Catatan, 1 Februari 2014
Judul catatan saya terinspirasi oleh sebuah bab dibuku, Selalu Ada Pilihan yang ditulis sendiri oleh SBY. Buku yang berisi berbagai pernik pengalamannya menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia. Belum setengah dari buku setebal 807 halaman itu terbaca, tampak sekali bahwa SBY bukan saja ingin berbagi cerita, namun ingin memberikan gambaran utuh, apa yang dirasakan dan dialaminya hampir 10 tahun menjabat sebagai Presiden RI. Buku ini terasa tepat diterbitkan saat ini dan bukan setelah SBY berhenti menjabat, karena isinya sungguh bernilai bagi siapa saja yang terketuk hatinya untuk berniat menjadi salah satu calon Presiden RI, dimana saat ini proses Pemilu sudah dimulai.
Judul catatan saya terinspirasi oleh sebuah bab dibuku, Selalu Ada Pilihan yang ditulis sendiri oleh SBY. Buku yang berisi berbagai pernik pengalamannya menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia. Belum setengah dari buku setebal 807 halaman itu terbaca, tampak sekali bahwa SBY bukan saja ingin berbagi cerita, namun ingin memberikan gambaran utuh, apa yang dirasakan dan dialaminya hampir 10 tahun menjabat sebagai Presiden RI. Buku ini terasa tepat diterbitkan saat ini dan bukan setelah SBY berhenti menjabat, karena isinya sungguh bernilai bagi siapa saja yang terketuk hatinya untuk berniat menjadi salah satu calon Presiden RI, dimana saat ini proses Pemilu sudah dimulai.
Dalam
bab yang judul lengkapnya adalah Negara Kita Masih Terbuka Untuk Perubahan Dan
Penataan Kembali, catatan SBY mencerminkan kesadaran dan kejujurannya, bahwa
untuk mencapai masa depan, Indonesia masih memerlukan banyak penataan dan
perubahan. Bahkan diakhir tulisan dalam bab ini SBY meyakini bahwa bangsa ini
tidak boleh bersikap dogmatis dan menutup diri dari perubahan dan pembaruan. SBY
juga mengingatkan bahwa perubahan itu sendiri bukanlah tujuan. Perubahan adalah
sarana agar masa depan menjadi lebih baik. Satu satunya yang abadi adalah
perubahan itu sendiri, demikian SBY menutup catatannya.
Seperti
yang dikenali oleh SBY, beberapa hal penting harus terus disempurnakan, bukan
saja karena belum tepat, namun juga karena dinamika kehidupan nasional dan
global terus berjalan.
Seperti
pertanyaan tentang sudah tepatkah sistim Pemilu dan pemilihan Kepala Daerah?
Sudah tepatkah peran dan kewenangan MK seperti sekarang? Kebijakan dasar
keuangan yang paling tepat seperti apa? Bagaimana membangun toleransi dan
harmoni yang kokoh dalam masyarakat kita yang majemuk? Bagaimana hubungan
negara dan rakyat yang semakin baik? Dan banyak lagi.
Semua
persoalan yang selalu hidup dalam dinamika kehidupan nasional tersebut harus
tetap dihadapi sebagai tantangan yang harus dikelola. Kehidupan masyarakat
Indonesia setiap hari harus semakin sejahtera dalam lingkungan yang aman dan
adil. Walau tidak bisa dipisahkan satu persoalan dengan yang lain, bagi
keseharian kehidupan masyarakat, maka kondisi sosial adalah hal yang paling
berpengaruh. Persoalan ekonomi selalu banyak pilihan untuk mengelolanya.
Persoalan Politik yang lebih kepada persoalan kekuasaan menjadi domain
perhatian politisi, dan tidak menjadi prioritas keseharian mayoritas masyarakat
biasa.
Oleh
karenanya pemimpin disemua tingkatan harus memiliki kepekaan dan kemampuan
untuk mengelola masalah sosial yang ada diseluruh tanah air. Keragaman tradisi
dan kebiasaan hidup masyarakat disetiap pelosok tanah air, hampir pasti
memiliki karakteristik kehidupan sosial yang spesifik. Itulah mengapa
pengelolaan daerah tidak boleh eksklusif tanpa mendasari pemahaman bahwa kita
sebenarnya satu, Indonesia. SBY-pun mencatat pertanyaan bagaimana hubungan
pemerintah Pusat dan Daerah harus semakin baik. Bhineka Tunggal Ika adalah
salah satu dari empat konsensus dasar bangsa ini, selain Undang Undang Dasar
1945, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa menghilangkan
ciri tradisi, namun semua itu untuk membentuk satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia.
Konsepsi
dasar untuk mewarnai kebijakan jalannya pembangunan Indonesia menggapai masa
depan, sebenarnya telah disiapkan oleh para pendahulu bangsa ini. Hanya
bagaimana pemimpin dan komponen bangsa ini memahami dan mengamalkannya dalam
berbagai langkah, bekerja bersama mengejar masa depan, sebagai eja wantah dalam
mengarungi jembatan emas, yaitu kemerdekaan Indonesia tahun 1945 lalu.
Kepala
Daerah Menjadi Penjuru
Pembangunan
nasional sebenarnya adalah kumpulan pembangunan daerah. Dengan karasteristik
daerah masing-masing, kebijakan yang diterapkan bisa dipengaruhi oleh berbagai
perbedaan faktor. Namun apapun kebijakan yang akan diterapkan berdasar pada
otonomi daerah, tidak boleh saling bertentangan satu dengan lain. Konsepsi
kebijakan saling bermanfaat dan memanfaatkan antar daerah sangatlah penting. Kalau
ada istilah sister city antar kota
dari negara berbeda, maka sister province
harus terbentuk diantara propinsi diseluruh Indonesia.
Pemikiran
orisinil dan membumi dari para Kepala Daerah sangat diperlukan, karena
merekalah yang harus memahami terlebih dahulu kekuatan dan tantangan daerahnya
masing-masing.
Dibawah
ini adalah catatan Nia Elvina, S.Sos, Msi, Sekretaris Jurusan Sosiologi
Universitas Nasional, tentang paparan Dr.Soekarwo, Gubernur Jawa Timur. Paparan
tersebut dalam rangka kegiatan Presidential Lecture yang dilakukan di kampus
Universitas Nasional, dengan topik
“Membahas Politik dan Masa Depan Pembangunan Nasional Pasca Pemilihan Presiden
2014”. Dalam acara tersebut Dr.Soekarwo menyampaikan bahasan yang berjudul “Pengalaman
Empiris Pembangunan Sosial di Jawa Timur dan Dampaknya Bagi Masyarakat”. Selain Gubernur Jawa Timur, berbicara
pula Dr.TB Massa Djafar, Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS.
Gagasan
pemikiran Gubernur Jatim ini berangkat dari kegelisahannya terhadap kurang tepatnya
titik tolak pembangunan nasional kita, khususnya pasca Orde Lama. Gubernur
Jatim melihat bahwa ada kekurangan mendasar dari orde-orde pemerintahan setelah
orde lama, yaitu lebih mengedepankan ukuran atau sektor ekonomi dalam melakukan
pembangunan. Pembangunan sosial didalamnya pembangunan pendidikan, atau
pembangunan manusia Indonesia yang susila dan demokratis (jika meminjam istilah
Mohammad Hatta), kurang mendapatkan perhatian. Negara lebih berpusat pada
bagaimana mendatangkan investor dan memfasilitasi mereka secara besar-besaran,
yang sebenarnya menurut Gubernur Jatim ini, semakin mengarahkan kita kepada apa
yang disebut pengembangan pembangunan liberal. Jika ditarik lebih jauh, bisa
mendatangkan persoalan besar, bila demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berbasis
pada nilai liberalisme, siapa yang kuat modalnya itu yang semakin didukung dan
difasilitasi dengan berbagai kebijakan. Sedangkan masyarakat dengan modal
terbatas, akan sulit berkembang.
Berangkat
dari realitas dan pilihan atas strategi pembangunan yang terbaik bagi
masyarakat Jatim, maka Gubernur yang lebih akrab dipanggil Pakde Karwo, meyakini
bahwa nilai yang paling sesuai untuk menjadi dasar pembangunan sosial, ekonomi
dan politik negara, dalam konteks ini Propinsi Jatim adalah Pancasila. Ia
melihat bahwa dalam nilai Pancasila terkandung koperasi sosial atau gotong
royong dan semangat partisipatif yang dikenal dengan permusyawaratan. Itu yang
sangat perlu untuk mempercepat pembangunan, ujarnya.
Koperasi
sosial ini, untuk kasus Jatim ia mulai dengan memasukkan nilai ekonomi,
mengikuti pemikiran brilian the founding fathers, yaitu koperasi. Terutama
koperasi wanita yang dijadikan sebagai pionir dalam pengembangan koperasi yang
lebih luas nantinya. Pakde Karwo sepakat bahwa untuk melawan laju pesatnya
organisasi kapitalisme atau organisasi para pemilik modal besar ini, harus
melalui organisasi pula.
Dalam
hal pengejawantahan demokrasi Pancasila, terutama nilai permusyawaratan, dalam mengimplementasikan
setiap kebijakan yang dia ambil, Pakde Karwo seoptimal mungkin melibatkan
masyarakat luas dan semaksimal mungkin mendekati aspirasi mereka. Atau dalam
kacamata sosiolog, tindakan pemimpin merupakan perwujudan kemauan masyarakat.
Misalnya kasus penertiban stren kali Surabaya, dari hasil musyawarah dengan
masyarakat disepakati bahwa masyarakat yang berada dalam zona 12,5 m dari bibir
sungai akan pindah ke rumah susun yang sebelumnya telah disediakan. Padahal
dalam ketentuan UU kita, masyarakat yang wajib digusur dari bibir sungai yakni
masyarakat yang tinggal dalam zona 40 m dari bibir sungai. Dengan adanya
mekanisme musyawarah ini, maka konflik yang merusak antara petugas dari
pemerintah dengan masyarakat dapat dieliminir. Dari kasus ini Gubernur
Jatim menyadari pula bahwa musyawarah merupakan wujud demokrasi partisipatif.
Pandangan
sederhana, namun membumi dan berangkat dari pemahaman terhadap karakteristik
kehidupan sosial masyarakat setempat seperti apa yang diungkapkan Pakde Karwo,
pantas dijadikan rujukan secara nasional. Karena pada kenyataannya, saat ini
kata keterlibatan langsung masyarakat belum memiliki bentuk atau makna yang
jelas. Kesediaan para pemimpin disetiap tingkatan, seperti Kepala Daerah
Propinsi untuk berpikir, menggagas dan menciptakan makna keterlibatan rakyat
secara lebih riil, sangatlah diperlukan.
Dimasa
Pemilu seperti ini, bangsa kita berada dalam titik menentukan yang tidak bisa
ditarik kembali. Apabila para politisi dan pemimpin tidak peka terhadap dampak
yang terjadi dimasyarakat akibat kompetisi politik yang tidak sehat, maka bisa
membahayakan hubungan negara dengan rakyatnya. Apabila rakyat semakin muak dan
apatis menonton tayangan media yang sarat intrik politik saja, maka hal
terburuk yang bisa saja terjadi adalah, rakyat merasa bisa hidup sendiri tanpa
peran politik politisi yang seharusnya menjadi pemerintah mereka, atau lebih dikatakan
tepat sebagai pengelola masyarakat. Kalau yang terburuk ini yang terjadi, kita
semua akan berdosa kepada pendiri bangsa dan generasi penerus masa depan
Indonesia.
Semoga
Pemilu 2014 ini membawa perubahan kearah kemajuan, dan bukan kemunduran
peradaban bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar