sering membebaskan para tersangka korupsi. Hal itu dikuatkan dengan sangsi yang
diberikan kepada beberapa hakim pengadilan Semarang.
Dari sisi positif, kita
boleh menilai bahwa penegak hukum benar-benar ingin menegakkan hukum kasus
tersebut, tanpa terganggu oleh intervensi apapun seperti terjadi sebelumnya di
Semarang. Walau masih berjalan, akhirnya Soemarmo dituntut 5 tahun penjara oleh
Pengadilan Tipikor Jakarta.
Catatan lain adalah kasus yang menimpa politisi PKS,
Misbakhun. Politisi asal Pasuruan ini divonis penjara 1 tahun oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kemudian oleh Pengadilan Tinggi DKI, putusan hukum bagi
Misbakhun dikuatkan bahkan ditambah menjadi 2 tahun penjara. Namun setahun
kemudian oleh Mahkamah Agung, Misbakhun dinyatakan bebas. Menyitir kata-kata
Yusril Isa Mahendra bahwa hukum dan Undang-Undang itu diatas segalanya. Artinya
hukumlah yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak. Bukan hal atau pihak
lain, bukan pula seorang Presiden. Perlu juga ditambahkan bahwa selain hukum,
maka peran aparat penegak hukum juga menjadi penentu.
Tanpa harus ingin ikut
menilai siapa salah dan benar, karena itu ranah hukum, namun mencermati kasus Soemarmo dan Misbakhun saja bisa
mendorong masyarakat awam untuk berspekulasi. Kasus yang satu dipindah ke
Jakarta agar hukum bisa ditegakkan, kasus yang satunya bahkan sudah diputuskan
oleh dua lembaga penegak hukum, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
Jakarta, tapi kemudian malah dibebaskan Mahkamah Agung. Pertanyaan kita
berspekulasi, apakah hukumnya yang tidak jelas. Apakah pemahaman hukum Tim
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan sekelompok hakim Pengadilan Tinggi
Jakarta, dinilai tidak cukup baik, sehingga hakim Mahkamah Agung bisa
memberikan pemahaman yang berbeda.
Belum lagi catatan awam tentang kasus dugaan
korupsi diDirektorat Lalu Lintas Polri. Bahkan baru untuk menentukan siapa yang
paling berhak saja sudah begitu ramai akibat pemberitaan media yang gegap
gempita. Ditambah lagi pengadilan didunia media sudah berjalan, walau ada
prinsip praduga tak bersalah dalam
sistim hukum kita. Para pihak menggunakan media untuk menyatakan kebenarannya
masing-masing. Ramainya mukadimah penanganan ini bukan tidak mungkin malah
mengaburkan inti kasusnya. Akibatnya masyarakat awam yang kebanyakan bukan
praktisi hukum, namun mendambakan pemberantasan korupsi di tanah air, menjadi
pesimis terhadap penegakan hukum korupsi itu sendiri.
Bahkan ada yang
mengusulkan untuk menentukan siapa diantara dua penegak hukum, KPK dan Polri,
yang paling berhak menangani kasus tersebut, dengan mengajukan dahulu kepengadilan
penegak hukum yang lain yaitu Mahkamah Konstitusi.
Panjangnya rantai proses penegakan
hukum korupsi ini membuktikan bahwa hukum korupsi di negara ini memang masih
belum pasti. Ketidak pastian ini bukan saja akan menghambat pemberantasan
korupsinya, namun juga bisa melanggar hak hukum seseorang. Panjang dan
bertele-telenya proses hukum, sangat merugikan pihak yang menjadi tersangka,
walau nantinya terbukti bersalah, apalagi bila akhirnya ternyata tidak terbukti
bersalah.
Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, Mahkamah Agung, KPK, MK dan para
pakar hukum sebaiknya segera duduk bersama, sebelum cara diluar hukum menjadi
pilihan dibanding hukum yang seharusnya. Tidak bisa hanya dibebankan kepada
seorang Presiden, siapapun Presidennya. Karena Presidenpun tidak boleh
melanggar hukum, karena dirinya tidak diatas hukum. Jangan tempatkan seorang
Presiden RI diatas hukum, karena dia pasti akan bertindak zolim dan semena-mena.
Jangan pula biarkan seseorang khilaf berbuat dosa dengan meletakkan dendamnya
secara salah kepada orang lain, karena tidak adanya kejelasan penegakan hukum
dinegeri ini.
Mari kita gunakan jembatan emas yang sudah dibangun para founding fathers bangsa ini, dengan cara
bersatu, beradab dan berorientasi untuk masa depan bersama. Bukan malah
meruntuhkannya dengan menonjolkan keangkuhan demi keangkuhan kita
masing-masing. Tuhan hanya akan meridhoi bangsa ini maju bila manusia Indonesia
menginginkan dan mau memperjuangkannya sendiri. Dirgahayu tanah airku tercinta,
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar