Catatan, 29 September 2013
Membaca ratusan kali transkrip pidato Bung Karno dihari ketiga sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, tentang dasar Indonesia merdeka; yang kemudian menjadi Pancasila, seakan tak pernah habis kita menggali inspirasi dari isi kalimat-kalimat yang terucap. Kehadiran seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter pasti akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa yang dipimpinnya. Walau karakter seorang pemimpin sering tidak selalu tepat disetiap jaman dengan kondisinya, namun bicara kemerdekaan Indonesia saat itu, sulit mencari sosok berkarakter kuat dan tepat seperti Bung Karno. Secara khusus saat bicara tentang dasar Indonesia merdeka, kalimat-kalimat Bung Karno sungguh menggelorakan semangat bangsa ini untuk tegap membusungkan kemampuannya untuk merdeka. Merdeka lahir batin untuk membangun tanah airnya Indonesia.
Membaca ratusan kali transkrip pidato Bung Karno dihari ketiga sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, tentang dasar Indonesia merdeka; yang kemudian menjadi Pancasila, seakan tak pernah habis kita menggali inspirasi dari isi kalimat-kalimat yang terucap. Kehadiran seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter pasti akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa yang dipimpinnya. Walau karakter seorang pemimpin sering tidak selalu tepat disetiap jaman dengan kondisinya, namun bicara kemerdekaan Indonesia saat itu, sulit mencari sosok berkarakter kuat dan tepat seperti Bung Karno. Secara khusus saat bicara tentang dasar Indonesia merdeka, kalimat-kalimat Bung Karno sungguh menggelorakan semangat bangsa ini untuk tegap membusungkan kemampuannya untuk merdeka. Merdeka lahir batin untuk membangun tanah airnya Indonesia.
Seperti kalimat beliau:
“Zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil” yang maksudnya, selalu njlimet dalam membicarakan hal-hal
sepele; tetap saja relevan bila digunakan sebagai inspirasi kondisi politik hari ini. Bukankah hal
itu yang masih sering terjadi dikehidupan politik bangsa ini. Ketika rakyat
sudah berada diujung tanduk kekhawatiran atas kesulitan menghidupi keluarganya,
masih saja politisi tempat penitipan aspirasi berdebat bagi kepentingannya yang
serba sesaat. “Kalau harus selesai dulu, sampai njlimet, kita tidak akan
mengalami Indonesia merdeka, sampai dilobang kubur”, kalimat mudah yang tak
murah. Karena saat ini penuh makna sebagai kaca bagi semua. Kalau kehidupan
politik bangsa ini masih saja diisi dengan debat kusir, caci maki, njlimet tanpa arti dan berpegang kepada
kebenarannya sendiri-sendiri, tumbanglah jembatan emas yang dibangun para
pendahulu.
Semua kalimat yang mengemuka
didalam pidato hari itu adalah atas permintaan Ketua sidang Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai, agar Bung Karno menyampaikan pendapatnya. Inti yang hendak dicapai
dalam sidang itu adalah disusunnya dasar Indonesia Merdeka. Dari pidato itulah
Bung Karno mengemukakan pendapatnya tentang dasar Indonesia merdeka, yang
kemudian menjadi awal lahirnya dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Semua pemikiran yang
dikemukakan Bung Karno tentang dasar-dasar bernegara dan berbangsa dalam pidato
itu berhasil membangun sebuah gumpalan semangat bersama, kalau tidak dikatakan
sebagai embrio kesepakatan.
Dasar mendirikan
sebuah negara menurut Bung Karno, bukan sesuatu yang digagas secara instan,
namun jauh hari sebelum negara itu lahir atau merdeka. Dengan memberikan contoh
seperti yang dilakukan Lenin di Uni Soviet, Adolf Hitler di Jerman, Ibn Saud di
Saudi Arabia, juga dr.Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya di Tiongkok. Bung
Karno mengatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakannya telah terpikirkan pada
tahun 1918, seperti dasar Kebangsaan. Sambil mengutip definisi Ernest Renan
yang mengatakan bahwa syarat berbangsa adalah kehendak bersatu, Bung Karno
menyampaikan pemahaman atas kesadarannya bahwa rakyat Indonesia terdiri dari
berbagai perbedaan. Apakah suku, golongan juga agama. Bung Karno meyakini bahwa
Tuhan telah menciptakan kesatuan-kesatuan dalam kehidupan di bumi, dan kesatuan
dari beribu pulau dan lautan di Indonesia itulah tanah air Indonesia. Selain
Kebangsaan Indonesia, dasar-dasar utama lain yang dikemukakan Bung Karno dalam
sidang itu adalah kedua, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, ketiga Mufakat
atau Demokrasi, keempat Kesejahteraan
Sosial, dan kelima adalah Ketuhanan.
Kesimpulan yang ingin dikemukakan Bung
Karno tentang dasar negara adalah bahwa Indonesia Merdeka bukan terjadi begitu
saja, namun melalui perjuangan atas dasar-dasar yang digagas jauh sebelumnya.
Sehingga apabila saat ini kita memiliki Pancasila, itu adalah dasar. Pancasila
adalah pondasi Indonesia Merdeka. Pancasila adalah pondasi bagi Jembatan Emas.
Pancasila adalah dasar atau pondasi bagi seluruh arah gerak bangsa Indonesia
dalam mencapai masa depannya. Pancasila bukan pintu, bukan jendela, bukan atap,
apalagi hiasan ruang tamu semata. Sekali lagi Pancasila adalah dasar, pondasi
yang harus selalu dipertahankan agar tetap kokoh. Agar pilar, dinding, pintu
sampai atap diatasnya selalu berdiri tegak. Agar Indonesia tetap tegak berdiri,
berdaulat kuat dengan kakinya sendiri, walau badai persoalan apapun mendera.
Bung Karno mungkin
memang pemimpin tepat yang dikirim Tuhan dimasa itu. Pemimpin bisa berganti,
namun Indonesia akan tetap berdiri tegak. Pondasi telah dibangun kuat, dan
jembatan telah berdiri kokoh untuk dilalui. Berpulang kepada bangsa Indonesia,
apakah akan memiliki pemimpin-pemimpin selanjutnya yang memahami benar, mengapa
para pendahulu rela mengorbankan nyawa untuk meraih Indonesia Merdeka.
Indonesia Merdeka yang digagas dan diperjuangkan dengan dasar Kebangsaan,
Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan.
Bukan Indonesia Merdeka yang didasari kepentingan sempit ego orang per-orang,
golongan, agama apalagi Partai Politik.
Membangun Demokrasi
Setiap momen dalam
dinamika politik akan bisa melahirkan manfaat atau sebaliknya bencana bagi
usaha membangun sebuah kehidupan demokrasi. Momen politik utama yang memberi
pengaruh terbesar adalah Pemilihan Umum. Apakah itu pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan umum Kepala Daerah, dan pemilihan Presiden.
Hari-hari ini bangsa Indonesia sedang mengarungi bahtera momen yang paling
berpengaruh itu. Pemilihan Umum DPR
dan Pemilihan Presiden.
Berkaca kepada Pemilu
sebelumnya, kita lihat saja hasil Pemilu tahun 2009. Saya pada awalnya menilai
bahwa hasil Pemilu 2009 adalah terbaik sejak era Reformasi dikumandangkan.
Pemerintah terbentuk dari Partai Demokrat, pemegang suara terbanyak dalam
Pemilu DPR atau Partai Politik. Dan Presiden SBY hadir dari Partai Demokrat
pula. Dalam usaha memperkuat hasil pesta politik yang semakin demokratis
tersebut, SBY kemudian menggagas konsep penguatan kehidupan demokrasi itu
dengan membangun Sekretariat Gabungan Partai Politik pendukung Pemerintah, yang
kemudian dikenal sebagai Setgab Koalisi. Hampir pasti gagasan ini berdasar
kepada niat baik agar jalannya pemerintahan menjadi lebih baik dan hubungan
lembaga dengan DPR semakin jelas, kokoh dan akhirnya bermanfaat bagi seluruh rakyat.
Namun apa yang kita saksikan akhir-akhir ini ternyata tidak seperti harapan yang
ada. Ketidak harmonisan hubungan antara partai politik yang tergabung didalam
Setgab Koalisi, seperti api didalam sekam. Hal ini merugikan semuanya, terutama
bagi usaha membangun demokrasi bangsa ini.
Pemilu 2014 sudah didepan mata,
bahkan sudah berlangsung. Tentu seluruh rakyat negeri ini berharap kehidupan
politik dan demokrasi Indonesia semakin baik dari sebelumnya. Saya usulkan,
sebaiknya partai politik yang merasa memiliki kesamaan garis idealisme dengan
partai politik yang lain, dari saat ini sudah membangun kesepakatan , apakah
itu bernama koalisi atau apapun. Sehingga dasar koalisinya nanti berdasar
kepada kesamaan idealisme untuk membangun bangsa. Saya khawatir apabila koalisi
itu dibentuk setelah Pemilu seperti sebelumnya, maka yang terjadi hanyalah
koalisi sesaat yang dasarnya untuk hitungan keperluan jumlah suara saat itu semata.
Benar, bahwa siapapun Presiden RI akan selalu menghitung jumlah suara di DPR.
Karena dengan konstitusi yang ada sekarang, sebaik apapun kebijakan Pemerintah,
tak akan serta merta bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat sebelum diundangkan
oleh DPR. Pemerintah menyusun kebijakan dengan prinsip teknis profesionalisme,
namun kebijakan itu bisa dijalankan setelah mempertaruhkan nyawanya mengarungi
gelombang proses politik di DPR. Sekali lagi untuk membangun demokrasi menjadi
lebih baik, partai politik peserta Pemilu juga harus semakin jelas garis
sikapnya.
Selain itu, pemilihan
Presiden-pun menjadi faktor utama semakin baiknya demokrasi bangsa ini atau tidak.
Untuk hal ini, saya berpikir sebaiknya rakyat lebih aktif menyuarakan aspirasi
tentang siapa Pemimpin atau Presiden harapannya nanti di Pemilu 2014. Lebih baik,
misalnya 150 juta rakyat calon pemilih hari ini meyuarakan 150 juta nama calon
harapannya, daripada rakyat nanti akhirnya terpojokkan pilihannya hanya pada calon
yang digadang-gadang sendiri oleh Partai Politik. Untuk itu partai politik
seharusnya kembali kehabitat sejatinya sebagai wadah aspirasi rakyat. Kalau
partai politik menjalankan kesejatiannya secara benar, mereka seharusnya
mendengarkan suara rakyat sebelum mengajukan calonnya, bukan sebaliknya.
Apabila kembali
membaca transkrip pidato Bung Karno didalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai,
bisa kita bayangkan, sebenarnya apa yang ada dibenak Bung Karno, dr.Soekiman,
Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abikoesno, Lim Koen Hian, Yamin, Prof.Soepomo,
Moenandar, dan para tokoh nasional peserta sidang yang lain. Mereka ingin
Indonesia Merdeka menjadi negara bangsa yang bebas, selalu bersatu melindungi
semua rakyatnya dengan adil, mufakat atau demokrasi. Bahkan dalam bagian
pidatonya Bung Karno dengan lantang mengatakan: ”Karena monarki “vooronderstelf
erfelijkheid”-turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya
orang Islam, saya menghendaki mufakat (demokrasi), maka saya minta supaya
tiap-tiap kepala negarapun dipilih. Jikalau suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo
misalnya jadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, jangan anaknya sendiri
otomatis menggantikannya. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada
prinsip monarki itu”.
Bangsa ini sudah
dibangunkan jembatan emas. Pelajaran yang diberikan para pendahulu saat
memperdebatkan gagasan atas dasar negara, sepantasnya dimanfaatkan untuk
membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik ditanah air. Mungkin kita hari
ini perlu kembali lebih sering berseru “Holopis Kuntul Baris. Gotong Royong
buat kepentingan bersama”, seperti semboyan Bung Karno.
Salam
September'2013
September'2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar