Selasa, 31 Juli 2018

HUBUNGAN SBY DAN MEGAWATI DIMATA SAYA, HERU LELONO



Ada istilah, tak kenal, maka tak sayang.

Begitulah fakta dinamika hubungan antar manusia.
Interaksi manusia selalu ada yang mendasari. Interaksi bisa didasari oleh kepentingan bersama, atau kepentingan sendiri. Bahkan secara negatif, interaksi antar manusia bisa didasari oleh niat buruk salah pihak.

Kali ini saya tidak ingin berteori. 
Karena banyaknya pertanyaan dari para sahabat tentang "Bagaimana sebenarnya hubungan SBY dengan Megawati menurut mas Heru?", kali ini, setelah beliau berdua sudah tidak lagi menjabat di pemerintahan, dan saya sendiri sudah kembali menjadi pengangguran, akan saya ceritakan secara singkat tentang hubungan beliau berdua.
Tentu sesuai pertanyaan para sahabat diatas, isi cerita ini adalah versi yang saya ketahui serta penilaian saya pribadi. 
Dalam hal ini, saya akan bercerita secara jujur dan se-obyektif mungkin.   



Cerita ini berawal saat saya memutuskan berhenti bekerja mencari uang pada tahun 1998. Sebelumnya, sejak 1995-1998 saya bertugas sebagai Managing Director sebuah perusahaan operator selular, yang melayani wilayah Indonesia Timur, dan berkantor di Denpasar Bali. 
Tepatnya sekitar bulan April, saya tinggalkan Bali dan kembali ke Jakarta. Sementara keluarga saya tinggalkan di Bali, karena menunggu anak-anak kenaikan kelas pada bulan Juni. 

Ternyata di bulan Mei terjadi tragedi yang mengubah jalan hidup saya.

Tentang SBY

Saya mengenal SBY, karena beliau adalah sahabat seangkatan di AKABRI dengan kakak kandung saya Heru Sudibyo. Sama halnya bagaimana saya mengenal Prabowo Subiyanto. Hanya nasib yang membedakannya, ha3x. Kakak saya akhirnya purna tugas dengan membawa (hanya) satu bintang dipundaknya.
Saya kembali berinteraksi dengan SBY saat beliau menjadi Kasospol TNI, dan kebetulan kakak saya menjadi salah satu Paban Kasospol pada tahun 1998.

Tentang Megawati

Sebelum mencari nafkah di Bali, saya sempat bekerja cukup lama disebuah Perusahaan Konsultan.  Konsultan ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh keluarga, dan sahabat anak-anak Bung Karno. Ada almarhum mas TK, mas Guntur, Pak Suko Sudarso dan beberapa lagi.
Menjelang Kongres pertama lahirnya PDIP di Bali, saya sempat diajak berkumpul di ruang rapat kantor Konsultan tersebut. Disana ada Megawati, Pak Suko, Widjanarko Puspoyo, kalau tidak salah juga ada Yacob Tobing, Theo Syafei dan beberapa yang lain.
Melalui pak Suko, dikatakan bahwa mbak Megawati berharap mendapat bantuan kami-kami untuk membantu mbak Mega dari "dalam". Selain itu, pak Suko yang saya anggap sebagai senior saya, mengatakan "Dik, aku wis tuwo. Tolong dik Heru dampingi mbak Mega".
Oleh karenanya, sejak itu saya hampir selalu menemani mbak Megawati. 

Tentang Saya, dan Hubungan SBY dengan Megawati

Berlatar belakang konsultan, maka kami berusaha berpikir dan menggagas bagaimana PDIP nanti menjadi Partai yang modern, sesuai jiwa Pancasila, mampu menjadi wadah dan memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia.
Untuk itu semua, harus diawali dengan diadakannya Kongres Partai.

Perjuangan partai dimulai sejak itu. 

Saat itu pemerintah masih terasa enggan melihat Megawati dan partainya, setelah terjadi tragedi yang berawal dari berseterunya internal PDI, antara yang Pro Mega, dan yang Pro Suryadi, dimana Suryadi merasa mendapat dukungan pemerintah.
Saya membantu dan mendampingi mbak Mega untuk bisa mendapatkan ijin Kongres yang akan dilakukan di Bali pada tahun 1999. Dimana menurut saya, saat itulah PDIP lahir setelah dideklarasikan.
Selama perjalanan sebelum kongres sampai ijin keluar, saya mendampingi mbak Mega untuk bertemu beberapa pejabat keamanan pemerintah.
Bahkan saya pernah mendampingi, sekaligus menjadi sopir, saat mengantar mbak Megawati bertemu dan bertatap muka langsung dengan SBY yang saat itu sebagai Kasospol.
Melalui kakak saya, saat itu SBY mengatakan ingin berdiskusi dan berpikir, bagaimana masa depan demokrasi bangsa Indonesia bisa diselamatkan.
Saya juga mendampingi mbak Megawati bertemu pak Wiranto di rumah dinas Wisma Yani, sesaat sebelum berjalannya Kongres di Bali. Pembicaraannya lebih pada, bagaimana keamanan selama Kongres berlangsung bisa dijaga.

Singkatnya, hubungan Megawati dengan SBY mulai terjadi sejak pertemuan itu.

Akhirnya Kongres berlangsung di Bali. Karena waktu kongres sudah berdekatan dengan rencana Pemilu, kami "teman kantor konsultan", mengusulkan jajaran kepemimpinan PDIP berjumlah cukup besar. Dengan pertimbangan agar dengan cepat bisa melakukan konsolidasi disemua daerah (khas pikiran konsultan, yang berpikir demand dan supply).
Ternyata setelah palu diketok, mbak Mega menyampaikan kepengurusannya berjumlah 17 orang. Mengapa? tanya saya dalam hati. Ternyata angka 17 dianggap angka keramat.
Konsultan kecewa ! Ha3x. Tapi apa mau dikata kan?

Lalu saya diminta jadi Wakil Sekretaris Libang PDIP, yang dipimpin Kwik Kian Gie. 
Lalu saya dijadikan Caleg PDIP mewakili daerah Probolinggo Jatim dalam Pemilu 1999.
Lalu saya kampanye, nyewa Inul segala. Dulu terkenal video CDnya saat nyanyi diacara sunatan.
Lalu saya satu satunya Caleg PDIP di Tapal Kuda, istilah daerah di Jatim, yang menang.
Lalu saya menolak masuk DPR.
Lalu saya dimarahi alm Mas TK. Kata beliau "Kalau mas Heru tidak mau masuk DPR, berarti mas   Heru tidak mendukung mbak Mega jadi Presiden".
Lalu saya diam saja.

Alhasil, dalam 1999 PDIP mendapat suara terbanyak, sekitar 33%. Mbak Megawati bersemangat dan pendukungnya mendorong dengan kata "Megawati Harus Jadi Presiden".
Saya mulai kurang sependapat. Diotak saya sederhana saja. PDIP dapat 33%, artinya ada 67% yang bukan suara PDIP. Lha kalau yang 67% berkumpul, kan PDIP kalah. Tapi jawaban otak saya tadi tetap dibantah dengan kata "Lho dik, siapa partai yang lebih besar dari 33%".
Yo wis, begitu jawab hati saya.

Lalu almarhum Matori Abdul Djalil telpon saya, mengatakan "Her, segera bilang mbak Mega. Ternyata GusDur serius mau maju". Padahal Mbak Mega hakul yakin "MasDur dukung saya".

Alhasil lagi, Amien Rais di MPR, Gusdur maju, pak Wiranto mundur, dan akhirnya mbak Megawati kalah. Saat itu saya dan pak Suko berada ditempat 'rahasia' didekat gedung MPR, dan terus kontak dengan mas TK yang berada didalam gedung. Tapi suara kami sudah nyaris tidak didengar.
Masa suram bagi PDIP saat itu. Mendapat suara rakyat terbanyak, tapi tidak menjadi Presiden, tidak menjadi Ketua MPR, dan tidak menjadi Ketua DPR.
Oleh karenanya, saya pernah mengatakan, dan dimuat koran Rakyat Merdeka kalau tidak salah, bahwa demokrasi Indonesia rusak sejak 1999. 

Lalu mbak Mega menjadi Wakil Presiden, dengan hati masih berkata "amanah kongres PDIP, saya adalah Presiden".

Lalu GusDur di-impeach DPR yang mayoritas kursi milik PDIP, walau sikap almarhum GusDur sendiri juga berperan dalam kejatuhannya. 

Lalu Megawati atasnama konstitusi menjadi Presiden, dan berhak memilih Wapres. Mengapa saya katakan berhak? Karena Wapres dipilih DPR, dan DPR mayoritasnya PDIP.
Suatu malam sebelum pemilihan Wapres, saya mendampingi SBY bertemu (dipanggil Presiden) Megawati ke kediaman di jalan Tengku Umar.
SBY bertemu Megawati didampingi Sophan Sophiaan dan Arifin Panigoro.
Saya bertemu almarhum Mas TK.
Saya katakan ke Mas TK saat itu. Tolong mbak Mega diminta memilih SBY sebagai Wapres. Saya jamin, 2004 Mbak Mega akan dipilih rakyat menjadi Presiden lagi. Pertimbangan saya, bila SBY sebagai Wapres, dengan kemampuan, loyalitas dan pengalamannya, insyaAllah bisa membantu Pemerintah umumnya dan Megawati khususnya untuk membuat raihan positif pemerintah.
Lanjut saya, nanti 2009, SBY kita ajukan sebagai Capres dari PDIP. Dengan begitu, pembangunan bangsa ini bisa berlanjut.
Namun semua cerita ini sudah basi. Mega memilih Hamzah Haz, yang oleh mas TK dikatakan "Mbak Mega pan punya persoalan dengan GusDur. Jadi agar tidak kehilangan suara NU kita memilih Hamzah Haz". 
Saya ragu dan penuh tanya. Namun siapalah diriku ini?
Akibatnya (kalau ada yang sepakat bahwa hal ini dikatakan sebagai akibat), lahirlah berbagai Parpol dengan bendera yang sama, "nasionalis". 
Coba pembaca menyebut partai apa saja. Banyak kan?  
Menurut saya, dari sanalah mulai terjadi perpecahan suara para "nasionalis". Sampai sekarang ????

Lalu SBY diangkat menjadi Menkopolkam kabinetnya Megawati.
Lalu Megawati curiga, kalau-kalau SBY mau mencalonkan sebagai Capres Pemilu 2004. 
Lalu SBY tidak boleh ikut rapat.
Lalu SBY mengundurkan diri, karena takut ada keputusan rapat (yg beliau tdk ikut), tetapi tetap harus menjadi tanggungjawabnya sebagai Menko.

Padahal saat saya sebagai Sekjen LSM Gerakan Indonesia Bersatu, pada tahun 2001 mengundang SBY , yang ingin kami mohonkan menjadi Ketua Dewan Penasihat; SBY malah bicara ke-saya sebelumnya.
"Dik, saya kan Menterinya bu Mega, kalau nanti dipertemuan LSM-mu ada wartawan, lalu diplesetkan saya sedang kampanye ingin jadi Capres, kan saya dianggap melanggar etika organisasi. Dan bisa membuat Bu Mega marah".
"Kami hanya ingin mas SBY bersedia menjadi Penasihat kami", jawab saya.

Maka kalau bu Mega curiga, atau SBY terbukti tidak bisa melakukan tugasnya sebagai Menko misalnya,  bolehlah bu Mega marah kepada SBY. Dimana Presiden punya hak untuk itu. Tapi kalau ini?

Lalu setelah keluar dari Kabinet, 
apapun yang dilakukan SBY adalah hak beliau sebagai Warga Negara Indonesia. Mau jadi pengusaha kek, mau jadi penyanyi kek, mau bikin partai kek, mau jadi Presiden kek, itu semua adalah Hak WNI. 
Yang Marah pasti Salah, atau Takut Kalah !

Lalu SBY dipilih rakyat sebagai Presiden dalam Pemilu 2004.
Saya dan alm Mas TK masih juga berusaha "mendamaikan kemarahan" Megawati terhadap SBY. Semoga niat hati alm  mas TK saat itu tulus dan tidak berbeda dibelakang saya.
Selama SBY menjadi Presiden, dan saya diminta membantu sebagai Staf Khusus Presiden, tercatat dua kali saya diundang mas TK kekediaman di jalan Tengku Umar.
Dan disetiap pertemuan itu, mas TK selalu mengatakan, " Mas Heru, mbak Mega belum siap, tapi ada kemajuan, yang bertemu mas SBY biar mbak Puan dulu".

SBY mengatakan kepada saya (walau beliau Presiden), " Dik, kalau bu Mega bersedia, kamu atur pertemuan dimana saja, saya akan datang".
Dalam hati saya berkata, "Secara UU, seorang Presiden harus dilindungi. Tidak boleh berada ditempat yang sembarangan tanpa pengamanan. Tapi karena SBY Presiden, tetap saya jalankan".
Bahkan sudah pernah hampir terjadi. Saya ditunggu mas TK didaerah Gadog. Ternyata salah satu rumah beliau. Namun Tuhan belum mengijinkan. Sampai disana, saya hanya mendapat cerita dari mas TK, kalau mbak Mega belum bersedia.

Saya hanya bisa berdoa, Megawati dan SBY adalah para Presiden RI. Para panutan rakyat. Para panutan generasi penerus. 
Bagaimana mengharap rakyat bersatu, kalau panutannya sendiri berseteru??  

Semoga Allah membukakan hati mereka. Khususnya kepada yang belum terbuka.

Tentang Mas Taufik Kiemas

Saya punya cerita singkat dengan mas TK. Saat Jakarta terbakar 'kerusuhan', mas TK baru mendarat dibandara Cengkareng. Katanya sih baru berobat di Australia. Semua orang disana tidak bisa keluar dari area bandara.
Kebetulan kakak sepupu saya yang pejabat BRI juga baru mendarat, lalu telpon saya, "Ru, iso jemput aku di bandara naik motor?". Saya jawab "Gak iso liwat mas, banyak bakar-bakaran dijalan".
Lalu kita kirim mobil ambulance BRI untuk menjemput.
Berisi kakak sepupu saya, Mas TK dan salah seorang direktur Astra, ambulance dengan rotator melengking membawa dokter dan pasien "palsu" melewati berbagai rintangan dijalan seperti batu, potongan beton dan ban yang dibakar.
Alhamdulillah semua dokter dan pasien palsu tersebut selamat sampai dikediaman masing-masing.

Tentang Gus Dur

Kalau ceritanya tidak lucu dan sedikit konyol, bukan dengan Gus Dur kita berbincang.
Beliau sakit demam. Saya tengok ke Ciganjur bersama Jacob Tobing. Saya msuk dikamar dan duduk ditempat tidur disamping Gus Dur. Dimeja kecil ada pesawat telpon berwarna merah, tapi gagangnya ada disebelah bantal Gus Dur.

"Aku mau operasi mata nang Jerman. Tapi nek Kanselir Shroder gak mau terima saya, aku operasi nang Jepang ae", ujar Gus Dur.

"Terus piye Gus?", tanya saya.

"Yo paling sebulan aku wis waras", jawab GusDur.

"Trus Gus ?", kejar saya.

"Yo langsung mulih Indonesia, dan Habibie langsung tak ganti!", jawab pungkas GusDur.

Yang mengagetkan saya, Gus Dur lansung mengambil gagang telpon disamping bantalnya lalu berkata,

"Wis yo wawancarane".

Wahahahahahahahahahaaaaaaa, ternyata GusDur cerita tadi, mungkin biar didengar wartawan !

Dan pak Habibie terbukti diganti Gus Dur   !!!

Mendiang Gus Dur, sosok cerdas dimata saya.


Itu saja cerita saya kali ini.
Saya mohon maaf sebesar-besarnya bagi nama-nama yang tertulis di cerita saya ini, namun merasa bahwa isi cerita saya ini tidak seperti yang diharapkan. Atau malah saya dinilai berbohong.
Demi Allah, saya hanya ingin menceritakan apa yang saya alami dan pahami, atas bertubinya pertanyaan kepada saya selama ini.

Mungkin ini hanya sebagian kecil dari yang saya alami.
Kalau memang bisa membawa persatuan bagi semua, kapan-kapan saya akan cerita yang lain lagi.

Jayalah Indonesia kita semua!