Catatan, 18 Mei 2014
Walau berjudul Indonesia Dalam Ujian Nasional, catatan saya kali ini tidak akan membahas nama Joko Widodo yang namanya masuk didalam soal ujian nasional SMA. Judul diatas benar-benar karena Indonesia saat ini sedang menjalani ujian nasionalnya. Ujian yang akan sangat menentukan, terjal tidaknya jalan mencapai masa depannya. Kalau salah menjawab ujian ini, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan gagal secara sistemik. Ingat pengalaman yang pernah dialami sebelumnya, bila kehidupan bangsa ini mengalami krisis, diperlukan waktu lama dan energi yang besar, untuk mengembalikannya kekondisi normal kembali. Krisis demi krisis yang dialami bangsa ini beberapa tahun silam, secara obyektif, hari ini telah terkembalikan, bahkan mampu mencapai banyak kemajuan diberbagai sendi kehidupan.
Walau berjudul Indonesia Dalam Ujian Nasional, catatan saya kali ini tidak akan membahas nama Joko Widodo yang namanya masuk didalam soal ujian nasional SMA. Judul diatas benar-benar karena Indonesia saat ini sedang menjalani ujian nasionalnya. Ujian yang akan sangat menentukan, terjal tidaknya jalan mencapai masa depannya. Kalau salah menjawab ujian ini, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan gagal secara sistemik. Ingat pengalaman yang pernah dialami sebelumnya, bila kehidupan bangsa ini mengalami krisis, diperlukan waktu lama dan energi yang besar, untuk mengembalikannya kekondisi normal kembali. Krisis demi krisis yang dialami bangsa ini beberapa tahun silam, secara obyektif, hari ini telah terkembalikan, bahkan mampu mencapai banyak kemajuan diberbagai sendi kehidupan.
Oleh karenanya pesta demokrasi
yang akan mencapai puncaknya kali ini, akan menjadi ujian sekaligus tantangan
yang sangat serius dan menentukan kelanjutan pembangunan nasional Indonesia.
Ujian Pemilu Legeslatif
Jalannya proses pesta demokrasi
diawali dengan pelaksanaan pemilihan umum legeslatif, untuk memilih wakil
rakyat di DPR Pusat, Propinsi, juga Kabupaten dan Kota. Bila kita berkata
jujur, sebenarnya saat ini lebih tepat dikatakan sebagai wakil partai politik,
daripada wakil rakyat. Hal ini bisa dilihat, begitu banyak calon wakil rakyat
yang tidak dikenal didaerah pemilihannya. Karena partai politik sering
menempatkan calonnya, bukan berdasar asal usulnya, namun sekedar pembagian
tempat semata. Tentu hal ini tidak berarti semua calon tidak dikenal rakyat
didaerah pemilihannya. Hal inilah salah satu ujian terhadap makna kedaulatan
rakyat yang sebenarnya. Saya menilai saat ini yang berjalan baru setengah
daulat rakyat. Rakyat baru memiliki daulat untuk memilih, sedangkan belum
sepenuhnya memiliki daulat untuk mencalonkan wakilnya. Daulat menentukan calon
wakil rakyat belum sepenuhnya terjadi karena partai politik belum secara benar menempatkan dirinya sebagai wadah
aspirasi rakyat. Dasar pemilihan calon oleh partai politik masih lebih
ditentukan oleh kemauan organisasi, bahkan restu pengurus utamanya.
Kembali ke pemilu legeslatif yang
sudah berlalu. Diwarnai berbagai cerita seperti permainan uang. Saya mencatat
sebagai permainan dan tidak berani menulis sebagai pelanggaran, karena sampai
saat ini belum ada satupun kasus permainan uang ini yang dianggap salah oleh
yang berwenang. Selain itu pemilu ini juga diwarnai oleh masih banyaknya pihak
yang melaporkan keberatannya ke MK. Dari yang terdengar, keberatan yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi, lebih banyak karena kepentingan pribadi calon
legeslatif yang merasa suaranya dicuri kawan sendiri. Bukan pelanggaran yang
dapat mengurangi makna demokrasi secara lebih besar, seperti money politics , serta etika pemilu yang
lain.
Bersama dengan catatan yang masih
berderet, KPU beberapa hari lalu telah mengetokkan palunya terhadap hasil
pemilihan umum legeslatif. Suka tidak suka, itulah faktanya.
Koalisi Kepentingan
Sebelum pemilu berlangsung, saya
pernah menulis dikoran ini, yang salah satunya berisi pemikiran bahwa sebaiknya
partai politik melakukan “koalisi” sebelum pemilu berlangsung. Tentu saya
maksudkan agar koalisi tersebut berdasarkan kepada kesamaan pandang terhadap
cara memperjuangkan pembangunan masa depan bangsa negara. Dengan koalisi
seperti itu, kemudian konsepsi bersama tersebut dijual keseluruh rakyat.
Sehingga rakyat sejak awal telah memiliki alasan kuat dalam menentukan
pilihannya. Pengalaman koalisi yang hanya berdasarkan kepada keperluan
pemenuhan suara dan kekuatan di DPR, seperti pengalaman pembuatan Setgab
kemarin, terbukti gagal. Bahkan banyak pihak yang mengatakan bahwa bertahannya
pemerintah, khususnya kabinet Indonesia Bersatu kedua ini lebih disebabkan
hanya oleh kebaikan SBY terhadap partai politik yang tergabung didalam
pemerintahan.
Namun apalah arti catatan saya
diatas. Hari ini kita menyaksikan proses “koalisi” yang tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya. Tidak salah kalau ada yang mengatakan, bahwa dalam politik yang
abadi hanyalah kepentingan. Bahkan banyak pula kemudian mempertanyakan, sudah
sedemikian besarkah nafsu kepentingan tersebut, sehingga mampu menggeser garis
sikap partai yang pernah dipegang teguh sebagai sebuah idealisme, kalau bukan
disebut ideologi. Saya tidak ingin mempermasalahkan pilihan yang sudah diambil
oleh partai politik saat ini, namun saya beranikan mencatat dengan harapan
dapat berguna sebagai bahan bacaan bagi pemahaman, sampai dimana tingkat
kualitas partai politik bangsa kita ini.
Salah satu contoh adalah berita
terbaru ber”koalisi”nya PDIP dengan Golkar. Kebetulan saya pernah diminta
menjadi wakil sekretaris litbang PDIP, dan mendampingi pribadi Megawati
beberapa waktu diawal reformasi. Bahkan saya pernah menjadi caleg terpilih
mewakili PDIP didaerah pemilihan kota Probolinggo dalam Pemilu 1999. Namun saya
tidak pernah duduk di DPR, karena memang saya tidak menghendakinya, walau
keputusan saya itu berbuah kemarahan almarhum mas Taufik Kiemas. Karena
keputusan saya tidak mau duduk di DPR itu diartikan almarhum, sebagai sama
dengan saya tidak mendukung mbak Megawati untuk maju jadi Presiden. Ilustrasi
ini saya ungkapkan, sekedar menggambarkan bahwa saya pernah bergaul dekat
dengan keluarga PDIP, dimana sampai sekarang masih cukup banyak tokoh-tokohnya
yang bergaul baik dengan saya. Kembali kepada berita berkoalisinya Golkar
dengan PDIP. Dulu saat saya masih bergaul disana, ada semacam slogan perjuangan
yang fasih diucapkan teman-teman PDIP, yaitu “bubarkan Golkar”. Bahkan pernah
pula slogan itu mempengaruhi keyakinan, sehingga saya pernah menulis disebuah
majalah dengan judul kalau tidak salah “Kalau PDIP berkoalisi dengan Golkar,
negara ini akan hancur”. Tentu yang saya maksud saat itu, lebih kepada yang
hancur adalah garis perjuangan sebuah partai politik. Jadi kalau hari ini PDIP
bisa bergandengan tangan dengan Golkar, bisa jadi bukan kemunduran, namun
sebaliknya mungkin dinilai sebagai sebuah kemajuan. Wallauhu ahlam.
Catatan lain adalah bergabungnya
PKB dengan PDIP. Semua mencatat sejarah pertentangan Megawati dengan almarhum
Gus Dur, yang puncaknya meledak dengan pelengseran Gus Dur dari kursi
kepresidenan pada tahun 2001. Semua juga mencatat, tidak mungkin PKB masih
berdiri seperti hari ini kalau bukan karena kepemimpinan dan kebesaran almarhum
KH Abdurahman Wahid. Keputusan bergabungnya PKB ke PDIP mungkin saja karena
dari surga, Gus Dur telah memaafkan pihak yang telah menyakitinya. Cerita kecil
lain juga sempat bergolaknya PPP sebelum akhirnya duduk manis berkoalisi dengan
Gerindra. Itulah pernik-pernik menarik geliat partai politik di tanah air saat
ini. Dari sini, silakan rakyat dan kita semua menilai, dimana letak tingkat
kualitas partai politik yang sementara ini ada di tanah air. Mungkin saja Reformasi
jilid dua memang sudah datang.
Pemilihan Presiden
Puncak dari semua pesta demokrasi
ini adalah pemilihan Presiden. Mengikuti jalannya “tawar menawar’ yang
berlangsung selama ini, tampaknya akan terjadi kemunduran dalam pemilihan
Presiden Indonesia kali ini, sejak era reformasi dicanangkan. Kemunduran yang
saya maksud adalah kemungkinan hanya tampilnya dua kandidat Presiden yang akan
berkompetisi nanti. Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 selalu diikuti oleh lebih
dari dua pasangan. Dari jumlah tentu harus kita katakan sebagai kemunduran.
Belum lagi kalau kita bicara daulat rakyat seperti diatas. Benarkah calon-calon
yang ada ini adalah hasil penyaringan yang dilakukan parpol terhadap aspirasi
rakyat, atau lebih karena ditentukan oleh pilihan parpolnya sendiri cq. Ketua
Umumnya? Kalau dikatakan sebagai hasil penyaringan aspirasi rakyat, mengapa
suara golput kali ini lebih besar dari parpol yang meraih suara terbanyak?
Mengapa PDIP sebagai peraih suara terbanyak, hanya mendapat kurang dari 19%. Ada yang mengatakan pemilihan wakil
rakyat atau Pileg berbeda dengan Pilpres. Kalau itu jawabannya, mengapa parpol
harus bersusah payah menjual Capresnya sebelum Pileg? Bahkan Partai Demokrat
mencoba dengan gaya beda, menjual sikap demokratisnya dengan mengadakan konvensi,
walau dengan ongkos yang tidak sedikit.
Kalau analisa pesimis saya
terjadi, maka bukan tidak mungkin Presiden kita nanti adalah sosok yang dipilih
bukan oleh mayoritas rakyat pemilih. Menurut KPU, jumlah pemilih nasional dalam
Pemilu 2014 ini adalah 186.612.255 orang, namun ada data lain mengatakan
185.822.507 orang. Tentu kita harus berharap, Presiden terpilih nanti minimal
mendapat suara rakyat sejumlah 92.911.255 orang. Itu kalau kita bermazab,
mayoritas adalah 50%+1. Tentu saya tidak menghitung bila yang dikatakan
mayoritas adalah setelah dikurangi golput, yang sebaiknya tidak ada walau hal
itu hak. Bagaimana bisa mengatakan bahwa tidak memilih itu bukan hak, kalau
rakyat merasa “dipaksa” memilih pilihan parpol dan bukan aspirasi mereka.
Demokrat bersikap atau tertinggal?
Banyak pihak berharap SBY dan
Demokrat ikut memiliki Capres didalam Pilpres kali ini. Politik memang bukan
matematika, namun keterbatasan Demokrat dimulai dengan duka akibat hanya mendapat
sekitar 10% suara yang setengah dari perolehan dalam Pemilu sebelumnya.
Ditambah dengan tidak berhasilnya strategi konvensi mendongkrak peroleh suara
partai dan mengangkat elektabilitas pesertanya bila dibanding dengan capres
partai lain. Walau mungkin saja nama Dahlan Iskan atau Anies Baswedan bisa
bersaing, namun dengan kepercayaan SBY kepada surveyor, rasanya berat bagi
Demokrat mengusulkan calonnya.
Bahkan sebenarnya didalam internal Demokrat
masih memiliki sosok-sosok yang pantas diajukan, seperti DR Soekarwo Gubernur
Jatim yang sarat prestasi. Namun kembali lagi perolehan suara partai dalam
Pileg, keteguhan terhadap keputusan proses konvensi, tidak memberi pintu cukup
lebar bagi Demokrat untuk bermain dalam Pilpres. Keputusan partai yang akan
dibuat melalui rapimnas yang waktunya sangat berdekatan dengan hari pendaftaran
Capres, tampaknya tidak bisa lagi ditunggu oleh parpol lain. Maka kalau SBY
saat ini lebih menunjukkan sebagai Presiden yang sedang bertugas, dibanding
larut dalam tawar menawar koalisi dan proses Pilpres, bisa dinilai sebagai
sebuah SIKAP PARTAI DEMOKRAT. Dan bukan berarti Demokrat tertinggal. Seperti
yang pernah diucapkan SBY, Demokrat tidak akan terlibat didalam politik
transaksional. Jadi sangat mungkin Demokrat akan lebih berkonsentrasi kepada
pembenahan internal partai selama lima tahun kedepan.
Mungkin saja banyak yang
kecewa bila memang sikap itu yang diambil Demokrat. Mungkin juga membuat kecewa
sekitar 10% rakyat pemilihnya. Namun kalaupun keputusan itu yang diambil
Demokrat, harus dijadikan contoh positif perkembangan politik nasional.
Mengakui kekalahan dengan kesatria, walau diluar pemerintahan, namun tetap akan
menjadi mitra pemerintah dalam membangun bangsa. Karena siapapun pemimpin
bangsa ini, bila dia bijak, akan tetap membutuhkan pengalaman pendahulunya. Jadi walaupun tertinggal, paling tidak Demokrat sudah bersikap.
Diluar itu semua, rakyat Indonesia
harus tetap menjadi pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar