Selasa, 31 Juli 2018

HUBUNGAN SBY DAN MEGAWATI DIMATA SAYA, HERU LELONO



Ada istilah, tak kenal, maka tak sayang.

Begitulah fakta dinamika hubungan antar manusia.
Interaksi manusia selalu ada yang mendasari. Interaksi bisa didasari oleh kepentingan bersama, atau kepentingan sendiri. Bahkan secara negatif, interaksi antar manusia bisa didasari oleh niat buruk salah pihak.

Kali ini saya tidak ingin berteori. 
Karena banyaknya pertanyaan dari para sahabat tentang "Bagaimana sebenarnya hubungan SBY dengan Megawati menurut mas Heru?", kali ini, setelah beliau berdua sudah tidak lagi menjabat di pemerintahan, dan saya sendiri sudah kembali menjadi pengangguran, akan saya ceritakan secara singkat tentang hubungan beliau berdua.
Tentu sesuai pertanyaan para sahabat diatas, isi cerita ini adalah versi yang saya ketahui serta penilaian saya pribadi. 
Dalam hal ini, saya akan bercerita secara jujur dan se-obyektif mungkin.   



Cerita ini berawal saat saya memutuskan berhenti bekerja mencari uang pada tahun 1998. Sebelumnya, sejak 1995-1998 saya bertugas sebagai Managing Director sebuah perusahaan operator selular, yang melayani wilayah Indonesia Timur, dan berkantor di Denpasar Bali. 
Tepatnya sekitar bulan April, saya tinggalkan Bali dan kembali ke Jakarta. Sementara keluarga saya tinggalkan di Bali, karena menunggu anak-anak kenaikan kelas pada bulan Juni. 

Ternyata di bulan Mei terjadi tragedi yang mengubah jalan hidup saya.

Tentang SBY

Saya mengenal SBY, karena beliau adalah sahabat seangkatan di AKABRI dengan kakak kandung saya Heru Sudibyo. Sama halnya bagaimana saya mengenal Prabowo Subiyanto. Hanya nasib yang membedakannya, ha3x. Kakak saya akhirnya purna tugas dengan membawa (hanya) satu bintang dipundaknya.
Saya kembali berinteraksi dengan SBY saat beliau menjadi Kasospol TNI, dan kebetulan kakak saya menjadi salah satu Paban Kasospol pada tahun 1998.

Tentang Megawati

Sebelum mencari nafkah di Bali, saya sempat bekerja cukup lama disebuah Perusahaan Konsultan.  Konsultan ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh keluarga, dan sahabat anak-anak Bung Karno. Ada almarhum mas TK, mas Guntur, Pak Suko Sudarso dan beberapa lagi.
Menjelang Kongres pertama lahirnya PDIP di Bali, saya sempat diajak berkumpul di ruang rapat kantor Konsultan tersebut. Disana ada Megawati, Pak Suko, Widjanarko Puspoyo, kalau tidak salah juga ada Yacob Tobing, Theo Syafei dan beberapa yang lain.
Melalui pak Suko, dikatakan bahwa mbak Megawati berharap mendapat bantuan kami-kami untuk membantu mbak Mega dari "dalam". Selain itu, pak Suko yang saya anggap sebagai senior saya, mengatakan "Dik, aku wis tuwo. Tolong dik Heru dampingi mbak Mega".
Oleh karenanya, sejak itu saya hampir selalu menemani mbak Megawati. 

Tentang Saya, dan Hubungan SBY dengan Megawati

Berlatar belakang konsultan, maka kami berusaha berpikir dan menggagas bagaimana PDIP nanti menjadi Partai yang modern, sesuai jiwa Pancasila, mampu menjadi wadah dan memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia.
Untuk itu semua, harus diawali dengan diadakannya Kongres Partai.

Perjuangan partai dimulai sejak itu. 

Saat itu pemerintah masih terasa enggan melihat Megawati dan partainya, setelah terjadi tragedi yang berawal dari berseterunya internal PDI, antara yang Pro Mega, dan yang Pro Suryadi, dimana Suryadi merasa mendapat dukungan pemerintah.
Saya membantu dan mendampingi mbak Mega untuk bisa mendapatkan ijin Kongres yang akan dilakukan di Bali pada tahun 1999. Dimana menurut saya, saat itulah PDIP lahir setelah dideklarasikan.
Selama perjalanan sebelum kongres sampai ijin keluar, saya mendampingi mbak Mega untuk bertemu beberapa pejabat keamanan pemerintah.
Bahkan saya pernah mendampingi, sekaligus menjadi sopir, saat mengantar mbak Megawati bertemu dan bertatap muka langsung dengan SBY yang saat itu sebagai Kasospol.
Melalui kakak saya, saat itu SBY mengatakan ingin berdiskusi dan berpikir, bagaimana masa depan demokrasi bangsa Indonesia bisa diselamatkan.
Saya juga mendampingi mbak Megawati bertemu pak Wiranto di rumah dinas Wisma Yani, sesaat sebelum berjalannya Kongres di Bali. Pembicaraannya lebih pada, bagaimana keamanan selama Kongres berlangsung bisa dijaga.

Singkatnya, hubungan Megawati dengan SBY mulai terjadi sejak pertemuan itu.

Akhirnya Kongres berlangsung di Bali. Karena waktu kongres sudah berdekatan dengan rencana Pemilu, kami "teman kantor konsultan", mengusulkan jajaran kepemimpinan PDIP berjumlah cukup besar. Dengan pertimbangan agar dengan cepat bisa melakukan konsolidasi disemua daerah (khas pikiran konsultan, yang berpikir demand dan supply).
Ternyata setelah palu diketok, mbak Mega menyampaikan kepengurusannya berjumlah 17 orang. Mengapa? tanya saya dalam hati. Ternyata angka 17 dianggap angka keramat.
Konsultan kecewa ! Ha3x. Tapi apa mau dikata kan?

Lalu saya diminta jadi Wakil Sekretaris Libang PDIP, yang dipimpin Kwik Kian Gie. 
Lalu saya dijadikan Caleg PDIP mewakili daerah Probolinggo Jatim dalam Pemilu 1999.
Lalu saya kampanye, nyewa Inul segala. Dulu terkenal video CDnya saat nyanyi diacara sunatan.
Lalu saya satu satunya Caleg PDIP di Tapal Kuda, istilah daerah di Jatim, yang menang.
Lalu saya menolak masuk DPR.
Lalu saya dimarahi alm Mas TK. Kata beliau "Kalau mas Heru tidak mau masuk DPR, berarti mas   Heru tidak mendukung mbak Mega jadi Presiden".
Lalu saya diam saja.

Alhasil, dalam 1999 PDIP mendapat suara terbanyak, sekitar 33%. Mbak Megawati bersemangat dan pendukungnya mendorong dengan kata "Megawati Harus Jadi Presiden".
Saya mulai kurang sependapat. Diotak saya sederhana saja. PDIP dapat 33%, artinya ada 67% yang bukan suara PDIP. Lha kalau yang 67% berkumpul, kan PDIP kalah. Tapi jawaban otak saya tadi tetap dibantah dengan kata "Lho dik, siapa partai yang lebih besar dari 33%".
Yo wis, begitu jawab hati saya.

Lalu almarhum Matori Abdul Djalil telpon saya, mengatakan "Her, segera bilang mbak Mega. Ternyata GusDur serius mau maju". Padahal Mbak Mega hakul yakin "MasDur dukung saya".

Alhasil lagi, Amien Rais di MPR, Gusdur maju, pak Wiranto mundur, dan akhirnya mbak Megawati kalah. Saat itu saya dan pak Suko berada ditempat 'rahasia' didekat gedung MPR, dan terus kontak dengan mas TK yang berada didalam gedung. Tapi suara kami sudah nyaris tidak didengar.
Masa suram bagi PDIP saat itu. Mendapat suara rakyat terbanyak, tapi tidak menjadi Presiden, tidak menjadi Ketua MPR, dan tidak menjadi Ketua DPR.
Oleh karenanya, saya pernah mengatakan, dan dimuat koran Rakyat Merdeka kalau tidak salah, bahwa demokrasi Indonesia rusak sejak 1999. 

Lalu mbak Mega menjadi Wakil Presiden, dengan hati masih berkata "amanah kongres PDIP, saya adalah Presiden".

Lalu GusDur di-impeach DPR yang mayoritas kursi milik PDIP, walau sikap almarhum GusDur sendiri juga berperan dalam kejatuhannya. 

Lalu Megawati atasnama konstitusi menjadi Presiden, dan berhak memilih Wapres. Mengapa saya katakan berhak? Karena Wapres dipilih DPR, dan DPR mayoritasnya PDIP.
Suatu malam sebelum pemilihan Wapres, saya mendampingi SBY bertemu (dipanggil Presiden) Megawati ke kediaman di jalan Tengku Umar.
SBY bertemu Megawati didampingi Sophan Sophiaan dan Arifin Panigoro.
Saya bertemu almarhum Mas TK.
Saya katakan ke Mas TK saat itu. Tolong mbak Mega diminta memilih SBY sebagai Wapres. Saya jamin, 2004 Mbak Mega akan dipilih rakyat menjadi Presiden lagi. Pertimbangan saya, bila SBY sebagai Wapres, dengan kemampuan, loyalitas dan pengalamannya, insyaAllah bisa membantu Pemerintah umumnya dan Megawati khususnya untuk membuat raihan positif pemerintah.
Lanjut saya, nanti 2009, SBY kita ajukan sebagai Capres dari PDIP. Dengan begitu, pembangunan bangsa ini bisa berlanjut.
Namun semua cerita ini sudah basi. Mega memilih Hamzah Haz, yang oleh mas TK dikatakan "Mbak Mega pan punya persoalan dengan GusDur. Jadi agar tidak kehilangan suara NU kita memilih Hamzah Haz". 
Saya ragu dan penuh tanya. Namun siapalah diriku ini?
Akibatnya (kalau ada yang sepakat bahwa hal ini dikatakan sebagai akibat), lahirlah berbagai Parpol dengan bendera yang sama, "nasionalis". 
Coba pembaca menyebut partai apa saja. Banyak kan?  
Menurut saya, dari sanalah mulai terjadi perpecahan suara para "nasionalis". Sampai sekarang ????

Lalu SBY diangkat menjadi Menkopolkam kabinetnya Megawati.
Lalu Megawati curiga, kalau-kalau SBY mau mencalonkan sebagai Capres Pemilu 2004. 
Lalu SBY tidak boleh ikut rapat.
Lalu SBY mengundurkan diri, karena takut ada keputusan rapat (yg beliau tdk ikut), tetapi tetap harus menjadi tanggungjawabnya sebagai Menko.

Padahal saat saya sebagai Sekjen LSM Gerakan Indonesia Bersatu, pada tahun 2001 mengundang SBY , yang ingin kami mohonkan menjadi Ketua Dewan Penasihat; SBY malah bicara ke-saya sebelumnya.
"Dik, saya kan Menterinya bu Mega, kalau nanti dipertemuan LSM-mu ada wartawan, lalu diplesetkan saya sedang kampanye ingin jadi Capres, kan saya dianggap melanggar etika organisasi. Dan bisa membuat Bu Mega marah".
"Kami hanya ingin mas SBY bersedia menjadi Penasihat kami", jawab saya.

Maka kalau bu Mega curiga, atau SBY terbukti tidak bisa melakukan tugasnya sebagai Menko misalnya,  bolehlah bu Mega marah kepada SBY. Dimana Presiden punya hak untuk itu. Tapi kalau ini?

Lalu setelah keluar dari Kabinet, 
apapun yang dilakukan SBY adalah hak beliau sebagai Warga Negara Indonesia. Mau jadi pengusaha kek, mau jadi penyanyi kek, mau bikin partai kek, mau jadi Presiden kek, itu semua adalah Hak WNI. 
Yang Marah pasti Salah, atau Takut Kalah !

Lalu SBY dipilih rakyat sebagai Presiden dalam Pemilu 2004.
Saya dan alm Mas TK masih juga berusaha "mendamaikan kemarahan" Megawati terhadap SBY. Semoga niat hati alm  mas TK saat itu tulus dan tidak berbeda dibelakang saya.
Selama SBY menjadi Presiden, dan saya diminta membantu sebagai Staf Khusus Presiden, tercatat dua kali saya diundang mas TK kekediaman di jalan Tengku Umar.
Dan disetiap pertemuan itu, mas TK selalu mengatakan, " Mas Heru, mbak Mega belum siap, tapi ada kemajuan, yang bertemu mas SBY biar mbak Puan dulu".

SBY mengatakan kepada saya (walau beliau Presiden), " Dik, kalau bu Mega bersedia, kamu atur pertemuan dimana saja, saya akan datang".
Dalam hati saya berkata, "Secara UU, seorang Presiden harus dilindungi. Tidak boleh berada ditempat yang sembarangan tanpa pengamanan. Tapi karena SBY Presiden, tetap saya jalankan".
Bahkan sudah pernah hampir terjadi. Saya ditunggu mas TK didaerah Gadog. Ternyata salah satu rumah beliau. Namun Tuhan belum mengijinkan. Sampai disana, saya hanya mendapat cerita dari mas TK, kalau mbak Mega belum bersedia.

Saya hanya bisa berdoa, Megawati dan SBY adalah para Presiden RI. Para panutan rakyat. Para panutan generasi penerus. 
Bagaimana mengharap rakyat bersatu, kalau panutannya sendiri berseteru??  

Semoga Allah membukakan hati mereka. Khususnya kepada yang belum terbuka.

Tentang Mas Taufik Kiemas

Saya punya cerita singkat dengan mas TK. Saat Jakarta terbakar 'kerusuhan', mas TK baru mendarat dibandara Cengkareng. Katanya sih baru berobat di Australia. Semua orang disana tidak bisa keluar dari area bandara.
Kebetulan kakak sepupu saya yang pejabat BRI juga baru mendarat, lalu telpon saya, "Ru, iso jemput aku di bandara naik motor?". Saya jawab "Gak iso liwat mas, banyak bakar-bakaran dijalan".
Lalu kita kirim mobil ambulance BRI untuk menjemput.
Berisi kakak sepupu saya, Mas TK dan salah seorang direktur Astra, ambulance dengan rotator melengking membawa dokter dan pasien "palsu" melewati berbagai rintangan dijalan seperti batu, potongan beton dan ban yang dibakar.
Alhamdulillah semua dokter dan pasien palsu tersebut selamat sampai dikediaman masing-masing.

Tentang Gus Dur

Kalau ceritanya tidak lucu dan sedikit konyol, bukan dengan Gus Dur kita berbincang.
Beliau sakit demam. Saya tengok ke Ciganjur bersama Jacob Tobing. Saya msuk dikamar dan duduk ditempat tidur disamping Gus Dur. Dimeja kecil ada pesawat telpon berwarna merah, tapi gagangnya ada disebelah bantal Gus Dur.

"Aku mau operasi mata nang Jerman. Tapi nek Kanselir Shroder gak mau terima saya, aku operasi nang Jepang ae", ujar Gus Dur.

"Terus piye Gus?", tanya saya.

"Yo paling sebulan aku wis waras", jawab GusDur.

"Trus Gus ?", kejar saya.

"Yo langsung mulih Indonesia, dan Habibie langsung tak ganti!", jawab pungkas GusDur.

Yang mengagetkan saya, Gus Dur lansung mengambil gagang telpon disamping bantalnya lalu berkata,

"Wis yo wawancarane".

Wahahahahahahahahahaaaaaaa, ternyata GusDur cerita tadi, mungkin biar didengar wartawan !

Dan pak Habibie terbukti diganti Gus Dur   !!!

Mendiang Gus Dur, sosok cerdas dimata saya.


Itu saja cerita saya kali ini.
Saya mohon maaf sebesar-besarnya bagi nama-nama yang tertulis di cerita saya ini, namun merasa bahwa isi cerita saya ini tidak seperti yang diharapkan. Atau malah saya dinilai berbohong.
Demi Allah, saya hanya ingin menceritakan apa yang saya alami dan pahami, atas bertubinya pertanyaan kepada saya selama ini.

Mungkin ini hanya sebagian kecil dari yang saya alami.
Kalau memang bisa membawa persatuan bagi semua, kapan-kapan saya akan cerita yang lain lagi.

Jayalah Indonesia kita semua!  


Rabu, 26 April 2017

BASUKI JADI PELAJARAN DINI


Singkat kata pertama, setelah janji pak Jokowi untuk jadi Gubernur DKI selama 5 tahun tidak jadi tertepati, maka sesuai konstitusi, naiklah pak Basuki sebagai Gubernur DKI pengganti (antar waktu). 
Nama lengkap beliau adalah Basuki Tjahaya Purnama (mohon maaf kalau saya salah tulis nama dengan benar), yang kemudian lebih tenar dipanggil BTP. Selanjutnya untuk memudahkan dalam membuat catatan, saya juga akan sebut nama beliau dengan BTP.

Awalnya tidak ada yang terlalu istimewa dari sosok BTP, selain beberapa kali berganti baju seragam Parpol, kalau tidak salah saya mencatat BTP pernah menjadi anggota Partai Indonesia Baru, lalu loncat ke Partai Golkar, lalu saya tidak tahu pasti apakah pernah jadi anggota Partai Gerindra. Lalu kalau tidak keliru, dimasa lalu beliau juga pernah jadi Bupati diBabel.
Saat itu ketenarannya memang tidak terlalu 'meroket', mungkin agak tertutup asap  'meroketnya' pak Jokowi yang terkesan sebagai sosok sederhana, santun, halus, jujur dan tidak brangasan.
Setelah pak Jokowi Gubernur dengan penampilan sederhana, merakyat dan halus tersebut terpilih menjadi Presiden RI, maka DKI memiliki Gubernur pengganti, bernama BTP.

Tidak perlu lama setelah BTP menjadi Gubernur DKI, cerita, berita yang seram-seram mendadak sering menguak. Cerita dan berita itu meletus, bagai penutup botol Champagne/sampanye yang terlontar setelah botolnya dikocok.
Diluar Jakarta, saya berpikir BTP ini selalu jadi berita, mungkin karena pemimpin DKI sebelumnya sederhana, halus; lalu mendadak dipimpin sosok yang ingin tegas namun dengan membentak dan memaki.
Saya yakin staf kantor gubernur atau siapa saja yang dimaki, pasti sakit hati, dan yang diam karena takut dipecat. Kalau dipecat, keluarganya makan apa, dan harus bagaimana lagi.
Kritik atas kekasaran yang ditunjukkan BTP datang dari berbagai pihak, namun nampaknya BTP seakan tidak peduli. Apalagi dibelakang sana, banyak yang nampak mendukung, dengan berbagai alasan, dan hanya mereka sendiri yang mengetahui.

Sebagai orang Jawa (tanpa bermaksud SARA, sekedar fakta bahwa saya bukan orang Sunda tapi Indonesia), saya sempat berucap ke istri, "BTP ini tinggal tunggu kena batunya".
Lha kok ternyata batu yang membuat BTP mulai tertatih adalah nafsu, emosi, arogansi dan mulutnya sendiri. Merasa mendapat dukungan kuat, bahkan banyak yang menilai konon dukungan itu juga datang dari pemerintah dan aparatnya sendiri, BTP mulai kehilangan kesadaran didalam mengelola ucapan dan tindakannya.
Hal itu dipuncakinya dengan menyinggung ayat Al'Quran, buku tuntunan umat Islam sedunia. Sebuah hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dan terjadi. 
Sebagai pemimpin, apalagi beliau bukan beragama Islam, rasanya banyak topik lain yang bisa digunakan sebagai pemanis bicara.
Akibatnya? Meledaklah kecaman dari berbagai pihak, tidak hanya dari umat Islam.

Singkat kata kedua, aparat hukum menetapkan BTP sebagai terdakwa penistaan Agama setelah penyidik melakukan penyidikan serta meminta banyak masukan termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia.

Bagaimana lalu dinamika peradilannya?, semoga sempat saya catat di lain judul segera.

Catatan saya kali ini hanya ingin membagi rasa, bahwa sebagai negara timur yang bermartabat, nampaknya yang diperlukan Indonesia adalah pemimpin yang beriman, bersih, jujur, adil dan memiliki kesantunan. 
Saya benci mendengar orang berkata "Pemimpin itu orangnya kasar, brangasan tidak apa-apa, asal bersih, daripada santun tapi korupsi". Kata-kata itu seolah menghina Tuhan. Apakah Tuhan hanya menciptakan dua jenis manusia seperti itu? Pasti ada kok, yang santun dan bersih, jujur, walau kurang disukai pencari rejeki haram.

Awalnya saya ikut senang, bahkan mungkin bangga, ada saudara sewarga negara Indonesia dari keturunan Tionghoa yang mampu menjadi pemimpin dinegeri ini. Tapi karakter dan output pribadi yang ditunjukkan BTP menjadi bumerang bagi yang lain.

Saya berharap huruhara sosial akibat BTP ini bukan mengendorkan semangat saudaraku keturunan Tionghoa untuk memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Jangan gundah menjadi warga negara Indonesia keturunan manapun, jangan ragu memeluk agama apapun, Indonesia aman terjaga didalam dekapan burung Garuda Pancasila.
Tetaplah saling bersaudara, tetaplah bangga menjadi Warga Negara Indonesia !

Jangan akibat perilaku seorang BTP (semoga beliau menyadari dan sudi memperbaiki diri), bangsa yang bermartabat dan terkenal damai ini terpecah olehnya. 

Desa Batuan, Rabu petang 26 April 2017  

   
  

   

Kamis, 12 Februari 2015

Kita Perlu Banyak Inovator, Bukan Provokator

Tulisan, 21 Maret 2013

Sejak tahun lalu dan waktu-waktu kedepan ini adalah tahun politik. Tahun-tahun yang biasanya akan diwarnai dengan meningkatkan kegiatan politik. Saya memakai kata itu karena kegiatan politik tidak harus menjadi panas walau meningkat. Seperti harapan mayoritas masyarakat Indonesia, meningkatnya kegiatan politik para politisi tidak harus menjadi panas. Karena panasnya suhu politik itulah yang sering mengakibatkan stabilitas sosial, keamanan, bahkan ekonomi mudah rusak terbakar. Disinilah perilaku dan tanggungjawab para politisi menjadi sangat menentukan. Bila Indonesia hari ini diisi oleh para politisi yang jauh lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan negaranya, maka kita semua bisa berharap bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat akan selalu tenteram, walau didalam tahun politik. Sebaliknya bila para politisi yang ada saat ini lebih berpikiran sempit dan mengutamakan kepentingan pribadinya, kelompoknya ataupun partainya, maka rakyat harus menyiapkan dirinya untuk menghadapi hari-hari sulit kehidupannya. Kepentingan sempit seperti itulah yang menciptakan seseorang berkarakter menyimpang, egois, anti sosial dan tak segan melanggar hukum dengan tindakan-tindakan yang inkonstitusional. Sebuah karakter negatif yang hanya akan melahirkan kesulitan umum, dimana pada akhirnya rakyatlah yang menjadi korban utama. Bangsa ini memang sedang dalam perjalanan panjangnya untuk membiasakan diri hidup didalam alam demokrasi sesuai karakter Indonesia sendiri. Banyak dinamika, banyak hal unik didalam masyarakat yang menyertai perjalanan itu. Para politisi berpolitik dengan cara dan gayanya masing-masing. Ada yang berpolitik santun dan beretika seperti ciri utama budaya bangsa Indonesia. Ada politisi bergaya preman, berpolitik dengan cara-cara kotor, yang tanpa sadar melanggar adat istiadatnya sendiri. Juga ada orang yang tidak ikut Partai Politik apapun, namun juga suka melakukan gerakan politik. Semua itu sebenarnya wajar saja terjadi disebuah perjalanan bangsa didalam mencari bentuk kehidupan politiknya. Tentu bisa dikatakan wajar kalau didalam perjalanan itu, para pelaku politik tidak secara sengaja menciptakan instabilitas politik, sosial bahkan berpengaruh negatif terhadap kehidupan ekonomi dan keseharian masyarakat.

Perlu Banyak Inspirator

Apapun dinamika politik serta siapapun pelaku politik ditanah air ini, haruslah bertujuan untuk membangun peradaban bangsa menuju kesejahteraan, keadilan dan ketenteraman hidup. Membangun Partai Politik dan kemudian menjadikan organisasi itu untuk berpolitik, memang benar untuk memperjuangkan sebuah kekuasaan. Namun hal yang jauh lebih penting dari semua itu adalah, untuk apa kekuasaan itu digunakan setelah didapatkan. Kekuasaan politik dalam sebuah negara haruslah digunakan untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyat. Kekuasaan yang didapatkan dengan sarana Partai Politik melalui proses demokrasi, tidak boleh lagi mengutamakan kepentingan lain diluar kepentingan bangsa dan negara, termasuk bukan bagi Partai Politiknya sendiri. Makna memperjuangkan kepentingan masyarakat mudah tampak bila yang dipikir dan dilakukan adalah mencari berbagai cara dan alternatif bagi kebutuhan sehari-hari kehidupan masyarakat. Disinilah diperlukan para politisi dan komponen masyarakat yang kaya inovasi, kaya gagasan, kaya pandangan jauh kedepan. Diperlukan para inspirator penggerak optimisme. Kita perlu sosok seperti kakak beradik Agus Zamroni dan Agus Sultoni yang tekun berusaha menciptakan kemudahan bagi para petani dengan menciptakan mesin panen, melalui wadah Jogya Inovasi Teknologi-nya. Kita perlu sosok seperti Irwan Hidayat yang menciptakan banyak obat-obatan dengan harga terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, melalui Sidomuncul-nya. Kita perlu sosok Daman yang tinggal diperbatasan Madiun. Seorang sarjana pertanian yang tak segan menjadi petani, menggarap lahannya sendiri dan menjadi Ketua kelompok tani, sekaligus menjadi pendorong anggota kelompoknya. Daman bukan saja bertani, namun juga tak henti melakukan penelitian diberbagai bidang pertanian, apakah varietas padi, pupuk dan metode penanaman padi. Mereka contoh kecil, bukan politisi, tidak mengejar kekuasaan, namun merekalah inspirator yang sebenarnya. Kita perlu para politisi yang berkarakter, berpikir dan mau melakukan hal-hal diatas. Sudahkah para politisi kita tergerak untuk menjadi bagian yang melahirkan inspirasi, sehingga mampu menggugah rasa optimisme bangsa ini untuk maju?. Tampaknya belum banyak jumlahnya. Kita masih mengharapkan lebih banyak lagi para politisi yang sekaligus inspirator seperti itu. Mungkin sekarang mereka sedang lebih sibuk menata dirinya, sibuk belajar menjadi politisi yang seharusnya. Namun waktu terus berjalan. Bangsa ini tidak bisa menunggu untuk berlari menggapai kejayaannya. Sungguh ironis bila karena terlambat, bangsa ini terus bergerak maju seolah tanpa memerlukan peran para politisinya.

Tidak Perlu Provokator

Memberikan inspirasi tentu dalam nilai positif untuk terus menumbuhkan rasa optimisme rakyat atas masa depan tanah airnya. Pikiran dan sikap yang inspiratif itu bisa dilakukan oleh siapa saja, dan dengan cara sesederhana apapun. Banyak segi dalam dunia politik yang bisa disiram dengan pikiran-pikiran sederhana yang inspiratif agar kehidupan demokrasi semakin matang dan semakin bermanfaat. Demokrasi tidak akan berjalan baik sesuai tujuan mulianya, bila diwarnai oleh perilaku politik yang kotor dan inkonstitusional. Sikap yang inspiratif dalam berpolitik pasti akan mendorong berbagai dinamika politik tercipta dengan tertib dan berwawasan mencari solusi. Karena wawasan mencari solusi dan bukan pertentangan itulah, para inspirator akan membawa pencerahan dan tidak ingin memicu lahirnya perpecahan dan kegaduhan politik. Inspirasi selalu melahirkan optimisme dan jalan keluar, bukan rasa putus asa dan perselisihan. Agus bersaudara, Irwan Hidayat dan Daman mencari jalan keluar dan bukan membuat rakyat putus asa dengan segala tantangan hidup yang dihadapinya.
Bertolak belakang dengan itu semua, kita masih sering mendengar adanya orang atau kelompok didalam masyarakat  yang seolah tidak suka dengan kedamaian. Ulah dan perilaku mereka beragam. Bisa dengan gampang melakukan pelanggaran hukum. Misalnya para perampok, koruptor, penipu dan pelaku kriminal lainnya. Ada pula yang bertindak dengan cara-cara tak beretika walau berada dibatas abu-abu hukum yang berlaku. Seperti penyebar gelap berita bohong, fitnah, makar serta mendorong masyarakat tak bersalah untuk melakukan pelanggaran hukum, dan sebagainya. Perilaku seperti inilah yang menyebabkan berbagai perpecahan didalam masyarakat. Perilaku mereka menyebarkan amarah dan kebencian diantara masyarakat. Memang tidak ada satupun negara didunia ini yang bersih dari orang atau kelompok sesat seperti ini. Seperti kehendak Tuhan dengan menciptakan setan untuk menguji keimanan manusia diseluruh muka bumi. Pekerjaan mereka adalah memberikan contoh buruk. Sikap mereka selalu mendorong, melakukan provokasi dan berusaha agar orang lain mengikuti kehendak menyimpangnya. Merekalah yang biasa disebut para provokator. Mereka dengan mudah mengatasnamakan  sebuah niat palsu sebagai latar belakang perbuatannya. Seorang koruptor dengan mudah melakukan perbuatannya dengan berkedok kekuasaan yang dimilikinya. Perampok dengan gampang beralasan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Provokator politikpun dengan enteng mengatakan bahwa perbuatanannya mengatas namakan rakyat.
Kebebasan sebagai ciri utama gerakan Reformasi seharusnya dimanfaatkan secara benar, dimana rakyat lebih leluasa memberikan kontribusi pikirannya. Sikap kritis masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai kekuasaan yang ada didalam pemerintah ataupun diluar pemerintah, harus terus dikembangkan. Sikap kritis sebagai bagian dari keikutsertaan masyarakat itulah yang diperlukan sebagai penyeimbang antara kebijakan kekuasaan dengan harapan masyarakat. Dengan begitu tidak ada lagi kekuasaan dimanapun dia berada, yang dapat digunakan dengan semena-mena.
Saat ini proses politik Pemilihan Umum sebagai realisasi dari kehidupan demokrasi di Indonesia telah dimulai. Namun masyarakat tentu sangat tidak berharap suhu politik menjadi panas, apalagi terbakar. Sejatinya rakyat hanya membutuhkan ketenangan dalam menjalani kehidupannya. Rakyat berharap para politisi, para tokoh masyarakat, dan komponen yang lebih mampu, bersedia membantu mereka dalam meningkatkan kesejahteraannya. Sejatinya rakyat membenci kegaduhan politik dan instabilitas sosial, apalagi keamanan. Secara khusus, rakyat tentu berharap Pemilu tahun 2014 nanti melahirkan Wakil Rakyat yang lebih baik, serta lebih memperjuangkan kepentingan mereka. Rakyat juga pasti ingin memiliki Presiden baru yang bisa berbuat lebih baik dari hari ini. Itu semua akan terjadi apabila proses politiknyapun berjalan dengan baik pula. Mereka memerlukan inspirasi positif, bukan provokasi yang mengganggu ketenangan. Mereka perlu inspirator, bukan provokator.



Jumat, 25 Juli 2014

ORANG JALANAN MASUK ISTANA


Menulis penggal perjalanan hidup, adalah bagian dari usaha mencari alat untuk mawas diri, sekaligus pertanggungjawaban sikap kepada keluarga, sahabat, dan masyarakat.

Atas keyakinan itulah, dengan bantuan sahabat sekaligus penulis, Fenty Effendi, saya berkesempatan mengungkapkan dengan terus terang, penggalan hidup saya khususnya dalam 16 tahun terakhir, sejak era yang katanya baru, yaitu era reformasi. Fenty dengan seksama mendengarkan cerita dari mulut saya sekitar tujuh bulan lebih. Kemudian bersama staf, dia melakukan "investigasi" terhadap berbagai ucapan saya dilapangan, untuk mencari kebenarannya. Sampai akhirnya dia berkesimpulan, bahwa cerita perjalanan hidup saya, yang akhirnya disusun dalam sebuah buku sederhana itu; tepat kalau diberi judul "Orang Jalanan Masuk Istana". Mungkin setelah melakukan penelitian, Fenty menilai bahwa saya memang lebih tepat diberi julukan seperti itu.

Isi buku ini mungkin saja tidak berarti apa-apa bagi orang lain. Namun bagi saya, selain sebagai alat mawas diri, juga sebagai pelepasan beban, setelah sekitar 16 tahun terlilit politik, seperti kata Fenty. Buku ini sengaja saya lepas bertepatan dengan bulan puasa. Bulan penuh ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Saya nilai tepat waktu, selain kesempatan saya untuk pamit kepada para sahabat, setelah sepuluh tahun mengabdi menjadi Staf Khusus Presiden SBY, juga dibulan ampunan ini saya berharap mendapat maaf dari pembaca yang mungkin saja kurang berkenan dengan ke-terusterangan saya.

Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu, dan akan beredar sekitar satu minggu setelah hari Raya Idhul Fitri 1435 H. Para sahabat dapat menemuinya ditoko buku Gramedia, Gunung Agung dan Toga Mas. Semoga buku ini mampu memberi sedikit manfaat bagi sahabat dan masyarakat.


Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1435 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin

PILPRES HARUS MEMULIAKAN DEMOKRASI


       Catatan, 23 Juli 2014

        Proses Pemilihan Umum tahun 2014 yang dipuncaki oleh Pemilihan Presiden telah berlalu. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan keputusannya. Dalam keputusan yang dibacakan dalam suasana damai namun diwarnai ketegangan itu, Jokowi - Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pasangan yang mendapat suara lebih besar dari pasangan Prabowo - Hatta. Secara legal, saya tidak boleh mengatakan sudah ada pemenang yang pasti. Selain pasangan Prabowo-Hatta tampaknya belum bisa menerima keputusan itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum-pun pernah mengatakan bahwa keputusan KPU bukanlah keputusan mutlak. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memenuhi konstitusi, bahwa yang merasa keberatan atas putusan KPU, masih bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya pasti berharap proses Pemilu dengan puncak Pemilihan Presiden ini bisa segera diputuskan secara kuat berdasarkan konstitusi yang ada. Dengan demikian, perjuangan seluruh komponen bangsa ini untuk menggapai masa depan bisa berjalan terus tanpa ada hambatan, seperti kekosongan kepemerintahan seperti yang akhir-akhir ini sempat dilontarkan pengamat.

Memuliakan Demokrasi

      Dinamika perhitungan suara diruang KPU sebelum diputuskan jumlah pembagian suaranya, sempat terhenti saat saksi pasangan Prabowo-Hatta menyatakan mundur dari keikutsertaannya dalam proses perhitungan tersebut.
Alasan utama dari pasangan Prabowo-Hatta adalah karena mereka punya data yang diyakini kuat atas terjadinya ketidak benaran didalam proses pencoblosan dan perhitungan suara dibeberapa daerah. Karena menurut mereka jumlahnya signifikan, selain mencurigai adanya kecurangan, pasangan ini merasa suara rakyat yang seharusnya didapatkan, banyak yang hilang.
Sebagai orang awam, saya juga belum faham benar, apakah memang seharusnya laporan kepada Bawaslu yang kemudian juga menjadi catatan Bawaslu, harus diselesaikan dahulu oleh KPU sebelum dilakukan perhitungan suara final. Atau seperti yang sering dinyatakan pejabat KPU, kalau ada keberatan, nanti saja diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya kemudian, memang kejelasan atas peran dan tindak lanjut catatan Bawaslu sebagai penanggung jawab pengawasan pemilu. Sejauh mana kewenangan Bawaslu, dan kapan sebenarnya catatan Bawaslu harus ditindak lanjuti.

Indonesia masih akan terus mengadakan Pemilu dimasa depan. Semua hal itu harus terus disempurnakan, sehingga tidak selalu melahirkan silang pendapat yang pasti merugikan bangsa ini, Pemilu ini adalah taruhan dari kredibelitas bangsa, didalam negeri maupun dunia internasional.
Saya dan tentu masyarakat banyak berharap, langkah yang akan dilakukan pasangan Prabowo-Hatta atas penolakannya tersebut tetap dalam koridor konstitusi yang berlaku, dan bermakna bagi penyelenggaraan Pilpres yang lebih baik dimasa depan. Apabila langkah tersebut benar-benar dilakukan pasangan Prabowo-Hatta untuk memuliakan demokrasi, untuk menegakkan keadilan sebagai penghormatan kepada suara rakyat, dan bukan sekedar memperebutkan kekuasaan; maka semua pihak, apakah KPU, MK, termasuk pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sewajarnya memberikan kesempatan dan penghargaan.
Secara khusus, bagi KPU dan MK harus bersedia membuka diri, menerima keberatan dan akhirnya memutuskan seadil-adilnya. Hal itu juga bernilai sebagai pemuliaan kepada makna demokrasi.

Disisi lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla harus juga bersikap bijak. Demi memuliakan demokrasi pula, mereka harus mampu menahan diri, dan sesuai konstitusi bersedia mengikuti seluruh proses yang mungkin saja masih akan diambil oleh KPU maupun Mahkamah Konstitusi.

Kemunduran Harus Dihentikan

    Saya yakin kedua pasangan yang berkompetisi kali ini memiliki idealisme yang sama untuk memajukan bangsanya, termasuk kehidupan demokrasinya. Maka kita tidak perlu berkecil hati atas apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini.
Tentu semua dinamika ini tidak terjadi begitu saja. Dinamika ini tidak berdiri sendiri. Kekhawatiran terhadap kerasnya kompetisi Pilpres kali ini sudah banyak diprediksi banyak pihak, termasuk pernyataan saya beberapa kali diwaktu yang lalu.
Ini sebuah kemunduran. Dengan hanya tampil dua pasangan, persaingan pasti akan sangat keras. Apalagi kedua pasangan ini memiliki pendukung yang sangat aktif, bahkan atraktif.
Pertanyaannya kembali lagi, mengapa Parpol yang jumlahnya masih cukup banyak ini, hanya mampu menampilkan dua pasangan Capres dan Cawapres ? Sudah sedemikian miskinkah kita dengan kader pemimpin? Masih menjadi mazab pentingkah koalisi gendut atau kurus? Sudah sedemikian takutkah Parpol untuk menyusun pemerintahan bila suara partainya di Parlemen tidak gendut? Sudah sedemikian kurang percaya dirikah Parpol terhadap kadernya bila memerintah?
Kalau ketakutan itu yang menjadi alasan utamanya, maka sebaiknya segera dipikirkan untuk melakukan amandemen undang-undang yang mengatur pembagian hak dan kewajiban antara eksekutif dan legeslatif agar menjadi lebih wajar dan baik. Sehingga keadaan sekarang yang janggal ini segera diakhiri. Pemerintah sebagai eksekutif seperti begitu terbelenggu langkahnya oleh parlemen. Padahal Indonesia menganut sistim Presidensiil pula.

Kalau dalam setiap Pilpres kita memiliki minimal tiga pasangan saja, maka selain tidak terlalu keras, head to head, namun lebih penting dari itu, rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Jangan lagi rakyat terpojokkan, harus memilih calon pemimpin yang mungkin tidak sesuai dengan harapannya. Maka saya sering mengatakan, parpol seharusnya mendengarkan dahulu aspirasi rakyat sebelum mengajukan calonnya. Demokrasi ini bukan hanya milik Parpol, namun rakyatlah yang seharusnya paling besar mendapatkan manfaat. Bahkan kemarin kita sempat khawatir apabila pemenang Pilpres kita sekarang ini tidak bisa memenuhi salah satu pasal didalam undang-undang, dan terpaksa harus mengubah pasal undang-undang tersebut melalui Sidang MPR.
Saya hanya bisa mengatakan bahwa semua itu akan berubah, bila Partai Politik yang ada ditanah air ini bersedia memperbaiki dirinya. Jangan sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Bahkan sibuk mencari kekuasaan semata. Namun secara konkrit dan tidak hanya dibibir saja, memikirkan masa depan kehidupan politik dan demokrasi  Indonesia kearah yang lebih matang dan bermartabat.

Siapapun pasangan yang nanti akhirnya dilantik pada bulan Oktober sebagai Presiden dan Wakil Presiden, saya jamin tidak ada jalan yang mulus dan mudah untuk dilalui. Lebih mudah menggantikan kepemimpinan sebuah pemerintahan yang gagal, daripada pemerintahan yang akan digantikan saat ini.

Indonesia saat ini sedang berlari kencang dalam membangun dirinya. Dunia internasional bukan saja semakin memperhitungkan, namun juga mengakui semakin kuatnya bangsa dan negara Indonesia saat ini.
Jangan karena sebuah proses demokrasi rutin seperti Pilpres ini, hanya karena nafsu perebutan kekuasaan semata, kredibelitas Indonesia dengan Garuda Pancasilanya runtuh.

Tanggalkan acungan satu jari dan dua jari, kembalikan lima jari disetiap lenganmu. Kembalikan jiwa kita semua kepada lima sila, Pancasila!   

MORAL REMISI MORAL


Catatan, 11 Maret 2012      

    
      Beberapa saat terakhir ini kita sering dihibur oleh sebuah kata menarik yaitu remisi, yang dalam bahasa Inggris ditulis remission. Dalam kamus Inggris–Indonesia kata remission artinya pengampunan atau permaafan. Kalau kalimatnya remission of taxes artinya doleansi pajak, atau mungkin maksudnya pengampunan pajak. Kalau maksud remisi  adalah pengampunan atau permaafan, artinya remisi adalah sebuah perbuatan yang ditujukan kepada seseorang yang pernah berbuat salah seberapapun tingkatnya. Saya membayangkan dikehidupan hari ini, dengan berbagai kemajuan teknologi yang sering disertai dengan tantangan memudarnya rasa saling peduli dan semakin menonjolnya egoisme, masih ada pihak yang masih bersedia memberikan maaf ataupun pengampunan. Alangkah indahnya, so sweet kata anak sekarang. Tentu pemberian maaf tersebut harus tepat waktu, tepat persoalan dan yang pasti harus tepat sasaran kepada siapa harus diberikan. Artinya remisi adalah sebuah niat atau perbuatan baik dengan catatan diberikan dalam kondisi dan sasaran seperti diatas. Agaknya tentang kata niat baik ini perlu diperbincangkan sedikit dikehidupan berbangsa kita hari ini, sebelum kita semakin panjang larut dalam remisi.

Diskursus BBM

      Selain tentang remisi, hari-hari ini perbincangan juga diisi oleh rencana koreksi rencana penyusunan anggaran pembangunan, terutama disebabkan oleh berubahnya asumsi akibat kondisi global yang hampir tidak mungkin dihindari oleh semua Negara, termasuk Indonesia. Dari beberapa  perubahan asumsi, yang paling banyak menjadi sorotan adalah kemungkinan penyesuaian harga BBM. Dengan asumsi harga minyak sebelumnya yang USD90/barrel , hampir pasti harus dikoreksi. Sebab hari-hari ini harga minyak dunia sudah lebih dari USD 110/barrel, dan harga ini masih tidak menentu. Fluktuasi harga ini salah satu penyebabnya terutama terjadi karena perseteruan politik antara Iran dengan Amerika dan Eropa, ditambah dengan Israel. 
Terasa tidak adil, tapi itulah konsekuensi kehidupan global yang tidak bisa dihindari oleh Negara manapun saat ini. Presiden SBY bahkan pernah menyatakan kegelisahan dan protesnya atas ketidak adilan ini kepada Sekjen PBB, terutama pandangannya bahwa segala persoalan antar Negara seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog yang damai. Tidak dengan kekerasan yang dapat berdampak negatif terhadap negara-negara lain yang bahkan tidak terlibat didalam persoalan yang terjadi. Kembali kepada persoalan rencana penyesuaian harga BBM. Kalau alternatif yang akhirnya diputuskan pemerintah bersama DPR nanti adalah menaikkan harga Premium menjadi Rp.6000,-, artinya harga itu kembali ke harga tahun 2008. Karena sampai pada tahun 2008, pemerintah pernah menurunkan harga BBM beberapa kali. Asumsi akibat berbagai perubahan keadaan haruslah disesuaikan, karena anggaran pembangunan haruslah dijiwai sebagai sebuah sarana membangun yang berkelanjutan. 
Artinya pemerintah harus  menyusun rencana anggaran yang menjangkau masa depan. Tidak dengan cara menyusun anggaran dan kebijakan yang hanya bagus saat sebuah rezim pemerintahan berkuasa, namun meninggalkan bom waktu kesulitan bagi pemerintah-pemerintah selanjutnya. 

Masa depan Indonesia tidak hanya tergantung dari pemerintah pimpinan SBY saja. Dengan keyakinan bahwa tidak ada pemerintah sebuah negara yang berniat memiskinkan bangsanya, maka pemerintah apalagi Presidennya pasti akan selalu berikhtiar untuk membangun kesejahteraan, keadilan dan kebaikan bangsanya, walau sering mendapat tantangan bahkan cacian dari lawan politiknya. Walaupun hasil niat baik itu mungkin tidak bisa dinikmatinya sendiri sampai masa jabatannya berakhir. Niat baik memang sulit dilihat kasat mata manusia, namun Tuhan Maha Mengetahui. Jadi seorang pengambil keputusan, apabila tetap dalam iman dan menjalankan amanah rakyat dengan jujur, tidak perlu ragu sedikitpun untuk menentukan kebijakan. Itu pula yang saat ini harus ditunjukkan oleh pemerintah. 
Sekitar bulan Oktober tahun 2005 saat pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, Presiden SBY sebelum menandatangani keputusan itu menceritakan kegundahannya, karena belum mendapatkan penjelasan yang utuh dari para pembantunya tentang konsepsi kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat berekonomi rendah yang hampir pasti paling terdampak. 

SBY mengatakan kepada saya “Kompensasi itu harus diberikan, karena masa muda saya pernah merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi di Pacitan. Saya gundah karena mungkin ada orang lain yang tidak pernah merasakan”

Seperti kata SBY sendiri bahwa dirinya selain memiliki perasaan, tetapi juga punya logika. Kalau seseorang hanya mengandalkan perasaan atau emosinya  saja, maka sering sikapnya menjauh dari logika umum. Itulah yang terjadi saat itu. Sebagai manusia biasa, SBY harus mengelola perasaannya untuk tidak mengalahkan logikanya. Memutuskan anggaran untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat yang paling membutuhkan, adalah realisasi dari pengelolaan perasaan sebagai manusia biasa dan logika sebagai pemimpin Negara. Pengelolaan perasaan dan logika itu pula yang mewarnai keputusan Pemerintah untuk menurunkan beberapa kali harga BBM ditahun 2008. 
Hal itu kita juga lihat hari ini. Dengan berbagai kondisi yang ada, maka logika mengatakan harus ada perubahan, dan salah satunya dimungkinkan terjadinya penyesuaian harga BBM. Sekali lagi logika tadi tentu dilandasi oleh pemahaman bahwa apa yang diputuskan hari ini, akan sangat mempengaruhi perjalan pembangunan dimasa depan. Karena masih ada perasaan diluar logika tadi, maka Presiden memutuskan untuk tetap memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang paling merasakan, dengan menambah anggaran bantuan dan memperluas cakupannya. Walau apabila dicermati dengan hati terbuka, dampak penyesuaian kali ini tampaknya tidak akan seberat yang dirasakan saat penyesuaian harga BBM pada akhir 2005. Mengapa? Bukan hanya karena apabila benar harga BBM Premium disesuaikan kembali Rp.6000,- seperti harga pada tahun 2008. Namun bukankah hari ini kondisi ekonomi kita semakin baik, termasuk tingkat daya beli masyarakat. Kita memang harus sadar bahwa selama ini masyarakat sudah terbiasa dengan membeli BBM dengan harga Rp.4500,-. 
Memang harus ada perencanaan pengeluaran yang baru apabila ada perubahan harga. Membiasakan diri atau menyesuaikan dengan keadaan memang akan selalu terjadi, namun bila keputusan itu untuk kepentingan masa depan ekonomi yang lebih baik, maka insyaAllah transisi membiasakan diri itu tidak berlangsung panjang. Sekali lagi, niat baik memang bukan hal yang mudah. Walau tidak lagi bisa jadi Capres RI 2014, logikanya kalau dituduh mencari citra, SBY bisa saja tidak harus repot menyiapkan koreksi anggaran, menyiapkan anggaran untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, namun cukup diam, walau akan melahirkan kesulitan bagi pemerintah dan Presiden penggantinya nanti.

Moral Remisi

      Salah satu persoalan adalah apabila anggaran subsidi terlalu berlebihan nilainya, yang akan berakibat pada semakin sedikitnya anggaran untuk pembangunan. Keputusan pemerintah dengan masih memberikan subsidi, karena pemahaman adanya kelompok masyarakat yang masih harus dibantu kehidupannya. Apalagi dari APBN saat ini, pemerintah pusat tidak memiliki ruang yang cukup leluasa untuk menggunakannya. 
Atas keputusan politik, 20% dari APBN harus disisihkan untuk Kementerian Pendidikan, lebih dari 30% harus dibagikan ke daerah. Maka dengan terbatasnya bagian yang bisa dikelola, pemerintah pusat berusaha keras untuk meningkatkan besaran APBN. Salah satu sumber penting dari anggaran Negara adalah dari pajak masyarakat, apakah perorangan terlebih lagi dari perusahaan. 
Ekonomi Indonesia saat ini baik, kalau tidak dikatakan sangat baik dibanding dengan Negara-negara lain. Tumbuhnya ekonomi ini pasti juga membawa berkah tambahnya keuntungan perusahaan-perusahan di Indonesia khususnya perusahaan besar. Perusahaan bermodal lebih besar pasti merasakan keuntungan lebih besar pula. Kalau negara kemudian tidak mendapatkan tambahan sumber anggaran untuk membangun kesejahteraan rakyat dari sisi pajak perusahaan, pasti hak rakyat tadi lari keoknum petugas pajak yang dipenjara dan yang saat ini sedang diperiksa penegak hukum. 
Dengan memohon maaf, saya ingin menyebut nama Sdr. Gayus. Kalau Gayus telah menerima vonis pengadilan, artinya kesalahannya terbukti, yaitu membantu pengusaha untuk mengurangi kewajiban pajaknya yang sebenarnya menjadi hak Negara untuk mensejahterakan rakyat. Pertanyaannya, kalau kesalahan Gayus terbukti, apakah bukan berarti kejahatan pengusahanya juga terbukti? Tapi mana mereka? Mari kita tunggu. Vonis Gayus baru turun, teman seprofesinya ditangkap, terus ada satu lagi. Kalau terbukti, berarti pengusahanya banyak juga yang ngemplang pajak. 
Inilah contoh kejahatan koruptor. Mereka pengkhianat bangsa. Anggaran hak rakyat untuk meningkatkan kesejahteraannya, dicolong demi menggendutkan perutnya sendiri. Mereka pelanggar berat hak azasi manusia. Mereka harus dihukum berat. Nah, ini dia. 

Kembali kekawan saya yang bernama remisi. Kalau remisi perlu diberikan kepada koruptor pelanggar hak azasi manusia dengan alasan menghormati hak azasi koruptor, apakah karena koruptor bukan manusia? Setankah mereka?. Para ahli hukum sebaiknya berbicara banyak saat sebuah kasus korupsi sedang disidangkan saja. Namun kalau sudah ada vonis, dan ingin menghormati hukum, seorang terhukum koruptor, tetap saja dia pelanggar hak azasi manusia. Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur DKI yang menunda pajak bagi warteg dan sejenisnya. Ditunda saja sampai para pengusaha kakap pengemplang pajak ditangkap dan melunasi pajaknya. 

Mari kita berlomba berbuat baik, dimulai dengan berniat baik. Kalau pemerintah merencanakan memperbaiki anggaran negara, semata karena ingin pembangunan ini berkelanjutan. Kalau pemerintah memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, semata karena mereka memang membutuhkan. Kalau pemahaman pemerintah terhadap keadaan masyarakat yang terbatas ekonominya itu dinilai sama dengan tidak mau memahami keinginan politisi yang mementingkan dirinya sendiri, sebaiknya pemerintah terus melangkah dengan teguh dan tetap jujur dalam menentukan kebijakan. Disanalah tampak, mana moral sejati dan mana moral remisi.
  



  


AWAS, KEKUASAAN ITU MENGGODA


Catatan, 6 Maret 2014

Lord Acton berkata, Power tends corrupt, Absolute power corrupts absolutely


Kekuasaan yang berlebihan cenderung korup, kira-kira demikian inti maksud perkataan diatas. Topik ini menjadi salah satu judul bab dalam buku Selalu Ada Pilihan, yang ditulis SBY.

Catatan didalam buku yang dibuat SBY tentang hal ini sungguh penting untuk direnungkan siapa saja yang akan atau sedang memiliki kekuasaan. Demikian pula bagi masyarakat, agar dapat melihat dengan obyektif mana pemimpin yang suka menyelewengkan kekuasaan yang digenggamnya. Dalam bab buku ini tampak jelas bagaimana perasaan SBY saat ada pihak yang “menggoda” dirinya agar melanggar konstitusi atau bahkan mengubahnya agar bisa maju lagi sebagai Presiden ditahun 2014. Atau bagaimana dengan perasaannya untuk mempertahankan sikap yang telah ditetapkan, tentang tidak akan majunya Ibu Ani Yudhoyono sebagai Calon Presiden. Sampai kepada pemahamannya, bahwa turun dari kursi kekuasaanpun seseorang harus menyiapkan dirinya dengan bijak, seperti gambarannya ketika turun dari pendakiannya kepuncak gunung Lawu yang tidak mudah.

Kekuasaan yang sejatinya membawa kebaikan bagi kaumnya, memang sering mendapat godaan, sehingga pemegangnya bisa lupa kepada sumpah yang pernah diucapkannya.
Kekuasaan yang berisi tugas dan tanggungjawab, akan berubah menjadi sekedar sebuah kenikmatan, apabila godaan itu berhasil menguasainya. Bahkan dalam keseharian, kekuasaan itu sendiri sering disalahgunakan bukan oleh pemegang kekuasaan, namun oleh lingkungan disekitar pemegang kekuasaan itu sendiri. Penyalah gunaan kekuasaan tidak ada niat lain kecuali memperjuangkan kepentingan oknum atau kelompoknya sendiri. Kekuasaan yang sudah tercemar seperti ini, tidak mungkin mampu menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya untuk mensejahterakan umat atau bangsa yang dipimpinnya. Contoh godaan penggunaan kekuasaan ini sudah terlalu banyak kita lihat sehari-hari. Oleh karenanya tepat kalau SBY mengangkat topik ini didalam bukunya, bukan saja untuk mengingatkan secara khusus kepada siapapun yang nanti memiliki kekuasaan, namun juga lingkungan disekitar kekuasaan itu serta masyarakat secara keseluruhan.

Apa Pengaruh Pemilu

      Sejak awal bulan lalu saya sempat berkeliling ke 11 (sebelas) kabupaten dan kota, antara Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Dua hal yang utama ingin saya rasakan selama perjalanan itu. Pertama, bagaimana keseharian masyarakat ditengah suasana proses Pemilu yang saatnya akan jatuh tidak lama lagi. Kedua, bagaimana secara umum pandangan masyarakat terhadap para politisi yang akan mengikuti kompetisi didalam Pemilu 2014 ini.
Sejak mendarat di Bandar udara Adisumarmo Solo, berkendara mobil, saya menyusuri jalan ke Sragen. Sebelum bertemu dengan beberapa komponen masyarakat di sebuah kecamatan di Sragen, terasakan setiap berbincang dengan masyarakat yang saya temui, mereka tidak banyak memberikan komentar terhadap semakin dekatnya perhelatan pesta demokrasi Pemilu 2014. 
Disatu sisi menenangkan karena keseharian mereka tampak tidak terganggu, namun disisi lain terlintas kekhawatiran saya atas menurunnya semangat keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi dalam Pemilu nanti. Di Sragen saya mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kontribusinya didalam proses demokrasi yang sangat menentukan masa depan kehidupan politik tanah air. Dari Sragen, perjalanan berlanjut ke Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Surabaya, Malang, Blitar. Setelah dua hari berada dikegiatan meletusnya Gunung Kelud, dan dengan dibukanya kembali bandara Juanda Surabaya, saya kemudian menyeberang ke Bali, diantaranya Karangasem, Gianyar dan Denpasar. Dari propinsi Bali, saya kembali ke Jakarta, dan saat tulisan ini diterbitkan, saya kembali berkeliling di Jawa Tengah, antara lain Jogya, Magelang, Semarang dan Solo.

Dari perjalanan sebelumnya banyak kesimpulan yang saya dapatkan, yang sebagian sudah saya utarakan dimedia cetak ataupun televisi, seperti di JTV Madiun dan TVRI Bali. Kesimpulan pertama adalah bahwa keseharian masyarakat secara umum tidak terganggu oleh berbagai dinamika politik yang terjadi diantara gaduhnya persaingan antar politisi yang akan berkompetisi. Hal yang pertama ini sungguh menenangkan hati kita semua. Namun sebaliknya, tidak jarang saya mendengar jawaban masyarakat yang berat untuk didengar seperti, “Terserah saja mas, siapa saja Calegnya. Kami cari makan buat keluarga saja, siapapun tidak ada pengaruhnya”. Disinilah letak tanggungjawab politisi dipertaruhkan.

Politisi Harus Bertanggungjawab

     Pemilu pada dasarnya dilakukan agar negara bangsa ini semakin hari semakin baik. Dengan Pemilu tentu kita semua berharap memiliki wakil-wakil rakyat di DPR juga di DPRD yang semakin baik, semakin memahami dan mampu menjadi tempat aspirasi rakyat yang benar. Demikian pula dalam Pemilu Presiden nanti. Sewajarnya bangsa ini berharap memiliki Pemerintahan dan Presiden yang setiap masa semakin baik dari sebelumnya. Kalau semua itu dirasa tidak bisa dicapai, maka Pemilu akan sangat sia-sia untuk diadakan. Bukan saja menghabiskan anggaran negara yang notabene uang rakyat cukup besar, belum lagi tersedotnya energi masyarakat dalam ikut mengisi proses demokrasi itu. Sementara hasil yang diharapkan, tidak bisa diraih. 
Memang penyelenggara Pemilu telah ditetapkan yaitu Komisi Pemilihan Umum. Namun kunci keberhasilan utama Pemilu terletak kepada apa yang dihasilkan oleh Pemilu itu sendiri. Hasil yang diharapkan, sekali lagi adalah penyelenggara negara yang harus semakin baik. Dan mereka semua adalah para politisi negeri ini. Semangat rakyat para pemilih untuk memilih para calon penyelenggara negara apakah Anggota DPR ataupun Presiden, sangat bergantung kepada kualitas para calon sendiri. Apabila rakyat merasa memiliki harapan akan semakin baiknya kehidupan mereka bila memilih seorang politisi yang dinilai tepat, maka rakyat akan antusias datang ketempat-tempat bilik suara. Sebaliknya apabila sejak dini mereka tidak melihat calon yang mereka percayai, atau bahkan membenci karena sikap kesehariannya yang buruk, maka sulit mengharapkan kontribusi rakyat demi suksesnya pesta demokrasi nanti. 

Kembali kepada catatan SBY tentang menggodanya kekuasaan, sungguh mewarnai pendapat masyarakat yang saya temui hampir disetiap daerah. Para caleg yang mayoritas berasal dari para anggota DPR atau DPRD hasil Pemilu lalu, ataupun pejabat eksekutif seperti Gubernur, Bupati, Walikota, ataupun Menteri, masih saja menjadi sorotan masyarakat karena tudingan penyalah gunaan kewenangan kekuasaan yang mereka miliki. Adanya oknum anggota DPR yang memaksakan kehendaknya agar anggaran negara lebih dikucurkan didaerah pemilihannya. Adanya keluhan masyarakat terhadap oknum Kepala Daerah yang dinilai menggunakan anggaran daerah untuk kepentingan politiknya, seperti pengangkatan pegawai kontrak yang tidak sesuai aturan, sehingga dicurigai untuk mendapatkan dukungan dari hal itu. Ditambah lagi dengan ketidak bijakan para Caleg yang memasang atribut sembarangan ditempat-tempat yang mengganggu kegiatan masyarakat. Sikap para politisi yang seperti inilah yang bukan saja melahirkan antipati masyarakat, namun lebih jauh lagi bisa menggagalkan tujuan mulia diadakannya Pemilu setiap lima tahun sekali tersebut. 

Tentu sikap negatif seperti catatan saya diatas bukan cerminan dari keseluruhan politisi yang akan berkompetisi nanti. Harapan terhadap lahirnya politisi yang semakin baik dinegeri ini harus terus kita pupuk dengan optimis. Dalam pernyataan dibeberapa media selama perjalanan, saya juga tekankan hal penting yang lain. Yaitu bahwa Pemilu adalah kompetisi antara para politisi. Jangan politisi bersikap salah sehingga melahirkan kompetisi diantara masyarakat. Masyarakat yang dipengaruhi secara negatif, akan menjadi pendukung fanatik yang irasional, sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi pertikaian horizontal antar masyarakat yang sungguh harus dihindari. Politisi boleh gencar menawarkan kapabelitas dirinya, namun tidak dengan cara dan sikap yang mengadu diantara rakyat pendukung.

Pada tanggal 3 Maret yang lalu didepan sebuah pertemuan dengan para Staf, SBY kembali menegaskan sikap, yang tidak salah bila diikuti oleh siapapun atau partai apapun yang akan terjun kesebuah kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini. SBY mengatakan : “Dalam kompetisi politik seperti Pemilu 2014 ini, saya akan berjuang sekuat tenaga untuk menang. Namun saya tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kepatutan dan konstitusi yang berlaku, hanya untuk menggapai kemenangan. Apalagi dengan menggunakan kekuasaan yang sedang saya miliki seperti sekarang. Karena walau seberat apapun, saya tetap ingin menjadi bagian dari siapapun yang memiliki idealisme untuk membangun Partai Politik dan kehidupan Politik Indonesia yang bersih dan lebih baik dimasa depan”.

Kesimpulan kedua saya, ternyata kekuasaan memang sungguh menggoda. Jawabannya, terpulang kepada para politisi dan para calon penyelenggara negara ini hasil Pemilu nanti. Dan itu tinggal beberapa hari lagi. Semoga terhayati.