Wawancara, 25 Maret 2010
Sekali lagi, saya ini bukan politisi. Namun kebetulan sosok-sosok yang pernah saya kenal saat ini menjadi tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh. Kalau mau jujur, saya kurang nyenyak tidur karenanya. Secara khusus saya sungguh merasa sedih melihat Ibu Megawati sampai saat ini tampak tidak bersedia akur dengan pak SBY. Hanya kebetulan saja, dulu saya yang memperkenalkan dan mempertemukan beliau berdua saat awal reformasi. Saya sungguh berharap berbagai komponen bangsa ini bersatu. Kalau para pemimpin legowo bersatu, saya yakin bangsa dan rakyat Indonesia akan hidup aman, adil dan sejahtera sampai anak cucu.
Untuk sekedar mengeluarkan uneg-uneg tentang hal itu, dibawah ini saya sajikan kembali catatan wawancara saya dengan wartawan koran Jawa Pos Group, yang telah dimuat beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana sejarah singkat anda
ikut mempertemukan SBY dengan Megawati?
Saat itu saya masih sering
mendampingi Ibu Megawati. Sedangkan dengan pak SBY saya sudah mengenal, karena
beliau adalah kawan satu angkatan dengan kakak kandung saya di AKABRI. Sekitar
1998-1999, saya ikut mempertemukan beliau berdua. Saat itu pak SBY sebagai
Kasospol TNI, dan Ibu Megawati sedang mempersiapkan Kongres PDI Megawati di
Bali, yang kemudian lahir PDIP. Paska jatuhnya Suharto, semua faham bahwa
kondisi sosial politik dalam negeri tidak terlalu baik, kalau tidak dikatakan
buruk. Saat itulah saya dan kawan-kawan berharap agar kekuatan kebangsaan
bersatu. Saya saat itu meyakini bahwa beliau berdua adalah dua tokoh negeri
diantara tokoh lain, yang jiwa kebangsaannya tidak perlu diragukan.
Tetapi faktanya dimulai sejak
sekitar tahun 2004, publik menilai hubungan SBY dengan Mega retak. Menurut
anda?
Itulah yang membuat saya sedih.
Sering ada yang mengatakan Megawati dan SBY adalah lawan politik. Hal itu salah
besar. Menurut saya, yang namanya lawan politik itu bila kedua belah pihak
memiliki ideologi yang berbeda. Beliau berdua sama-sama tokoh kebangsaan,
nasionalis tulen. Megawati putri seorang proklamator negeri ini. SBY putra
seorang prajurit, bergaris Pesantren Termas, berpendidikan Sapta Marga. Benar
pada Pemilu tahun 2004 beliau berdua adalah kompetitor dalam pemilihan
Presiden, tetapi bukankah itu hanya bagian dari perjalanan dan penghormatan
kepada proses demokrasi yang telah disepakati. Tentu harus ada yang kalah dan
ada yang menang. Bila bu Mega merasakan kekecewaan menurut saya hal yang wajar.
Namun sebagai pemenang, Pak SBY kan tetap menghormati bu Mega. Saya tidak
melihat sedikit alasanpun keretakan itu harus berlanjut.
Anda yakin
akan hal itu?
Saya percaya kepada kebesaran jiwa
dan hati beliau berdua. Oleh karenanya saya harus yakin. Pertemuan awal beliau
berdua dahulu saya nilai benar-benar untuk kepentingan yang besar bagi negeri
ini. Belum ada PDIP dan juga Demokrat. Kondisi perpolitikan negeri kita saat
ini menuju lima tahun kedepan, saya pikir perlu mendapat perhatian agar tidak
terjadi disharmoni politik yang merugikan. Bila hal itu terjadi, maka pasti
akan lahir ancaman bagi keutuhan dan kehidupan sosial bangsa ini. Belum lagi
usaha pembangunan ekonomi negeri ini akan hancur, bisa jadi empat konsensus
dasar bangsa ini seperti yang dibuat para founding
fathers akan koyak. UUD’45, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, akan
hilang rohnya bagi generasi masa depan. Urusan konsensus dasar bangsa ini,
sayapun mengerti persis bahwa pak SBY dan bu Mega adalah tokoh yang teguh untuk
mempertahankannya. Ingat, saat ini banyak para cendekia yang menyarankan agar
bangsa ini menyegarkan kembali Pancasila. Sekali lagi, kalau untuk kepentingan
bangsa ini, saya meyakini tidak ada tirai yang menutup kebersamaan beliau
berdua.
Ada petinggi PDIP yang mengatakan,
mempersatukan PDIP dan Demokrat dalam koalisi, sebagai wacana bahkan khayalan
anda sendiri saja.
Saya tidak pernah mengatakan,
berusaha membentuk koalisi antara PDIP dan Demokrat. Harapan dan niat saya
untuk mempersatukan pak SBY dan bu Mega bukan baru hari ini saya ungkapkan.
Sekitar 1998 saya ikut mempertemukan beliau berdua. Tahun 2001, saya ikut
mendorong, bahkan saya bicara langsung dengan Mas Taufik Kiemas dan bu Mega
untuk memilih pak SBY sebagai Wakil Presidennya bu Mega. Sebelum Pemilu 2009,
saya masih sering bicara terbuka dipublik bahwa sebaiknya beliau berdua
bersatu. Apa yang menjadi harapan saya adalah benar-benar untuk kepentingan
besar, bukan sekedar kepentingan PDIP dan Demokrat.
Anda dinilai berusaha ikut
mempengaruhi kongres PDIP bulan depan.
Apalah saya ini. Sekali lagi
harapan dan usaha saya mempersatukan beliau berdua bukan hanya baru hari ini.
Saya tidak mau ikut bicara tentang koalisi, tentang kekuasaan. Saya tidak
tertarik bicara kekuasaan. Partai Politik pada dasarnya memang dibangun untuk
memiliki kekuasaan. Negara demokrasi memang harus punya partai politik. Urusan
koalisi serahkan sepenuhnya kepada partai masing-masing. Kalau dengan PDIP, pak
SBYpun punya sejarah hubungan yang tercatat jelas. Saat pemilihan Wakil
Presiden tahun 2001, suara anggota DPR yang memilih pak SBY mungkin 90% berasal
dari anggota fraksi PDIP. Walau akhirnya bu Mega lebih memilih orang lain, dan
mengangkat pak SBY menjadi Menkopolkam. Harapan saya tentang bersatunya beliau
berdua tidak akan berhenti, ada kongres PDIP atau tidak.
Ada pengamat yang mengatakan
keyakinan anda seperti meramal anak dalam kandungan.
Saya bukan peramal. Saya terlibat
dan berada disekitar beliau berdua cukup lama. Pengamat tadi memang tidak
mungkin memiliki perasaan yang sama dengan saya tentang beliau berdua. Karena
yang bersangkutan tidak bergaul dekat dengan beliau berdua. Saya memang orang
yang sedih melihat orang berselisih. Saya tidak suka konflik. Saya bahagia
melihat orang bersahabat. Bagi saya mencari kawan, jauh lebih sulit daripada
mencari lawan. Oleh karenanya untuk apa seseorang yang dulu kawan, harus kita
jadikan lawan. Mungkin pengamat tadi memang suka melihat orang lain berseteru
sampai ada yang luka. Pengamat tadi suka melihat orang lain menderita. Namun
sayapun berkeyakinan, berbuat baik
itu tidaklah mudah. Kita tidak bisa menolak prasangka orang lain. Mungkin
sebaiknya kita memang jangan suka berprasangka dahulu, apalagi prasangka buruk.
Apakah harapan ini pernah anda
bicarakan dengan SBY?
Saya mungkin sudah lebih dari 12
tahun sering berkumpul dan bicara bersama tentang persoalan negeri ini dengan
pak SBY. Saya mengenal karakter pak SBY sebagai sosok yang suka mencari persamaan dan bukan mencari perbedaan. Kalau saya bicara seperti
ini, jangan kemudian saya dikatakan SBY
centris. Tidak. Saya sering mengatakan, kalau mendukung seseorang jangan
individunya, namun kebenarannya. Kalau ada yang mengatakan Hidup Mati ikut si Polan, Mati
Urip nderek Mbak Ayu, itu namanya musrik di agama saya. Hidup mati itu
harus ikut Tuhan. Jadi kalau pikiran dasar saya sejak dulu adalah keyakinan
terhadap kesamaan pandang pak SBY dan ibu Mega tentang kebangsaan ini, maka
pertanyaan diatas saya jawab, bahwa itu sudah sejak dulu saya bicarakan.
Apakah ada rencana bicara langsung
dengan Megawati?
Karena hal ini benar-benar menjadi
harapan saya, maka saya akan usaha dengan segala cara. Sebenarnya saya tidak
bicara untuk hari ini, namun untuk masa paling dekat adalah tahun 2014. Sosok
bu Mega pasti masih sangat berpengaruh bagi pendukungnya. Demikian pula dengan
pak SBY yang juga mendapat dukungan rakyat yang tidak sedikit, terbukti dengan
dua kali terpilihnya beliau. Alangkah kuatnya masa depan kebangsaan di negeri
ini bila beliau berdua nanti, walau mungkin sudah tidak jadi Presiden lagi,
namun bersatu dan tetap mewarnai politik kebangsaan bagi generasi selanjutnya.
Untuk itu, karena 2014 bukan lagi waktu yang lama, maka sangatlah ideal bahwa
sejak sekarang beliau bersatu. Sekali lagi, untuk urusan partai politik, saya
tidak ingin ikut campur. Beliau pasti sudah melihat dinamika politik terakhir
yang terjadi. Tidak akan partai politik di negeri ini dapat hidup
sendiri-sendiri. Kalau untuk itu semua saya harus bertemu ibu Mega, maka saya
akan berangkat saat ini juga.
Hal lain. Dikoran ini anda mengatakan
kalau hari Minggu menolak diajak
Presiden main Golf?
Tentang Golf saya punya cerita
tersendiri dengan pak SBY. Sepuluh tahun yang lalu saya bercanda ke pak SBY
agar bermain Golf. Karena kalau jadi Presiden kemudian menerima tamu Negara
atau bertamu keluar negeri, rasanya jarang ada Kepala Negara yang mengajak main
Catur !. Biasanya olah raga Golf. Pak SBY selalu perhatian terhadap Staf dan
keluarganya. Jadi saya yakin beliau tidak keberatan kalau dihari Minggu saya
khususkan untuk keluarga. Sebetulnya SBY tidak sering juga main Golf, belum
tentu rutin sebulan sekali. Kalau jalan kaki dan tenis meja hampir rutin beliau
lakukan bersama Staf diistana dan Monas, seminggu dua kali.
Semoga isi wawancara diatas menambah pengetahuan tentang harapan dan sikap saya dalam mengenal kedua tokoh tersebut.
Salam
Maret '2010