Kekuasaan yang berlebihan cenderung korup, kira-kira demikian inti maksud perkataan diatas. Topik ini menjadi salah satu judul bab dalam buku Selalu Ada Pilihan, yang ditulis SBY.
Catatan didalam buku yang dibuat SBY tentang hal ini sungguh penting untuk direnungkan siapa saja yang akan atau sedang memiliki kekuasaan. Demikian pula bagi masyarakat, agar dapat melihat dengan obyektif mana pemimpin yang suka menyelewengkan kekuasaan yang digenggamnya. Dalam bab buku ini tampak jelas bagaimana perasaan SBY saat ada pihak yang “menggoda” dirinya agar melanggar konstitusi atau bahkan mengubahnya agar bisa maju lagi sebagai Presiden ditahun 2014. Atau bagaimana dengan perasaannya untuk mempertahankan sikap yang telah ditetapkan, tentang tidak akan majunya Ibu Ani Yudhoyono sebagai Calon Presiden. Sampai kepada pemahamannya, bahwa turun dari kursi kekuasaanpun seseorang harus menyiapkan dirinya dengan bijak, seperti gambarannya ketika turun dari pendakiannya kepuncak gunung Lawu yang tidak mudah.
Kekuasaan yang sejatinya
membawa kebaikan bagi kaumnya, memang sering mendapat godaan, sehingga
pemegangnya bisa lupa kepada sumpah yang pernah diucapkannya.
Kekuasaan yang berisi
tugas dan tanggungjawab, akan berubah menjadi sekedar sebuah kenikmatan,
apabila godaan itu berhasil menguasainya. Bahkan dalam keseharian, kekuasaan
itu sendiri sering disalahgunakan bukan oleh pemegang kekuasaan, namun oleh
lingkungan disekitar pemegang kekuasaan itu sendiri. Penyalah gunaan kekuasaan
tidak ada niat lain kecuali memperjuangkan kepentingan oknum atau kelompoknya
sendiri. Kekuasaan yang sudah tercemar seperti ini, tidak mungkin mampu
menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya untuk mensejahterakan umat atau
bangsa yang dipimpinnya. Contoh godaan penggunaan kekuasaan ini sudah terlalu banyak
kita lihat sehari-hari. Oleh karenanya tepat kalau SBY mengangkat topik ini
didalam bukunya, bukan saja untuk mengingatkan secara khusus kepada siapapun
yang nanti memiliki kekuasaan, namun juga lingkungan disekitar kekuasaan itu
serta masyarakat secara keseluruhan.
Apa Pengaruh Pemilu
Sejak awal bulan lalu
saya sempat berkeliling ke 11 (sebelas) kabupaten dan kota, antara Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Bali. Dua hal yang utama ingin saya rasakan selama perjalanan
itu. Pertama, bagaimana keseharian masyarakat ditengah suasana proses Pemilu
yang saatnya akan jatuh tidak lama lagi. Kedua, bagaimana secara umum pandangan
masyarakat terhadap para politisi yang akan mengikuti kompetisi didalam Pemilu
2014 ini.
Sejak mendarat di
Bandar udara Adisumarmo Solo, berkendara mobil, saya menyusuri jalan ke Sragen.
Sebelum bertemu dengan beberapa komponen masyarakat di sebuah kecamatan di
Sragen, terasakan setiap berbincang dengan masyarakat yang saya temui, mereka
tidak banyak memberikan komentar terhadap semakin dekatnya perhelatan pesta
demokrasi Pemilu 2014.
Disatu sisi menenangkan karena keseharian mereka tampak tidak terganggu, namun disisi lain terlintas kekhawatiran saya atas menurunnya semangat keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi dalam Pemilu nanti. Di Sragen saya mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kontribusinya didalam proses demokrasi yang sangat menentukan masa depan kehidupan politik tanah air. Dari Sragen, perjalanan berlanjut ke Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Surabaya, Malang, Blitar. Setelah dua hari berada dikegiatan meletusnya Gunung Kelud, dan dengan dibukanya kembali bandara Juanda Surabaya, saya kemudian menyeberang ke Bali, diantaranya Karangasem, Gianyar dan Denpasar. Dari propinsi Bali, saya kembali ke Jakarta, dan saat tulisan ini diterbitkan, saya kembali berkeliling di Jawa Tengah, antara lain Jogya, Magelang, Semarang dan Solo.
Disatu sisi menenangkan karena keseharian mereka tampak tidak terganggu, namun disisi lain terlintas kekhawatiran saya atas menurunnya semangat keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi dalam Pemilu nanti. Di Sragen saya mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kontribusinya didalam proses demokrasi yang sangat menentukan masa depan kehidupan politik tanah air. Dari Sragen, perjalanan berlanjut ke Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Surabaya, Malang, Blitar. Setelah dua hari berada dikegiatan meletusnya Gunung Kelud, dan dengan dibukanya kembali bandara Juanda Surabaya, saya kemudian menyeberang ke Bali, diantaranya Karangasem, Gianyar dan Denpasar. Dari propinsi Bali, saya kembali ke Jakarta, dan saat tulisan ini diterbitkan, saya kembali berkeliling di Jawa Tengah, antara lain Jogya, Magelang, Semarang dan Solo.
Dari perjalanan sebelumnya banyak kesimpulan yang saya dapatkan, yang sebagian sudah saya utarakan dimedia cetak ataupun televisi, seperti di JTV Madiun dan TVRI Bali. Kesimpulan pertama adalah bahwa keseharian masyarakat secara umum tidak terganggu oleh berbagai dinamika politik yang terjadi diantara gaduhnya persaingan antar politisi yang akan berkompetisi. Hal yang pertama ini sungguh menenangkan hati kita semua. Namun sebaliknya, tidak jarang saya mendengar jawaban masyarakat yang berat untuk didengar seperti, “Terserah saja mas, siapa saja Calegnya. Kami cari makan buat keluarga saja, siapapun tidak ada pengaruhnya”. Disinilah letak tanggungjawab politisi dipertaruhkan.
Politisi Harus Bertanggungjawab
Pemilu pada dasarnya
dilakukan agar negara bangsa ini semakin hari semakin baik. Dengan Pemilu tentu
kita semua berharap memiliki wakil-wakil rakyat di DPR juga di DPRD yang
semakin baik, semakin memahami dan mampu menjadi tempat aspirasi rakyat yang benar.
Demikian pula dalam Pemilu Presiden nanti. Sewajarnya bangsa ini berharap
memiliki Pemerintahan dan Presiden yang setiap masa semakin baik dari
sebelumnya. Kalau semua itu dirasa tidak bisa dicapai, maka Pemilu akan sangat
sia-sia untuk diadakan. Bukan saja menghabiskan anggaran negara yang notabene
uang rakyat cukup besar, belum lagi tersedotnya energi masyarakat dalam ikut
mengisi proses demokrasi itu. Sementara hasil yang diharapkan, tidak bisa
diraih.
Memang penyelenggara Pemilu telah ditetapkan yaitu Komisi Pemilihan
Umum. Namun kunci keberhasilan utama Pemilu terletak kepada apa yang dihasilkan
oleh Pemilu itu sendiri. Hasil yang diharapkan, sekali lagi adalah
penyelenggara negara yang harus semakin baik. Dan mereka semua adalah para
politisi negeri ini. Semangat rakyat para pemilih untuk memilih para calon
penyelenggara negara apakah Anggota DPR ataupun Presiden, sangat bergantung
kepada kualitas para calon sendiri. Apabila rakyat merasa memiliki harapan akan
semakin baiknya kehidupan mereka bila memilih seorang politisi yang dinilai
tepat, maka rakyat akan antusias datang ketempat-tempat bilik suara. Sebaliknya
apabila sejak dini mereka tidak melihat calon yang mereka percayai, atau bahkan
membenci karena sikap kesehariannya yang buruk, maka sulit mengharapkan
kontribusi rakyat demi suksesnya pesta demokrasi nanti.
Kembali kepada catatan SBY tentang menggodanya kekuasaan, sungguh mewarnai pendapat masyarakat yang saya temui hampir disetiap daerah. Para caleg yang mayoritas berasal dari para anggota DPR atau DPRD hasil Pemilu lalu, ataupun pejabat eksekutif seperti Gubernur, Bupati, Walikota, ataupun Menteri, masih saja menjadi sorotan masyarakat karena tudingan penyalah gunaan kewenangan kekuasaan yang mereka miliki. Adanya oknum anggota DPR yang memaksakan kehendaknya agar anggaran negara lebih dikucurkan didaerah pemilihannya. Adanya keluhan masyarakat terhadap oknum Kepala Daerah yang dinilai menggunakan anggaran daerah untuk kepentingan politiknya, seperti pengangkatan pegawai kontrak yang tidak sesuai aturan, sehingga dicurigai untuk mendapatkan dukungan dari hal itu. Ditambah lagi dengan ketidak bijakan para Caleg yang memasang atribut sembarangan ditempat-tempat yang mengganggu kegiatan masyarakat. Sikap para politisi yang seperti inilah yang bukan saja melahirkan antipati masyarakat, namun lebih jauh lagi bisa menggagalkan tujuan mulia diadakannya Pemilu setiap lima tahun sekali tersebut.
Tentu sikap negatif seperti catatan saya diatas bukan cerminan dari keseluruhan politisi yang akan berkompetisi nanti. Harapan terhadap lahirnya politisi yang semakin baik dinegeri ini harus terus kita pupuk dengan optimis. Dalam pernyataan dibeberapa media selama perjalanan, saya juga tekankan hal penting yang lain. Yaitu bahwa Pemilu adalah kompetisi antara para politisi. Jangan politisi bersikap salah sehingga melahirkan kompetisi diantara masyarakat. Masyarakat yang dipengaruhi secara negatif, akan menjadi pendukung fanatik yang irasional, sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi pertikaian horizontal antar masyarakat yang sungguh harus dihindari. Politisi boleh gencar menawarkan kapabelitas dirinya, namun tidak dengan cara dan sikap yang mengadu diantara rakyat pendukung.
Pada tanggal 3 Maret
yang lalu didepan sebuah pertemuan dengan para Staf, SBY kembali menegaskan
sikap, yang tidak salah bila diikuti oleh siapapun atau partai apapun yang akan
terjun kesebuah kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini. SBY mengatakan : “Dalam
kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini, saya akan berjuang sekuat tenaga
untuk menang. Namun saya tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kepatutan
dan konstitusi yang berlaku, hanya untuk menggapai kemenangan. Apalagi dengan
menggunakan kekuasaan yang sedang saya miliki seperti sekarang. Karena walau
seberat apapun, saya tetap ingin menjadi bagian dari siapapun yang memiliki
idealisme untuk membangun Partai Politik dan kehidupan Politik Indonesia yang
bersih dan lebih baik dimasa depan”.
Kesimpulan kedua saya,
ternyata kekuasaan memang sungguh menggoda. Jawabannya, terpulang kepada para
politisi dan para calon penyelenggara negara ini hasil Pemilu nanti. Dan itu
tinggal beberapa hari lagi. Semoga terhayati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar