Catatan, 23 Juli 2014
Proses Pemilihan Umum tahun 2014 yang dipuncaki oleh Pemilihan Presiden telah berlalu. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan keputusannya. Dalam keputusan yang dibacakan dalam suasana damai namun diwarnai ketegangan itu, Jokowi - Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pasangan yang mendapat suara lebih besar dari pasangan Prabowo - Hatta. Secara legal, saya tidak boleh mengatakan sudah ada pemenang yang pasti. Selain pasangan Prabowo-Hatta tampaknya belum bisa menerima keputusan itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum-pun pernah mengatakan bahwa keputusan KPU bukanlah keputusan mutlak. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memenuhi konstitusi, bahwa yang merasa keberatan atas putusan KPU, masih bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Proses Pemilihan Umum tahun 2014 yang dipuncaki oleh Pemilihan Presiden telah berlalu. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan keputusannya. Dalam keputusan yang dibacakan dalam suasana damai namun diwarnai ketegangan itu, Jokowi - Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pasangan yang mendapat suara lebih besar dari pasangan Prabowo - Hatta. Secara legal, saya tidak boleh mengatakan sudah ada pemenang yang pasti. Selain pasangan Prabowo-Hatta tampaknya belum bisa menerima keputusan itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum-pun pernah mengatakan bahwa keputusan KPU bukanlah keputusan mutlak. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memenuhi konstitusi, bahwa yang merasa keberatan atas putusan KPU, masih bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai
bagian dari masyarakat, saya pasti berharap proses Pemilu dengan puncak
Pemilihan Presiden ini bisa segera diputuskan secara kuat berdasarkan
konstitusi yang ada. Dengan demikian, perjuangan seluruh komponen bangsa ini
untuk menggapai masa depan bisa berjalan terus tanpa ada hambatan, seperti
kekosongan kepemerintahan seperti yang akhir-akhir ini sempat dilontarkan
pengamat.
Memuliakan
Demokrasi
Dinamika
perhitungan suara diruang KPU sebelum diputuskan jumlah pembagian suaranya,
sempat terhenti saat saksi pasangan Prabowo-Hatta menyatakan mundur dari
keikutsertaannya dalam proses perhitungan tersebut.
Alasan
utama dari pasangan Prabowo-Hatta adalah karena mereka punya data yang diyakini
kuat atas terjadinya ketidak benaran didalam proses pencoblosan dan perhitungan
suara dibeberapa daerah. Karena menurut mereka jumlahnya signifikan, selain
mencurigai adanya kecurangan, pasangan ini merasa suara rakyat yang seharusnya
didapatkan, banyak yang hilang.
Sebagai
orang awam, saya juga belum faham benar, apakah memang seharusnya laporan
kepada Bawaslu yang kemudian juga menjadi catatan Bawaslu, harus diselesaikan
dahulu oleh KPU sebelum dilakukan perhitungan suara final. Atau seperti yang
sering dinyatakan pejabat KPU, kalau ada keberatan, nanti saja diajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya kemudian, memang kejelasan atas peran dan
tindak lanjut catatan Bawaslu sebagai penanggung jawab pengawasan pemilu.
Sejauh mana kewenangan Bawaslu, dan kapan sebenarnya catatan Bawaslu harus
ditindak lanjuti.
Indonesia
masih akan terus mengadakan Pemilu dimasa depan. Semua hal itu harus terus
disempurnakan, sehingga tidak selalu melahirkan silang pendapat yang pasti
merugikan bangsa ini, Pemilu ini adalah taruhan dari kredibelitas bangsa,
didalam negeri maupun dunia internasional.
Saya
dan tentu masyarakat banyak berharap, langkah yang akan dilakukan pasangan
Prabowo-Hatta atas penolakannya tersebut tetap dalam koridor konstitusi yang
berlaku, dan bermakna bagi penyelenggaraan Pilpres yang lebih baik dimasa depan.
Apabila langkah tersebut benar-benar dilakukan pasangan Prabowo-Hatta untuk
memuliakan demokrasi, untuk menegakkan keadilan sebagai penghormatan kepada
suara rakyat, dan bukan sekedar memperebutkan kekuasaan; maka semua pihak,
apakah KPU, MK, termasuk pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sewajarnya memberikan
kesempatan dan penghargaan.
Secara
khusus, bagi KPU dan MK harus bersedia membuka diri, menerima keberatan dan
akhirnya memutuskan seadil-adilnya. Hal itu juga bernilai sebagai pemuliaan
kepada makna demokrasi.
Disisi
lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla harus juga bersikap bijak. Demi memuliakan
demokrasi pula, mereka harus mampu menahan diri, dan sesuai konstitusi bersedia
mengikuti seluruh proses yang mungkin saja masih akan diambil oleh KPU maupun
Mahkamah Konstitusi.
Kemunduran
Harus Dihentikan
Saya
yakin kedua pasangan yang berkompetisi kali ini memiliki idealisme yang sama
untuk memajukan bangsanya, termasuk kehidupan demokrasinya. Maka kita tidak
perlu berkecil hati atas apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Tentu
semua dinamika ini tidak terjadi begitu saja. Dinamika ini tidak berdiri
sendiri. Kekhawatiran terhadap kerasnya kompetisi Pilpres kali ini sudah banyak
diprediksi banyak pihak, termasuk pernyataan saya beberapa kali diwaktu yang
lalu.
Ini
sebuah kemunduran. Dengan hanya tampil dua pasangan, persaingan pasti akan
sangat keras. Apalagi kedua pasangan ini memiliki pendukung yang sangat aktif,
bahkan atraktif.
Pertanyaannya
kembali lagi, mengapa Parpol yang jumlahnya masih cukup banyak ini, hanya mampu
menampilkan dua pasangan Capres dan Cawapres ? Sudah sedemikian miskinkah kita
dengan kader pemimpin? Masih menjadi mazab pentingkah koalisi gendut atau
kurus? Sudah sedemikian takutkah Parpol untuk menyusun pemerintahan bila suara
partainya di Parlemen tidak gendut? Sudah sedemikian kurang percaya dirikah
Parpol terhadap kadernya bila memerintah?
Kalau
ketakutan itu yang menjadi alasan utamanya, maka sebaiknya segera dipikirkan
untuk melakukan amandemen undang-undang yang mengatur pembagian hak dan
kewajiban antara eksekutif dan legeslatif agar menjadi lebih wajar dan baik. Sehingga
keadaan sekarang yang janggal ini segera diakhiri. Pemerintah sebagai eksekutif
seperti begitu terbelenggu langkahnya oleh parlemen. Padahal Indonesia menganut
sistim Presidensiil pula.
Kalau
dalam setiap Pilpres kita memiliki minimal tiga pasangan saja, maka selain
tidak terlalu keras, head to head, namun
lebih penting dari itu, rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Jangan lagi
rakyat terpojokkan, harus memilih calon pemimpin yang mungkin tidak sesuai
dengan harapannya. Maka saya sering mengatakan, parpol seharusnya mendengarkan
dahulu aspirasi rakyat sebelum mengajukan calonnya. Demokrasi ini bukan hanya
milik Parpol, namun rakyatlah yang seharusnya paling besar mendapatkan manfaat.
Bahkan kemarin kita sempat khawatir apabila pemenang Pilpres kita sekarang ini
tidak bisa memenuhi salah satu pasal didalam undang-undang, dan terpaksa harus
mengubah pasal undang-undang tersebut melalui Sidang MPR.
Saya
hanya bisa mengatakan bahwa semua itu akan berubah, bila Partai Politik yang
ada ditanah air ini bersedia memperbaiki dirinya. Jangan sibuk memikirkan kepentingan
dirinya sendiri. Bahkan sibuk mencari kekuasaan semata. Namun secara konkrit
dan tidak hanya dibibir saja, memikirkan masa depan kehidupan politik dan
demokrasi Indonesia kearah yang
lebih matang dan bermartabat.
Siapapun
pasangan yang nanti akhirnya dilantik pada bulan Oktober sebagai Presiden dan
Wakil Presiden, saya jamin tidak ada jalan yang mulus dan mudah untuk dilalui.
Lebih mudah menggantikan kepemimpinan sebuah pemerintahan yang gagal, daripada pemerintahan
yang akan digantikan saat ini.
Indonesia
saat ini sedang berlari kencang dalam membangun dirinya. Dunia internasional
bukan saja semakin memperhitungkan, namun juga mengakui semakin kuatnya bangsa
dan negara Indonesia saat ini.
Jangan
karena sebuah proses demokrasi rutin seperti Pilpres ini, hanya karena nafsu
perebutan kekuasaan semata, kredibelitas Indonesia dengan Garuda Pancasilanya
runtuh.
Tanggalkan
acungan satu jari dan dua jari, kembalikan lima jari disetiap lenganmu.
Kembalikan jiwa kita semua kepada lima sila, Pancasila!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar